Site icon PinterPolitik.com

Al Zaytun-Panji dan NII, “Bidak Politik”?

ibadah di ponpes al zaytun indramayu

Foto dokumentasi salat Idul Fitri 1444 Hijirah yang diselenggarakan di Masjid Rahmatan Lil Alamin di Ponpes Al-Zaytun Indramayu. Salah satu yang disorot adalah keberadaan seorang makmum perempuan di tengah saf pria dan adanya dua orang makmum di samping imam. (Foto: Instagram/Kepanitiaan Al-Zaytun)

Polemik pondok pesantren Al Zaytun dan pimpinannya, yakni Panji Gumilang terkait dugaan ajaran kontroversialnya, plus dugaan afiliasi sejumlah oknum pondok dengan Negara Islam Indonesia (NII) melebar hingga isu backing pejabat tinggi negara. Lalu, sejauh mana kebenaran isu itu? Apakah polemik Al Zaytun yang mendadak muncul merupakan salah satu premis dengan kesimpulan tertentu jelang tahun politik 2024? 


PinterPolitik.com 

Polemik dan kontroversi Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun di Indramayu, Jawa Barat (Jabar) pimpinan Panji Gumilang masih bergulir liar. Isu bahkan berkembang hingga tudingan eksistensi backing dari sosok “Pak Kumis” yang disebut merupakan eks pejabat penting negeri serta satu pejabat Istana. 

Isu backing sendiri keluar dari pernyataan dari salah satu pendiri Ponpes Al Zaytun Iman Supriatno. Hal itu dikuak dalam program Catatan Demokrasi tvOne pada hari Selasa, 20 Juni 2023 lalu. 

Berdasarkan pengakuan Iman, Pak Kumis identik dengan sosok “mbahnya intelijen Indonesia”, sementara pejabat Istana yang dimaksud adalah Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. 

Tentu hal itu belum bisa dikonfirmasi kebenarannya. Namun, berbagai dugaan tersebut seolah tanpa kendali setelah serangkaian kontroversi muncul dari Panji Gumilang serta Ponpes Al Zaytun. 

Terbaru, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut pihaknya akan membentuk tim investigasi untuk menyelesaikan persoalan setelah bertemu Gubernur Jabar Ridwan Kamil kemarin lusa (24/6). Mahfud menyebut unsur dugaan tindak pidana di Ponpes Al Zaytun sangat jelas. 

Ridwan Kamil sendiri sebelumnya menyebut Ponpes Al Zaytun menerima pendanaan miliaran rupiah dari pemerintah setiap tahunnya, ihwal yang langsung diklarifikasi oleh Kementerian Agama (Kemenag) sebagai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). 

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut mengutarakan pendapatnya dan telah melakukan investigasi independen. Mereka menemukan bahwa terdapat penyimpangan akhlak dan pidana di Ponpes Al Zaytun, plus dugaan oknum yang terafiliasi Negara Islam Indonesia (NII). 

Sementara itu, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin juga ikut angkat bicara. Dirinya memastikan akan ada tindakan tertentu terhadap Ponpes Al Zaytun dan pihak terkait jika dugaan penyimpangan telah terbukti. 

Kontroversi Ponpes Al Zaytun kiranya telah menjadi topik pembicaraan hangat di meja makan, warung kopi, hingga grup whatsapp dalam beberapa waktu terakhir. 

Isu afiliasi dengan NII kemudian menjadi salah satu fokus menarik saat diskursusnya seolah tak pernah hilang dan muncul kembali dalam periode tertentu. 

Kegaduhan yang dibuatnya pun kemudian memantik tanya tersendiri, yakni mengapa polemik Ponpes Al Zaytun, Panji Gumilang, backing pejabat, dan NII seolah bisa tiba-tiba muncul? Mungkinkah ada kaitannya dengan agenda tahun politik yang sudah bergulir saat ini? 

Al Zaytun, Di-NII-kan? 

Jika publik tanah air masih ingat, isu NII atau Darul Islam (DI) senantiasa hadir dalam beberapa waktu tertentu setelah keberadaannya seolah bagaikan mitos usai pendirinya, yakni Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ditangkap dan dieksekusi mati pada tahun 1962. 

