Aktivis kemanusiaan malah mengeksploitasi kelompok yang dilindunginya. Apa yang bisa lebih buruk dari itu?
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]ktivis kemanusiaan Oxfam Inggris, Roland van Hauwermeiren, mengejutkan publik karena dilaporkan The Times of London, menyewa pelacur di Haiti. Tak sembarang pelacur, mereka bahkan masih berusia di bawah umur dan berada dalam perlindungan Oxfam, salah satu lembaga kemanusiaan ternama di dunia.
Dari sana, serangan dan kecaman bertubi-tubi datang kepada Oxfam Inggris dan Roland. Mengingat ‘agungnya’ misi pertolongan Oxfam di Haiti, yang ternyata bertolak belakang dengan apa yang ditemukan di lapangan, mewajarkan datangnya gelombang kekecewaan.
Oxfam boss “It’s not like we murdered babies” comment is a disgusting attempt to downplay their wrongdoing. He should resign. He doesn’t get it at all. https://t.co/eIfyZig4eH
— Peter Thompson (@P_G_Thompson) February 17, 2018
Belum habis rasa terkejut dan marah, pernyataan menghebohkan lainnya ikut menimpali. Andrew MacLeod, mantan staf Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sekaligus profesor di King’s College, London, berkata jika beberapa aktivis PBB pernah pula memperkosa perempuan-perempuan di negara dunia ketiga di tahun 1990-an.
Apa yang menimpa Oxfam Inggris dan PBB di atas, mau tak mau membuat pertanyaan-pertanyaan muncul. Bagaimana bisa lembaga dan individu, yang membawa panji-panji perjuangan pada kemanusiaan, malah mengeksploitasi kelompok yang dilindungi dan diperjuangkan? Apa pula hukuman yang pantas diberikan pada aktivis dan lembaga tersebut? Lantas, kebalkah Indonesia dari skandal serupa?
Tak Mengejutkan, Namun Mengecewakan
Dalam karyanya, novelis klasik George Sanders pernah berbicara soal ironisme. Menurutnya, ironisme adalah bentuk kejujuran yang kadar suaranya ditinggikan (ironism is just honesty with the volume cranked up).
Jika mengambil kasus Oxfam Inggris dan PBB, tingkatan kejujuran yang ada bukan lagi ditinggikan suaranya, namun sudah membuat bising. ‘Kebisingan’ ini, barangkali ikut menutupi kasus-kasus yang jauh lebih ironis dan tak terungkap.
Layaknya puncak gunung es, publik saat ini hanya dapat melihat sejumput kisah kecil di permukaan, tetapi di bawahnya, tak menutup kemungkinan terdapat cerita yang membuat dahi mengernyit lebih keras.
Sayangnya, apa yang terjadi pada Oxfam Inggris dan PBB, ternyata tak kebal dialami oleh Indonesia. Walau tak mendapat lampu sorot seterang dan sekencang dua lembaga internasional itu, skandal yang terjadi di Indonesia lebih ironis, sebab pelakunya berasal dari aktivis lokal yang membawahi kelompok marjinal di berbagai daerah.
Namun begitu, ada juga beberapa pemberitaan yang sempat mengemuka. Salah satunya adalah temuan Koalisi Selamatkan Komnas HAM yang dipimpin oleh Tatok Yulianto. Di tahun 2017, Tatok membeberkan jika delapan calon komisioner HAM periode 2017-2022, terbukti melakukan pelecehan seksual. Hal ini ditiliknya dari jejak digital, catatan hukum, serta dialog langsung.
Selain Komnas HAM, yang juga sempat membuat heboh adalah aktivis lingkungan berinisial PWD. Aktivis yang sebenarnya mahasiswa berprestasi ini, dilaporkan memperkosa anak di bawah umur dari berbagai kota. Selain dirinya, seorang aktivis nelayan di Sulawesi Utara berinisial AB, juga terbukti membawa kabur uang donasi para nelayan senilai puluhan juta rupiah. Lalu yang terbaru di tahun 2018, seorang aktivis kesetaraan gender cum jurnalis berinisal AD, juga diduga melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa perempuan.
Para aktivis ‘garong’ tersebut tak hanya bermain-main dengan posisi dan titel pekerjaannya, tapi yang paling kentara, mereka juga melibatkan relasi kuasa dengan kelompok marjinal yang dibawahinya.
