Indonesia baru saja meluncurkan Satelit Satria-1. Satelit telekomunikasi ini disebutkan akan memberikan manfaat besar bagi akses internet masyarakat Indonesia. Tapi, apakah Satria-1 hanya berguna untuk kepentingan sipil belaka?
Tanggal 18 Juni 2023 jadi hari yang sangat bersejarah bagi Indonesia. Bagaimana tidak, pada hari itu negara kita berhasil meluncurkan Satelit Republik Indonesia (Satria-1), sebuah satelit telekomunikasi milik kita sendiri yang diluncurkan di Kennedy Space Center, Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat (AS), dengan jasa roket peluncur dari perusahaan teknologi, SpaceX.
Satelit Satria-1 sendiri memiliki beberapa fakta menarik yang membuat peluncurannya bukan sebagai sesuatu yang pantas kita lupakan begitu saja.
Pertama, Satria-1 merupakan satelit multifungsi pertama milik Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang digunakan untuk menyediakan akses internet pada sejumlah titik layanan publik seantero Nusantara, terutama, di wilayah yang tidak tercakup jaringan fiber optik.
Kedua, Satria-1 jadi satelit telekomunikasi dengan kapasitas terbesar di Asia, dan urutan kelima di dunia, dengan kapabilitas total transmisi 150Gbps. Keunggulan ini nantinya akan dimanfaatkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemenristek), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), serta TNI dan Polri.
Yess, sesuai pemberitaan yang bermunculan, peluncuran Satelit Satria-1 is all about akses internet yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Namun, apakah benar demikian? Benarkah proyek yang katanya menghabiskan dana sampai US$540 juta (Rp8,1 triliun) tersebut hanyalah mengenai koneksi internet? Atau jangan-jangan juga sebenarnya menyimpan intrik keperluan pertahanan dan keamanan Indonesia?
Teknologi dan Kekuatan Negara
Menarik jika kita berbicara tentang kemajuan teknologi suatu negara. Meskipun perkembangan teknologi tidak berdampak secara langsung pada kapabilitas negara dalam mempertahankan kedaulatannya, tidak dipungkiri bahwa manfaat yang dihasilkan oleh teknologi baru bisa sangat krusial dalam peningkatan pertahanan nasional.
Di Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) misalnya, sesuai pembahasan artikel PinterPolitik berjudul Mengapa Militer Tiongkok Bisa Kuat?, alasan mengapa kapabilitas militer kedua negara tersebut bisa sangat maju adalah karena industri komersil mereka kerap memiliki keterikatan dengan keperluan yang ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya, inovasi-inovasi baru yang ditemukan oleh industri komersil AS dan Tiongkok beberapa di antaranya juga diselaraskan dengan kepentingan militer. Hal seperti ini umumnya disebut dengan istilah military-industrial complex.
Tentu, kita harus akui bahwa AS dan Tiongkok adalah contoh ekstrem dari pemanfaatan kemajuan teknologi untuk kepentingan pertahanan, akan tetapi, setidaknya kita bisa mengambil kepastian bahwa wajar bila suatu negara menanamkan kepentingan pertahanannya pada sebuah proyek sains dan teknologi.
Kecurigaan tersebut pun wajar bila kita tempatkan untuk menganalisis alasan di balik urgensi Indonesia luncurkan Satelit Satria-1.
Terkait itu, ada sebuah pandangan menarik dari ilmuwan Hubungan Internasional, Bleddyn E. Bowen, dalam bukunya Original Sin: Power, Technology and War in Outer Space. Di dalamnya, Bowen berargumentasi bahwa di balik semua proyek antariksa, entah itu peluncuran roket baru atau penempatan satelit di orbit seperti Satria-1, semuanya berasal dari satu pemikiran primordial sebuah negara, yaitu keperluan untuk menjaga eksistensinya di tengah rimba politik internasional yang anarkis.
Bowen pun mengingatkan pada kita semua bahwa program antariksa secara prinsipnya tidak akan pernah terlepas dari kepentingan pertahanan. Dengan menggunakan istilah original sin atau dosa awal, Bowen menegaskan bahwa yang menjadi tulang punggung sebuah program antariksa agar mendapat persetujuan politik sebetulnya bukanlah kepentingan riset ataupun sains, melainkan kemampuan teknologi itu untuk menjadi senjata pembunuh paling mutakhir yang bisa digunakan pada negara lain.
Nah, bagaimana kemudian kita membawa pandangan ini ke persoalan peluncuran Satelit Satria-1? Well, cukup sederhana. Kembali mengutip Bowen, ribuan satelit di dunia saat ini bekerja secara diam-diam di belakang layar untuk memberikan informasi militer, intelijen, dan ekonomi yang penting, tentu tidak menutup kemungkinan Satelit Satria-1 berfungsi serupa, bukan?
