Beberapa tahun terakhir ini, roh Badan Intelijen Negara (BIN) yang semestinya bergerak secara senyap justru tidak terlihat. Pada kasus-kasus yang membutuhkan operasi intelijen seperti penusukan Wiranto ataupun Syekh Ali Jaber, BIN seolah tidak terlihat memberikan tindakan pencegahan. Lantas, apa yang terjadi?
“Secara by nature, setiap orang adalah insan intelijen” – Irawan Sukarno dalam Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen
Baru-baru ini, Badan Intelijen Negara (BIN) kembali mendapat sorotan dari publik. Ini tidak lagi persoalan keterlibatannya pada pembuatan obat Covid-19 seperti beberapa waktu yang lalu, melainkan karena lembaga intelijen ini justru memiliki pasukan khusus. Lebih menariknya, pasukan khusus ini bahkan dilengkapi dengan senjata.
Konteks tersebut kemudian yang disorot oleh pakar isu militer dan keamanan dari Institute For Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi, yang menegaskan sampai saat ini tidak terdapat Undang-undang (UU) yang mengatur BIN boleh memiliki pasukan khusus. Senada, Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan juga mempertanyakan payung hukum pasukan khusus yang disebut Rajawali ini.
Dilengkapinya pasukan ini dengan senjata juga menimbulkan kerancuan karena BIN tidak bertugas menjaga pertahanan ataupun penindakan hukum seperti halnya TNI dan Polri. Terlebih lagi, menurut Fahmi dan Hasan, sebagian besar personel pasukan tersebut justru berlatar sipil (PNS).
Dan yang terpenting adalah, kehadiran pasukan khusus ini dinilai Fahmi telah memudarkan roh badan intelijen yang sudah seharusnya bergerak secara senyap. Pasalnya, dengan kompetensi utama intelijen untuk mengembangkan sistem peringatan dini, operasi senyap adalah cara kerja yang tidak dapat ditawar dan diperdebatkan.
Dengan adanya pergerakan-pergerakan mencuri perhatian semacam itu, Fahmi bahkan sampai memberikan pertanyaan satire dengan menyebutkan, “apa bedanya BIN dengan Sunda Empire?”.
Terkhusus persoalan sistem peringatan dini, konteks ini menjadi perhatian tersendiri jika dipautkan dengan kasus penusukan Syekh Ali Jaber baru-baru ini. Tahun lalu, penusukan juga menimpa mantan Menko Polhukam Wiranto di Banten.
Kendati BIN tidak berperan dalam melakukan penindakan hukum, kedua kasus tersebut tentu tetap melahirkan pertanyaan seputar apakah BIN telah memberikan informasi yang cukup untuk mencegah kasus tersebut?
Apalagi, dengan ditusuknya Ali Jaber, itu dapat meningkatkan persepsi kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dapat menimbulkan gejolak politik. Ini tentunya tidak baik bagi stabilitas politik, khususnya di tengah pandemi Covid-19.
Juru bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman bahkan telah melontarkan kecurigaan terhadap kasus tersebut dengan menyebutnya sebagai modus operandi komunis untuk menyerang ulama.
Sekarang pertanyaannya, alih-alih menguatkan sistem peringatan dini, mengapa BIN justru lebih fokus menonjolkan diri akhir-akhir ini?
Koordinasi yang Buruk?
Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen menegaskan bahwa intelijen diciptakan bukan untuk “dipanggungkan” dan “ditepuktangani”, bukan untuk diketahui oleh siapa pun, dan bukan entitas untuk meraih popularitas.
Oleh karenanya, menjadi pertanyaan tersendiri mengapa nama BIN justru kerap tampil beberapa tahun terakhir ini. Terkhusus Kepala BIN Budi Gunawan, Ia bahkan terlalu menonjol dan populer. Publik tentu ingat, mantan Wakapolri ini tampil sebagai sosok yang berhasil mempertemukan Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto dalam payung rekonsiliasi seusai gelaran Pilpres 2019 Juli tahun lalu.
Lanjut Sukarno, di negara manapun lembaga intelijen disebut sebagai secret service atau dinas rahasia karena faktor ketertutupannya yang sangat tinggi. Lembaga ini adalah wadah bagi personel-personel intelijen yang profesional untuk menjalankan fungsi-fungsi lidpamgal (penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan) dalam upaya mendukung policy maker, mencapai tujuan nasional, dan menegakkan national security (keamanan nasional).
Konteks keamanan nasional ini menjadi perhatian tersendiri ketika kita melihat pada kasus penusukan Wiranto pada Oktober tahun lalu. Menariknya, dalam keterangannya, Kepala BIN Budi Gunawan menyebutkan bahwa pihaknya telah memantau pelaku penusukan sejak tiga bulan lalu.