Akan tetapi, NII yang terpecah disebut tetap eksis melalui gerakan bawah tanah sebagaimana turut dijelaskan Solahudin dalam buku berjudul The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jema’ah Islamiyah

Mengacu pada sejumlah literatur, dalam perjalanannya, paling tidak terdapat dua haluan besar “pecahan NII” yang kemungkinan masih memiliki pendukung maupun simpatisan hingga saat ini. 

Pertama, adalah mereka yang bersikukuh menempuh jalur kekerasan untuk mewujudkan cita-cita negara Islam yang menerapkan syariat secara menyeluruh. 

Mengutip Solahudin, pada tahun 1985 hingga awal 90-an, salah satu pecahan yang kemungkinan memiliki afiliasi maupun menganut paham NII mengirim anggotanya ke Afghanistan untuk menjalani pelatihan militer sebagai foreign fighters, bersamaan dengan konflik yang tengah berkecamuk saat itu. 

Saat kembali ke Indonesia dan memisahkan diri dari NII atau DI, mereka mendirikan Jamaah Islamiyah (JI) pada tahun 1993 yang kemudian bertanggung jawab atas dua tragedi Bom Bali dan serangkaian aksi teror setelahnya. 

Sepanjang tahun 2010 hingga tahun 2013, dari 77 kasus terorisme yang terungkap, 50 di antaranya melibatkan anggota atau mantan anggota NII. 

Sementara itu, pecahan NII kedua adalah mereka yang ingin meneruskan cita-cita Kartosuwiryo namun bukan dengan kekerasan dan dalam dimensi yang berbeda. 

Saat pecahan NII pertama melakukan aksi teror di Indonesia, kelompok kedua disebut terkejut karena pada dasarnya mereka adalah Muslim tradisionalis yang bahkan juga percaya mistisme. 

So called “pecahan NII” kedua juga dikatakan ada yang menempuh jalan damai dan memilih metode lain untuk menghadirkan nilai-nilai Islam secara kompromistis dalam bingkai kebangsaan. 

Jika ditelusuri, kelompok ini memiliki benang merah dengan apa yang dirintis oleh Mohammad Natsir. Dalam catatan Rendy Adiwilaga dalam Jurnal Wacana Politik Vol. 2 Natsir dikatakan memiliki ideologi serupa dengan Kartosuwiryo. 

Natsir dan Kartosuwiryo sempat mendirikan kelompok bernama Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) sebelum keduanya aktif di Masyumi yang notabene merupakan fusi politik Islam pertama di tanah air. 

Akan tetapi, saat NII dan DI/TII memberontak, Masyumi memberikan jarak dengan gerakan pendirian negara Islam, mengecam segala gerakan separatis, dan menyatakan tidak terikat dengan DI/TII. 

Secara terpisah, Natsir tidak menggunakan kekerasan tetapi lebih menggunakan metode tarbiyah (pendidikan) untuk mendapatkan dukungan dalam mendirikan konsep negara Islam yang diyakininya sebagai kekuatan politik esensial umat Islam, bukan diaktualisasikan secara harfiah. 

DDII yang digagas Natsir, di kemudian hari mendapatkan simpati dari mahasiswa dan menjadi lembaga alternatif dalam membentuk masyarakat yang Islami. 

Lembaga tersebut kemudian menginisiasi lahirnya KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) serta membangun Partai Keadilan (PK) di era Reformasi – partai yang menjadi cikal bakal PKS (Partai Keadilan Sejahtera). 

Bersamaan dengan itu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hingga Front Pembela Islam (FPI) muncul mewarnai kelompok yang disebut-sebut memiliki visi negara dengan syariat Islam meski dalam penafsirannya masing-masing. 

Sejarawan dari UIN Jakarta Amelia Fauziah mengatakan kelompok Islam yang bercita-cita mendirikan negara Islam tidak mudah untuk bersatu. Itu dikarenakan, satu kelompok dengan kelompok lainnya memegang teguh keyakinannya sendiri-sendiri. 

