Partai Bulan Bintang (PBB) merekrut sejumlah nama selebriti, termasuk Aldi Taher untuk menghadapi pemilu 2024. Namun, mengapa partai yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra itu justru bersedia meminang sosok yang cenderung kontroversial di mata publik seperti Aldi Taher?
Pekan lalu, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyepakati agenda puncak Pemilu 2024 – Pileg dan Pilpres – akan digelar pada 28 Februari 2024.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Luqman Hakim, juga memastikan bahwa genderang tahapan kontestasi elektoral yang dapat dipastikan menelurkan RI-1 baru itu akan dimulai 25 bulan sebelumnya. Artinya, siapapun yang akan berkompetisi harus telah siap sejak Maret 2022.
Kepastian rangkaian kompetisi yang akan dimulai kurang dari setahun dari sekarang, kiranya membuat arah manuver sejumlah partai politik (parpol) kian terlihat jelas. Berbagai strategi pun mulai disusun dan terlihat di permukaan, tak terkecuali yang dilakukan Partai Bulan Bintang (PBB).
Namanya yang hampir terlupakan karena gagal lolos ke Senayan di tiga edisi Pileg beruntun, membuat PBB tampaknya berusaha membuat gebrakan. Teranyar, partai yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra itu merekrut sejumlah nama selebritis untuk memperkuat line-up mereka menyambut Pemilu 2024.
Baca Juga: Pramono Anung Mulai Tersisih?
Charlie van Houten atau Charlie ST12, Andika Mahesa atau Andika Kangen Band, hingga Aldi Taher terkuak telah merapat ke PBB. Nama terakhir menjadi cukup menarik karena belakangan selalu menjadi pusat perhatian di media sosial, yang sayangnya berkat kontroversi yang kerap dibuatnya.
Aldi Taher sendiri telah bergabung dengan PBB sejak Maret lalu. Namun baru pada akhir pekan kemarin, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Afriansyah Noer, mengungkapkan bahwa alasan perekrutan itu memang dilakukan sebagai strategi untuk mendongkrak elektabilitas partai, terutama menjaring suara dari kalangan muda.
Akan tetapi, reaksi di lini masa atas kabar tersebut tampaknya justru mengindikasikan ihwal sebaliknya dari harapan PBB. Ya, komentar yang nadanya sumbang justru hadir, khususnya berita direkrutnya Aldi Taher oleh partai Islam modernis tersebut.
Dari pantauan secara kasat mata, netizen justru menyatakan keengganan memilih PBB. Tak hanya itu, ada pula yang menilai bahwa masuknya Aldi Taher malah akan memperpanjang daftar kekalahan PBB dalam pemilu mendatang.
Lalu, dengan kontroversi yang ada, plus reaksi awal publik yang seharusnya dapat diprediksi tersebut, mengapa PBB merekrut sosok seperti Aldi Taher untuk menghadapi Pemilu 2024?
Kapitalisasi Kontroversi ala PBB?
Dalam kancah politik masa kini, masuknya selebriti ke dalam parpol telah menjadi hal yang biasa. Contohnya pun cukup banyak di dalam politik di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Konsep celebrity politics menjadi satu variabel anyar yang turut menentukan dalam diskursus mengenai political marketing atau pemasaran politik. Oleh karena itu secara harfiah, masuknya Aldi Taher, terlepas dari kecenderungan kontroversinya, dapat dipahami sebagai bentuk political marketing dari PBB.
Kajian terkait adopsi istilah maupun pendekatan ekonomi – khususnya marketing – dalam perilaku politik terus berkembang seiring waktu. Publikasi berjudul Political Marketing and The Marketing Concept yang ditulis oleh Aron O’Cass, menjadi salah satu analisa paling awal mengenai perilaku dan orientasi parpol dalam mengartikulasikan perspektif marketing menjadi strateginya di ranah politik.
Celebrity politics sendiri berangkat dari utilitas atau penggunaan sudut pandang marketing, ketika selebritas memiliki fitur simbolis dan emosional untuk menghasilkan asosiasi sosiopsikologis yang aspiratif bagi khalayak.
Akan tetapi, kata kunci berupa “aspiratif” menjadikan konsep celebrity politics menemui hakikat idealnya. Lantas bagaimana dengan sosok atau selebriti yang cenderung kontroversial?
Nyatanya, kontroversi pun dapat dieksploitasi menjadi sebuah marketing politik. Dalam dunia marketing, terdapat istilah atau jenis pemasaran yang disebut dengan shock advertising atau shockvertising.
Secara definisi yang termuat dalam berbagai analisa marketing, shockvertising merupakan jenis pemasaran yang secara disengaja bersifat kontroversial, mengejutkan, memantik perhatian lebih dari audiensnya, hingga terkadang “menyimpang” dari norma atau nilai-nilai sosial ataupun idealisme personal sang penyampai pesan.
Selain kontroversial, hasil akhir yang mungkin dihasilkan dari shockvertising ialah pesan politik yang berani dan provokatif, serta menantang pemahaman konvensional publik tentang tatanan berbagai aspek kehidupan yang ada.
Baca Juga: Noble Lie, Jokowi Pasti Berbohong?
Dalam ranah politik praktikal, Nives Zubcevic-Basic dalam What Impact Do Celebrity Endorsements Really Have? turut menyiratkan bahwa kontroversi dan bahkan eksistensi eksistensi selebriti yang tergolong kontroversial dalam kampanye politik, mungkin akan menemui kalkulasi menguntungkan bagi aktor politik tertentu. Terutama ketika berbicara efektivitas dan audiens atau konstituen.