Ini tentu menimbulkan berbagai pertanyaan tersendiri di tengah publik. Pertama, apakah pernyataan tersebut adalah post factum atau eksplanasi yang diberikan setelah kejadian? Jika itu adalah post factum, maka Budi Gunawan telah melakukan retorika agar publik menilai BIN telah bekerja.
Kedua, jika itu bukan post factum, maka ini adalah masalah koordinasi dengan Polri ataupun aparat keamanan terkait. Sebagaimana diketahui, kendati BIN bertugas untuk menciptakan sistem peringatan dini, aktualisasi informasi yang telah didapatkan berada di tangan Polri.
Pada kasus terbaru, yakni penusukan Ali Jaber, persepsi minor seperti di kasus Wiranto tentu saja sudah bertebaran di tengah publik. Apalagi, narasi lama yang menyebutkan pelaku mengalami gangguan jiwa kembali didengungkan.
Pasalnya, tidak hanya sekali ini saja pelaku penyerangan ulama disebut mengalami gangguan jiwa. Pada 18 Februari 2018, pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem, Lamongan, KH Hakam Mubarok diserang orang yang disebut orang gila. Pada 13 Februari 2018, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Madiun, KH Muhammad Sutoyo juga diserang orang yang disebut mengalami gangguan jiwa. Kasus serupa juga terjadi di Tuban, Kediri, dan Pasuruan dalam waktu yang berdekatan.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko juga turut mengomentari rentetan kasus penyerangan tersebut. Tegasnya, ini adalah modus operandi gaya lama, di mana terdapat aktor intelektual di baliknya. Mantan Panglima TNI itu misalnya mencontohkan kasus Banyuwangi pada tahun 1998 yang juga menerapkan modus serupa.
Dalam kasus penyerangan ulama yang dapat menimbulkan gejolak politik tersebut, tentu ini menimbulkan pertanyaan terkait di mana letak peran intelijen dalam menegakkan keamanan nasional? Apakah BIN telah berkoordinasi dengan Polri? Kasus penyerangan tersebut bahkan seperti menguap begitu saja setelah pelaku ditangkap.
Menjawab keanehan ini, Sukarno memberikan penjelasan menarik. Menurutnya, aktivitas intelijen pada dasarnya adalah aktivitas yang sangat tua. Sejak dulu, manusia memang telah melakukan pengumpulan informasi, penyelidikan, penyamaran, dan penggalangan.
Artinya, kemampuan intelijen pada dasarnya dapat pula dimiliki oleh pihak lain. Dengan kata lain, sangat mungkin terdapat unit intelijen yang tidak melayani kepentingan negara, melainkan melayani kepentingan kelompok tertentu.
Berselubung Politik?
Greg Poulgrain dalam bukunya Bayang-Bayang Intervensi: Perang Siasat John F. Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno, memberikan kita contoh ekstrem atas hal tersebut. Menurutnya, unit intelijen Amerika Serikat (AS), Central Intelligence Agency (CIA) di bawah pimpinan Direktur Allen Welsh Dulles justru memiliki agenda yang berbeda dengan Presiden AS John F. Kennedy karena memiliki impian ekonomi-politik untuk menguasai gunung emas di Papua, Indonesia.
Konteks serupa mungkin saja juga terjadi di Indonesia. Seperti yang disebutkan Poulgrain, aktivitas intelijen juga berkaitan dengan intelijen hitam yang melakukan pembunuhan tokoh-tokoh politik ataupun mereka yang memiliki kepentingan pribadi.
Si vis pacem para bellum (Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang). Adagium yang terkenal di dunia militer tersebut menyiratkan satu hal, yakni kita harus memikirkan kemungkinan terburuk. Ini ditujukan agar berbagai potensi ancaman dapat diantisipasi agar bencana tidak terjadi.
Konteksnya tentu tidak menyebutkan Kepala BIN Budi Gunawan memiliki kepentingan pribadi seperti Allen Dulles, melainkan menegaskan bahwa keberadaan intelijen hitam sangat mungkin eksis untuk menciptakan gangguan keamanan dan gejolak politik.
Tentunya, untuk mengantisipasi keberadaan intelijen hitam semacam itu, BIN harus kembali ke rohnya sebagai unit intelijen yang bergerak secara senyap dan tidak fokus untuk menonjolkan diri seperti yang terlihat akhir-akhir ini. Terkhusus Budi Gunawan selaku Kepala BIN, sosoknya tentu harus memberikan contoh terkait pergerakan senyap tersebut dengan tidak terlalu memperlihatkan dirinya di tengah publik.
Di luar berbagai interpretasi tersebut, seperti yang telah diinstruksikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD, seluruh aparat baik aparat keamanan maupun intelijen harus menyelidiki kasus ini dengan sebaik-baiknya dan setransparan mungkin. Tujuannya tentu jelas, agar ini tidak menjadi bola panas di tengah publik, di mana ini dapat menciptakan gejolak politik.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)