Rangkaian aksi intoleransi di tanah air yang terjadi berurutan disinyalir bukan kebetulan semata.
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]khir pekan masyarakat berakhir dengan kelabu. Ini terjadi setelah seorang pria bersenjata pedang menyerang Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman, Yogyakarta. Aksi solo sang pelaku ini melukai seorang pastor yaitu Karl-Edmund Prier dan beberapa umat lainnya.
Aksi main tebas ini menambah daftar kekerasan pada pemuka agama yang mulai marak belakangan ini. Sehari sebelumnya, seorang ustaz dikeroyok sekelompok pemuda di Jakarta. Masih segar pula dalam ingatan, seorang biksu yang dipersekusi karena dituduh akan menyebarkan ajaran agamanya.
Rangkaian kejadian yang begitu dekat membuat publik geram sekaligus khawatir. Masyarakat nampak mulai mempertanyakan kondisi toleransi umat beragama di Indonesia. Jagat media sosial mulai menduga-duga akan adanya pihak yang ingin merusak tatanan kerukunan masyarakat.
Banyak yang menduga kalau rangkaian kejadian yang begitu berdekatan ini memiliki makna tersendiri. Publik mulai menerka-nerka bahwa kejadian ini bukan sebuah kebetulan atau dirancang oleh pihak tertentu. Jika benar demikian, siapakah pihak tersebut?
Rangkaian Aksi Intoleran
Sejak penghujung Januari lalu, masyarakat terus-menerus dihebohkan oleh aksi kekerasan pada pemuka agama. Kejadian-kejadian tersebut tampak terpisah-pisah dan tidak berhubungan. Meski begitu, waktu kejadian-kejadian tersebut amat berderetan dan terjadi berturut-turut.
Kejadian paling awal dari rangakaian ini adalah penyerangan terhadap KH Umar Basri di Pondok Pesantren Alhidayah Cicalengka Kabupaten Bandung. Usai melaksanakan salat subuh, pimpinan pesantren tersebut tiba-tiba diserang oleh seorang pria.
Selang beberapa hari kemudian, kejadian serupa kembali terjadi. Komandan Operasional Brigade PP Persis, Ustaz Prawoto secara tiba-tiba diserang oleh seorang pria tak dikenal. Penganiayaan ini berakhir tragis, karena nyawa Prawoto tidak terselamatkan.
Di media sosial juga viral video persekusi terhadap seorang biksu di Legok, Kabupaten Tangerang. Sekelompok orang tampak mengusir pemuka agama Budha tersebut karena dituduh akan menyebarkan agamanya.
Tidak lama dari kejadian tersebut, seorang ustaz, Abdul Halim dikeroyok oleh sekelompok pemuda di Palmerah Jakarta Barat. Pemuda-pemuda ini diduga menghajar sang ustaz karena merasa tidak senang setelah ditegur.
Teranyar, seorang pria berpedang tiba-tiba menganggu ibadah di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Yogyakarta. Aksi seorang diri tersebut, melukai seorang pastor Karl-Edmund Prier dan beberapa umat lainnya.
Tak pelak, publik pun mulai mereka-reka kondisi tersebut dengan berbagai teori konspirasi. Perhatian mulai teralih, dari aksi kekerasan dan intoleransi ke obyek lain. Publik mulai menilai bahwa ada hal lain yang tengah dirancang melalui kejadian-kejadian tersebut.
Ada satu hal yang menarik dari rangkaian kejadian ini. Pelaku penyerangan umumnya dianggap memiliki gangguan kejiwaan. Jika memang ini sebuah kebetulan, cukup aneh jika perilaku kasar terhadap pemuka agama bisa menular, bahkan mewabah.
Sentimen yang mulai nampak di media sosial adalah, harus ada yang bertanggungjawab pada rangkaian kejadian tersebut. Warganet bahkan mengingat kejadian ini serupa dengan prakondisi jelang pembantaian tahun 1965. Beberapa yang lain, menduga ini adalah kerjaan orang yang ingin mencari untung secara politik.
Menurut Direktur Wahid Institute Yenny Wahid, ragam aksi intoleran tersebut memiliki benang merah. Jika aksi-aksi tersebut dilakukan secara sengaja, maka motif yang dimaksud adalah menciptakan rasa tidak aman di tengah-tengah masyarakat.
Menambah Kewenangan Negara
Terlepas dari siapa “oknum” yang akan dimintai pertanggungjawaban, kondisi ini lazimnya akan berujung pada pernyataan negara soal “kondisi darurat”. Negara dalam kondisi darurat ini akan meminta kewenangan lebih untuk menangani kondisi tersebut. Hal ini bersumber dari rasa tidak aman seperti yang dikemukakan Yenny Wahid di atas.
Setelah ulama dan pemuka agama Islam diserang secara brutal, sekarang pemuka agama kristen yang dilukai. Sepintas modusnya sama, pelaku pura2 gila. Siapa yang memainkan skenario keji ini? Dan untuk tujuan apa?