Pengetahuan, pemahaman, dan kedekatan dengan kelompok marjinal tersebut, dijadikan sebagai ‘pengukuran medan’ untuk menuntaskan hasrat rendahnya yang terpendam. Jikalau ironisme dan paradoks tak mampu menggambarkan perlakuan mereka, maka hal itu boleh disebut bejat dan banal.
Yang mengerikan, beberapa aktivis ‘garong’ yang terbuka kedoknya ini, bukanlah sosok bodoh dan kasar. Mereka sangat aktif malang melintang dalam dunia aktivis dan intelektual, baik di dunia maya maupun terjun ke lapangan langsung. Bahkan aktivis berinisial PWD, pernah dinobatkan sebagai mahasiswa berprestasi di kampusnya. Bisa dikatakan, mereka mereguk peran sebagai ‘aktivis-selebriti’ yang memiliki banyak pemuja.
Tapi tentu saja, penampilan bisa menipu ratusan kali, namun hasrat memanjat tangga sosial dengan berlindung di balik nama kelompok marjinal, tak bisa selamanya ditutupi. Setelah ‘korengnya’ terbuka, mereka juga beramai-ramai dihujat, ada yang diseret ke penjara, ditinggalkan, walau ironisnya, tetap ada yang membela.
Penjara dan Eksklusi, Mana Efektif?
Para aktivis lokal ini memang menempuh nasib beragam, pasca terbongkarnya aib mereka. Ada yang dipenjara polisi, tereliminasi dari seleksi Komisioner HAM, dan sisanya menghilang bak ditelan malam.
Aktivis ‘garong’ yang saat ini menghilang, awalnya sempat menerima persekusi di media sosial. Saking ramainya hujatan dan kekecewaan yang dialamatkan kepada mereka, membuat para oknum ini menjauh setelah mengeluarkan surat terbuka.
Hal yang sama juga dilakukan Roland van Hauwermieren. Sebelum hiatus, lelaki berusia 68 tersebut menulis surat terbuka berisi permintaan maaf kepada lembaga kemanusiaan tempatnya bernaung, para korban, serta khalayak. Namun, apakah sikap seperti ini cukup untuk menebus paradoks moral yang telah dilakukannya?
Penyelewengan moral yang dilakukan para aktivis ‘garong’ lokal, tak membuat mereka semua diciduk polisi. Walau korban pelecehan dan penipuan sudah bersuara, mereka tak membuat laporan penangkapan apapun ke kepolisian. Oleh karena itu, para oknum tak ditangkap dan masih bisa bersembunyi di ketiak pembelanya.
Ini juga yang dialami aktivis penipu nelayan berinisial AB. Saat kedoknya terbongkar, komunitas nelayan yang dirugikan urung membawa masalah ke ranah hukum. Jadilah ia memilih mundur teratur, setelah dipecat dari komunitasnya.
Sementara aktivis lingkungan PWD, dijebloskan ke penjara atas perkosaan terhadap remaja. Ia ditangkap karena memang melanggar hukum pidana negara Pasal 285-288 KUHP dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Dengan demikian, selain laporan yang dibuat kepada kepolisian, adanya pelanggaran hukum pidana negara, baru bisa membuat oknum aktivis diciduk dan dipenjara. Hal ini, sebetulnya tak berbeda sama sekali dengan pelanggaran hukum pidana yang dilakukan sipil pada umumnya. Posisi sebagai pekerja kemanusiaan pun tidak memberi penambahan atau pengurangan hukuman apapun.
Di sisi lain, lembaga kemanusiaan yang membawahi para aktivis lokal, lebih memilih untuk memecat anggota yang terbukti melakukan pelanggaran moral. Mereka juga tak punya pilihan lebih luas, sebab prosedur rekrutmen lembaganya tak memungkinkan pihaknya menelisik satu persatu riwayat calon aktivis yang masuk. Begitu pula kemampuan untuk ‘menerawang’ dan terus mengawasi sepak terjang para aktivis ini. Ini pula yang terjadi pada Oxfam.
Pekerjaan yang banyak didominasi oleh sifat kesukarelaan atau volunterism dalam lembaga kemanusiaan ini, membuat siapapun bisa ikut berkontribusi, termasuk mereka yang sejak awal punya ‘potensi’ melakukan pelanggaran moral.
Apa yang dihadapi oleh lembaga kemanusiaan independen ini, sangat berbeda dengan lembaga kemanusiaan milik negara seperti Komnas HAM. Seperti yang sudah disebutkan, Komnas HAM memiliki lembaga pengawas bernama Koalisi Selamatkan Komnas HAM.