Kalau memang kapabilitas telekomunikasi Satria-1 setangguh yang diberitakan, maka selain bisa membuka akses internet yang cepat ke seluruh Indonesia, Satria-1 juga akan sangat bermanfaat untuk memfasilitasi integrasi dan koordinasi berbagai aset militer yang dimiliki TNI. Teknologi Satria-1 memungkinkan proses sharing data antara Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU) yang begitu cepat, yang kemudian bisa meningkatkan keefektifan performa militer dalam masa-masa krisis.
Terlebih lagi, Satria-1 termasuk satelite jenis Very High Throughput Satellite (VHTS), sebuah jenis satelit modern yang dapat mendukung sensor pencitraan resolusi tinggi, yang akan sangat berguna dalam upaya pengumpulan data-data intelijen. Teknologi ini memungkinkan militer Indonesia mendapatkan citra medan perang secara tepat waktu dan terperinci, melakukan penginderaan jarak jauh atas ancaman musuh, dan melakukan misi pengintaian.
Namun, peluncuran dan penempatan Satelit Satria-1 di orbit pun sepertinya membawa pesan penting lain di samping poin-poin yang kita bicarakan di atas, utamanya, terkait harga diri Indonesia.
Satria-1 Adalah “Pembalasan”?
Penting untuk diketahui bersama bahwa Satelit Satria-1 adalah satelit yang ditempatkan di orbit geosynchronous (GSO). Satelit-satelit yang ditempatkan di orbit ini adalah satelit yang ditempatkan di orbit terbatas di sekeliling khatulistiwa pada ketinggian yang spesifik. Akibatnya, slot di orbit GSO kerap diperebutkan oleh negara yang satu atas negara yang lainnya.
Mengapa bisa demikian? Well, ini karena slot satelit GSO yang diberikan International Telecommunication Union (ITU) menggunakan prinsip first come first serve, yang artinya siapa yang bisa menempatkan satelitnya duluan di salah satu slot orbit GSO, maka dia-lah yang paling berhak menempatkannya, meskipun slot tersebut sebenarnya berada di atas negara lain.
Persoalan ini sudah puluhan tahun jadi bahan perdebatan di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) karena dianggap melanggar prinsip kedaulatan negara. Para negara yang belum memiliki teknologi satelit mumpuni berpandangan bahwa satelit-satelit GSO tersebut bisa saja memiliki pemantauan yang tidak diizinkan terhadap wilayahnya.
Masalahnya, Indonesia termasuk dari salah satu negara yang bisa kita bilang “dirugikan” atas prinsip first come first serve tersebut. Meskipun kita memiliki belasan slot GSO, hak guna kita kerap diberi tantangan karena belum memiliki satelit yang pantas ditempatkan di orbit GSO.
Sebagai contoh, Kementerian Pertahanan (Kemhan) pernah tidak sanggup menyelesaikan pembayaran sewa Satelit Artemis kepada Avanti Communications. Avanti kemudian memindahkan Satelit Artemis keluar dari Orbit 123o (slot Indonesia) pada tahun 2017, yang membuat ITU memberikan peringatan kepada Indonesia bahwa kita harus mengisi slot tersebut sebelum tahun 2024.
Menariknya, Indonesia sempat disebutkan berpotensi kehilangan slot 146 BT pada tahun 2021, hingga akhirnya Kominfo berhasil mengamankan slot tersebut sampai 31 Oktober 2023. Sebagai informasi, slot 146 BT adalah slot GSO yang digunakan Satelit Satria-1.
Dengan demikian, melalui pengamanan slot 146 BT yang berlokasi di atas Pulau Papua, satelit Satria-1 seakan menjadi jawaban pemuas bagi Indonesia bahwa kita setidaknya sudah menempati slot yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh negara lain tersebut.
Bagi kalangan mereka yang memperjuangkan hal ini, itu tentu adalah sesuatu yang begitu memuaskan, karena bisa saja bagi mereka perjuangan dalam mempertahankan slot GSO adalah ibarat perjuangan melawan “imperialisme modern”.
Di sisi pertahanan, seperti pembahasan ala Bleddyn E. Bowen di atas, mengingat sifat slot GSO yang begitu rawan atas kepentingan pertahanan, kita setidaknya bisa memastikan bahwa untuk saat ini tidak ada negara lain yang bisa mengeksploitasi slot tersebut dan memiliki pemantauan pada wilayah Timur Indonesia. Jadi, dalam kata lain, Satelit Satria-1 sesungguhnya bisa dianggap sebagai solusi pertahanan antariksa Indonesia yang saat ini sedang genting untuk dipertahankan.
Namun tentu, ke depannya perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya masih cukup panjang. Setidaknya, kita bisa sedikit demi sedikit mensyukuri setiap progres positif yang didapatkan.
In the end, barangkali ini adalah salah satu kado terakhir dari kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk sektor pertahanan dan teknologi Indonesia. (D74)