— Yenny Zannuba Wahid (@yennywahid) February 11, 2018
Kewenangan lebih negara ini biasanya akan diwujudkan dalam bentuk formal seperti terrorism act, patriot act atau sejenisnya. Di dalam kondisi ini akan ada seperangkat rancangan atau aturan yang memberikan kewenangan tersendiri kepada negara dan institusi di dalamnya untuk melakukan tindakan tertentu dalam menghadapi kegentingan yang disebabkan oleh aksi terorisme atau kekerasan lainnya.
Di bawah kondisi darurat seperti ini, umumnya pendekatan hukum yang dilakukan akan memiliki perbedaan. Berdasarkan penelitian Conor Greaty, Profesor dari London School of Economics, pada kondisi ini ada tendensi negara tidak akan menggunakan hukum seperti pada kejahatan biasa.
Hukum semacam ini misalnya dapat terlihat pada penerapan Internal Security Act (ISA) di Malaysia atau Singapura. Peraturan ini memberikan kewenangan khusus kepada negara untuk menangkal suatu kerawanan khusus. Dalam ISA dibenarkan secara hukum negara untuk menangkap siapa saja yang dianggap mengganggu keamanan dan bersikap subversif.
Kondisi ini umumnya menjadi celah bagi kelompok militer untuk masuk lebih jauh ke dalam urusan keamanan dalam negeri. Ada kerawanan yang dianggap khusus sehingga angkatan bersenjata dapat dilibatkan lebih jauh dalam urusan menjaga keamanan di dalam negeri.
Siapa yang Diuntungkan?
Jika melihat rangkaian-rangkaian peristiwa belakangan, publik bisa saja menduga bahwa negara memang benar-benar meminta kewenangan baru dari kondisi darurat ini. Publik bisa saja menganggap bahwa negara tengah mencari pembenaran untuk menjalankan kondisi tertentu.
Secara spesifik, sorotan paling utama disinyalir akan tertuju pada institusi militer. TNI bisa saja dianggap akan mengambil untung dari rangkaian kejadian belakangan ini. Kondisi gawat darurat dari kejadian-kejadian yang telah berlalu dapat menjadi pintu masuk bagi korps angkatan perang tersebut.
Melihat perkembangan terakhir, DPR tengah menggodok peraturan agar TNI dilibatkan dalam aksi melawan teror. Wacana ini terus-menerus mengemuka terutama pasca peristiwa Bom Thamrin dua tahun lalu.
ada apa dgn Indonesia ?
belum dingin isu pembunuhan ustadz oleh org gila, isu penganiayaan santri, lalu video viral ttg pengusiran biksu,
dan ….. pagi ini ada org gila di Gereja St. Lidwina, Bedog, Sleman.
mungkinkah ini terjadi “by design”? pic.twitter.com/4h3ZrBLlAd
— J.S. Prabowo (@marierteman) February 11, 2018
Selain itu, TNI juga belakangan tengah dilibatkan dalam banyak kegiatan non-perang. Salah satu pelibatan militer ini adalah mereka akan akan diperbantukan dalam pengamanan unjuk rasa, kerusuhan massa, dan konflik sosial.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, bisa saja publik mengira bahwa TNI akan diberi kewenangan khusus dalam menghadapi beragam aksi intoleransi tersebut. Aksi-aksi ini akan dianggap sebagai kondisi darurat yang memerlukan bantuan penanganan militer. Kategorisasinya bisa beragam, mulai dari terorisme hingga konflik sosial, yang pasti TNI sudah diberikan pintu untuk menerjang kedaruratan tersebut.
Aksi melawan teror atau kekerasan khusus lainnya kerapkali melibatkan dana yang tidak sedikit. Umumnya akan ada penambahan anggaran pada institusi yang diberikan tugas khusus melawan kondisi darurat tersebut. Melihat kondisi ini, institusi TNI dapat meraup untung jika pada akhirnya diberikan tugas khusus memberantas aksi-aksi intoleran dan persekusi pada pemuka agama tersebut.
Dari sisi anggaran misalnya, institusi yang diberi kewenangan dapat mendapat anggaran baru karena ada jenis bahaya baru. Dalam beberapa kasus, seperti pada penanganan terorisme misalnya, dana yang dikucurkan pemerintah cukup melimpah.
Jika diperlukan, persenjataan juga akan ditambah dan diperbarui. Umumnya akan ada senjata yang dipesan khusus untuk kondisi yang khusus. TNI bisa saja mengambil untung dari sisi ini jika memang benar mereka menjadi pihak yang diuntungkan dari kondisi darurat ini.
Memang belum ada bukti dari kondisi-kondisi ini. Akan tetapi, publik sudah kadung terjebak bahwa ada kerawanan khusus. Terlebih, memang nampak ada benang merah dari aksi-aksi intoleran belakangan. Sulit untuk menganggap bahwa rangkaian kejadian tersebut terjadi secara kebetulan dan acak.
Memandang aksi intoleran dari pendekatan keamanan memang sah-sah saja. Akan tetapi, negara idealnya berhati-hati agar tidak memberikan kewenangan berlebihan kepada institusi di dalamnya seperti TNI. Jangan sampai warga dikorbankan hanya demi memberikan kewenangan baru kepada institusi tersebut. (H33)