Dengan keberadan koalisi ini, tiap-tiap calon komisioner Komnas HAM bisa ditelusuri jejak pribadi dan pekerjaannya. Sehingga dari awal sudah dapat terlihat, mana calon Komisioner HAM yang memiliki dan/atau berpotensi bermasalah. Sebagai salah satu instrumen negara, tentu tak salah bila koalisi tersebut terus mengawasi kinerja dan keberadaan Komnas HAM.
Menanggapi paradoks moral para oknum aktivis, Anindya Joediono, aktivis Front Mahasiswa Nasional (FMN) juga pernah berkata masih kesulitan untuk menentukan hukuman seperti apa yang pantas diberikan kepada aktivis ‘garong’ tersebut, sebab persekusi tidak menjamin menimbulkan jera. Tetapi sejauh ini, menurutnya, mengeksklusi secara sosial dan tak lagi memberikan panggung kepada para oknum adalah hal yang tepat dilakukan.
Selain eksklusi sosial, publik juga perlu menyadari bahwa pola pikir misoginisme, seksisme, rasisme, dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya yang menjadi penyebab terjadinya paradoks dan ironisme moral para aktivis kemanusiaan, masih tetap eksis dan mengakar di dalam kalangan yang mengaku progresif dan paling humanis sekalipun.
Jadi Korban Berlapis-Lapis
Jangankan para aktivis yang memang dinilai sebagai sipil biasa, para pendeta yang posisi dan status sosialnya dianggap tinggi pun, tak kebal dari ironi semacam ini. Jika pernah menyaksikan film The Spotlight, oknum gereja bahkan ikut membangun jaringan pelecehan anak-anak di bawah umur.
Sama halnya dengan para oknum aktivis tersebut, kehadiran pendeta malah membuat anak-anak itu menjadi korban berlapis. Sudah lemah secara sosial dan politik, para korban ini masih harus ditindas lagi oleh pihak yang seharusnya ‘membela’ dan ‘melindunginya’.
Jika melihat ini, perkataan Hannah Arendt, soal kekerasan dan kekuasaan sebagai hal yang bertolak belakang, menjadi tak berlaku. Mengapa? Sebab karena kekuasaan berupa pengetahuan dan status sosial lah yang membuat para oknum ini melakukan kekerasan. Kekerasan dan kekuasaan hadir berbarengan dan tak terlihat bertolak belakang.
jika begini, lantas bagaimana sikap publik menghadapi lembaga kemanusiaan yang sudah tercoreng? Apakah boikot dan menghentikan bantuan adalah solusi?
Mark Haddon, sastrawan Inggris peraih penghargaan Guardian, dengan cepat menjawab tidak. Selain menyadari ‘coreng’ yang sudah tercetak, mengapresiasi kemajuan dan perubahan yang dibawa oleh lembaga kemanusiaan kepada kelompok marjinal tertentu patut disadari. Masih banyak lembaga kemanusiaan yang bekerja dan bergerak sesuai dengan idealismenya.
Apa yang disampaikan Haddon tentu tak salah. Hal itu berlaku pada aktivis yang masih rela berkalang darah dan dipenjara karena membela kelompok marjinal, contohnya adalah Munir Thalib dan Budi Pego.
Seperti yang dikatakan April Zhung, jurnalis asal Amerika Serikat dalam Bright the Mag, para aktivis kemanusiaan ini juga harus berhenti memiliki rasa ‘lebih suci dibandingkan orang lain’ karena memiliki waktu, tenaga, dan biaya, untuk membantu kelompok marjinal. Hal ini hanya akan menumbuhkan sifat heroisme semu dan makin jauh dari aksi kebaikan hakiki.
Dari sini, ujaran Sokrates soal inteletualisme moral menjadi relevan. Ia pernah berkata bahwa untuk benar-benar memahami pengetahuan moral, seseorang harus paham apa itu kebenaran dan terus mengerjakan kebaikan (one way of understanding genuine moral knowledge is that we know what is right, we will do what’s right).
Apa yang yang diucapkan Sokrates, mau tak mau terus memaksa untuk merefleksikan kembali aksi-aksi yang dinilai sebagai bentuk kebaikan. Apakah niat dan aksi kebaikan sudah dan akan terus berjalan lurus? Sebab bagaimana pun, Sokrates tahu kalau niat yang baik untuk membantu sesama, ternyata belum menjamin akan melahirkan aksi yang baik pula. (A27)