Benang merah dari perpecahan itu terjadi karena sebagian tokoh dan pengikutnya memutuskan “berdamai” dengan situasi politik, termasuk aktif menjadi bagian maupun secara langsung atau tidak langsung digunakan sebagai “alat” dari tarik menarik kepentingan politik nasional. 

Ketika sampai pada telaah ini, polemik Al Zaytun, Panji Gumilang, dan dugaan keterkaitannya dengan NII yang muncul secara tiba-tiba dan bergulir liar agaknya menguak keganjilan tertentu. 

Khususnya terkait keganjilan mengenai apakah isu ini sesungguhnya menjadi sarana bagi kepentingan politik tertentu jelang 2024. 

NII Bidak Siapa? 

NII – untuk kesekian kalinya – kembali disangkutpautkan dengan polemik keagamaan kontemporer, kali ini Ponpes Al Zaytun dan Panji Gumilang. 

Kendati diakui oleh sejumlah pihak internal Al Zaytun bahwa oknum yang menjurus ke ajaran dan perekrutan NII eksis, “meledaknya” isu kemudian menimbulkan tanya mengapa kemunculannya terjadi saat ini, khususnya jelang tahun politik. 

Secara historis, isu NII dengan dinamika politik nasional memang tak dapat dipisahkan. Meski di bawah tanah, NII memiliki simpatisan dan basis massa tersendiri yang seakan dilihat cukup signifikan untuk memengaruhi preferensi maupun impresi politik. 

Pecahan NII sendiri sempat menjadi anomali saat berhasil dirangkul pemerintah di era Orde Baru (Orba). Menurut mantan anggota NII Al Chaidar, kelompok yang disebut sebagai NII Fillah itu kemudian menjalin hubungan dekat dengan pemerintah setelah dirangkul oleh Ali Moertopo. 

Jelang dan pasca Reformasi, saat JI – selanjutnya bertransformasi menjadi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi ISIS, dan Jamaah Ansharut Khilafah (JAK) – menjadi dalang sejumlah aksi teror, nama NII kembali menjadi sorotan karena dianggap menjadi “ibu kandung” kelompok terorisme. 

Pada tahun 2011 silam, isu NII yang kembali muncul disinyalir merupakan alat politik tertentu. Hal itu dikemukakan oleh Sekjen DPP PKS saat itu, Anis Matta, yang mempertanyakan apakah isu NII menjadi alat untuk memojokkan Islam. 

Itu dikarenakan, isu telah bergulir secara sejak lama. Bahkan, silih bergantinya presiden, pemerintah tampak tak kuasa memberantas NII sampai ke akarnya, yang justru menimbulkan kesan seakan mereka dibiarkan. 

Dalam konteks yang saling berkaitan, dengan tetap tumbuh dan berkembangnya isu NII, penegakan hukum Indonesia turut berpeluang dianggap tak berjalan dengan baik. 

Di titik ini, kewibawaan pemerintah dipertaruhkan untuk tidak membiarkan isu NII terus tumbuh dan berkembang. Apalagi, dalam konteks Al Zaytun dan Panji Gumilang, isu terus menggelinding liar serta membuka dugaan “dilindungi” oleh tokoh penting di negeri ini. 

Menariknya, kemunculan simpati dan ketertarikan untuk mendukung NII dari para simpatisannya tampak tak dapat dilepaskan dari kemungkinan parpol Islam di Indonesia yang tak lagi representatif. 

Kini, parpol Islam agaknya kini justru berlomba untuk lepas dari kesan entitas fundamentalis dan tak lagi berfokus untuk menawarkan solusi untuk masalah yang dialami rakyat. 

Terombang-ambingnya representasi kelompok Islam yang dapat menyalurkan aspirasi sesuai syariat yang masing-masing mereka yakini kemudian menjadi peluang untuk dikapitalisasi oleh pihak tertentu serta demi kepentingan tertentu pula. 

Kendati penjelasan di atas sebatas interpretasi semata, menarik kiranya untuk tetap menantikan muara dari polemik Ponpes Al Zaytun dan dugaan keterkaitannya dengan NII hingga isu backing pejabat yang mengiringinya. (J61) 

Exit mobile version