Hal tersebut pernah dipraktikkan Partai Republik dan Donald Trump di Pemilu Amerika Serikat (AS) tahun 2016, ketika menggandeng selebriti kontroversial seperti Charlie Sheen. Trump sendiri yang memang kontroversial, juga seorang mantan selebriti. Dan Nives menyebut bahwa pemaknaan Trump atas identifikasi publik terhadap persona selebriti, membuatnya memiliki pemaknaan tertentu dan menerjemahkannya ke dalam kampanye politiknya yang kontroversial dan berakhir dengan kemenangan kala itu.
PBB yang merekrut sosok kontroversial seperti Aldi Taher, bisa saja juga sedang berusaha mempraktikkan shockvertising sebagai gebrakan. Selain agar kembali menarik perhatian publik, sosok kontroversi juga mungkin diharapkan dapat menjadi media penyampai narasi out of the box dalam kehidupan sosial politik yang selaras dengan irisan audiens kedua belah pihak, atau bahkan lebih luas lagi.
Lantas, mungkinkah Aldi Taher dapat menghadirkan kontribusi positif bagi PBB? Atau Ia justru membawa dampak sebaliknya?
Aldi Taher dan “Perjudian” PBB
Pasca reformasi, PBB turut meramaikan persaingan politik level nasional. Tetapi sayangnya, di tiga edisi pemilu terakhir, partai yang sempat dipimpin Malem Sambat Kaban atau yang dikenal dengan MS Kaban itu, gagal meloloskan kadernya ke Gedung MPR/DPR Jakarta.
Bahkan, di Pileg 2014 dan 2019 lambang PBB nyaris tak ada dalam lembar surat suara karena terlebih dahulu divonis tak lolos verifikasi oleh KPU. Perjuangan banding yang berhasil pun seolah kurang sepenuhnya bermakna karena tak berhasil melenggang ke Senayan.
Digadang sebagai suksesor Partai Masyumi, PBB nyatanya gagal menapaki kejayaan meski disebut mewarisi basis massanya. Sumber daya partai ditengarai menjadi problematika utama. Perkara yang sempat diungkapkan Ketua Umumnya sendiri, Yusril Ihza Mahendra, yang menyebut bahwa kendatipun PBB memiliki infrastruktur partai sampai ke bawah, persoalan krusial yakni masalah dana dan manajemen partai selama ini masih menjadi kendala mendasar.
Ihwal tersebut kiranya punya dampak sistemik pada bagaimana strategi PBB yang tampak saat ini. Meskipun tampak sebagai langkah lumrah dalam politik, perekrutan selebriti seperti Aldi Taher sesungguhnya dapat dimaknai sebagai pertaruhan besar bagi PBB. Paling tidak, hal itu dapat dilihat dari dua tendensi yang muncul setelah bergabungnya Aldi Taher dan selebriti lainnya.
Pertama, PBB sebelumnya bukanlah entitas yang akrab dengan pengusungan selebriti sebagai pendongkrak popularitas partai, baik sebagai kader maupun sebagai bakal calon legislatif.
Baca Juga: Ganjar “Bunuh Diri” Jika Tetap di PDIP?
Kedua, di saat bersamaan, pemilihan selebriti dengan kecenderungan kontroversi juga membuat hasil akhir dari publisitas yang diharapkan menjadi cukup sulit diproyeksikan secara konkret.
Muara positif dari shockvertising yang telah dijabarkan di bagian terdahulu, sesungguhnya masih menyisakan sejumlah pertanyaan dalam case riil bergabungnya selebriti kontroversial ke PBB.
Memang, terdapat istilah terkenal dari pemain teater dan politisi AS Phineas Taylor Barnum, yakni “all publicity is good publicity”. Akan tetapi, jawaban yang tak pasti hadir ketika muncul pertanyaan, pada titik apa publisitas yang tidak baik menjadi publisitas yang baik?
Oleh karena itu, satu-satunya presumsi positif secara konkret dari bergabungnya sosok selebriti kontroversial seperti Aldi Taher – di luar publisitas – ialah sebagai strategi baru untuk minimal mempertahankan kekuatan yang dimiliki PBB saat ini.
Walaupun kehilangan lima kursi di tingkat DPRD Provinsi dibanding Pileg 2014, PBB masih dapat meloloskan kadernya di lima wilayah di Pileg 2019 yakni, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Pada bagian Rational Voters, Saiful Mujani dan R. William Liddle dalam Voting Behavior in Indonesia since Democratization, mengatakan bahwa meski kecenderungan pemilih rasional mengalami peningkatan, keberpihakan pemilih Indonesia secara umum pada akhirnya tetap berlandaskan penilaian yang sangat beragam.
Terlebih ketika berbicara konstituen kewilayahan, di mana sosok selebriti kontroversi seperti Aldi Taher mungkin saja masih memiliki relevansinya dalam membawa narasi sosial politik kekinian dari sudut pandang yang berbeda atau bahkan “irasional”.
Namun sekali lagi, dinamika dan kombinasi perilaku pemilih, hingga isu dan bentuk poros politik nantinya, masih akan terus bergulir dan dapat saja berdampak pada strategi PBB merekrut selebriti dan potensi output-nya kelak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
► Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.