HomeNalar PolitikAkhir SMA PL di BI?

Akhir SMA PL di BI?

Perry Warjiyo menjadi calon tunggal Gubernur Bank Indonesia (BI) yang diusulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada DPR. Perry menyingkirkan calon-calon lain yang faktanya mayoritas adalah alumni SMA Pangudi Luhur 1 Jakarta (SMA PL). Sebuah kebetulan?


PinterPolitik.com

“People are realizing that color has no bearing on what’s known as brotherhood.”

– Omar Epps, musisi –

[dropcap]P[/dropcap]residen Jokowi memang dikabarkan mengusulkan Perry untuk menggantikan posisi Gubernur BI yang hingga saat ini dijabat Agus Martowardojo sejak 2013 lalu. Sebagai Deputi Gubernur BI, penunjukan Perry ini tentu sesuai dengan kapasitas pribadinya. Ia tentu dianggap mumpuni, mengingat dalam struktur jabatan, Deputi Gubernur BI adalah salah satu jabatan di bawah Gubernur BI.

Perry menyingkirkan beberapa calon lain, mulai dari Chatib Basri yang merupakan ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Bambang Brodjonegoro yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Agus Martowardojo sebagai petahana Gubernur BI. Ada juga nama Mirza Adityaswara yang sempat disebut-sebut menjadi kandidat. Mirza kini menjabat sebagai Deputi Senior Gubernur BI.

Menariknya, dari 5 calon yang namanya masuk ke presiden tersebut, 4 di antaranya adalah alumni Universitas Indonesia (UI). Sementara Perry yang merupakan lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah satu-satunya calon dari kampus yang berbeda.

Jika ditarik ke belakang lagi, 3 dari 5 calon tersebut adalah lulusan SMA PL. Agus, Bambang dan Mirza adalah alumni SMA yang hanya mendidik pelajar laki-laki tersebut. Tentu fakta ini menarik, mengingat SMA PL dikenal sebagai salah satu sekolah unggulan yang menghasilkan tokoh-tokoh dengan jabatan penting di Indonesia, termasuk Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno.

Dengan melihat posisi Agus sebagai petahana, apakah penunjukkan Perry ini adalah akhir dari kekuasaan SMA PL di BI? Lalu, bagaimana sebetulnya kiprah alumni SMA PL dan dampaknya bagi Indonesia?

School of Brotherhood, School of Indonesia?

Mungkin banyak yang akan bertanya-tanya, mengapa harus membahas SMA PL?

Tentu saja selain karena korelasinya dengan latar belakang calon-calon Gubernur BI, faktanya sekolah ini memiliki keunikan yang membedakannya dari kebanyakan sekolah di Indonesia.

Sejak didirikan pada tahun 1965 oleh Yayasan Pangudi Luhur, SMA PL telah menjadi sekolah yang disegani. Bukan hanya dalam hal akademis, tetapi juga karena siswa-siswanya yang agak “bengal” dan berkarakter.

Akhir SMA PL di BI?

Sekolah yang didirikan oleh para Bruder Kongregasi Santa Perawan Terkandung Tak Bernoda atau Fratrum Immaculatae Conceptionis Beatae Mariae Virginis (FIC) ini memang menjadi kisah yang punya tempat teristimewa dalam kehidupan mereka-mereka yang pernah ambil bagian di dalamnya.

Bisa dipastikan SMA PL merupakan sekolah yang berciri Katolik karena didirikan oleh para biarawan Katolik. Namun, sekolah ini terbuka untuk semua agama, bahkan tidak memandang agama sebagai hal yang esensial dalam pendidikan.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Sistem pendidikan yang ditanamkan oleh para bruder yang awalnya berasal dari Belanda memang membuat SMA PL memiliki ciri khas kurikulum tersendiri. Siswa SMA PL juga dikenal karena rambutnya yang boleh gondrong, gayanya yang terkesan urakan, namun tetap berkarakter dan berprestasi.

Di samping karena ciri khasnya yang hanya menerima siswa laki-laki, hal yang membuat SMA PL unik adalah dari sisi brotherhood atau persaudaraan yang terbangun di antara semua yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah ini. Setidaknya hal itulah yang dirasakan oleh para alumni SMA PL. Bahkan, beberapa pihak menyebut ikatan alumni di SMA PL adalah salah satu yang paling kuat di Indonesia.

Selain itu, banyak alumni yang mengakui bahwa salah satu kelebihan SMA PL adalah situasi pendidikan yang memungkinkan siswanya untuk memandang semua orang secara sama, tidak peduli apa latar belakangnya, agamanya, suku, maupun status keluarganya. Hal ini yang membuat lulusan SMA PL memandang politik identitas dengan lebih terbuka, bahkan menghilangkan sekat-sekat yang belakangan ini justru menjadi komoditas politik nasional dan semakin dipolitisasi oleh banyak pihak.

Tidak heran jika alumni SMA PL angkatan 1988 yang saat ini menjadi ahli robotika dan dosen di Universitas Chukyo Jepang, Profesor Pitoyo Hartono menyebut bahwa Indonesia perlu belajar dari SMA PL tentang bagaimana mengolah keanekaragaman. Suasana pendidikan di SMA PL telah menjadi representasi Indonesia itu sendiri, di mana batasan-batasan primordial tidak dianggap sebagai hal yang esensial dalam kehidupan bersama.

Keberhasilan SMA PL membentuk karakter siswanya membuat banyak alumni sekolah tersebut saat ini menduduki posisi penting. Selain 3 calon Gubernur BI yang disebutkan di awal tulisan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, SMA PL telah mencetak banyak pengusaha dan pejabat publik yang sukses.

Tokoh-tokoh macam Ketua Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) Ponco Sutowo adalah salah satu alumni sekolah ini. Selain itu, ada juga pengusaha macam Ricardo Gelael, Anindya Bakrie (putra politisi Golkar Aburizal Bakrie), hingga figur publik macam Christian Sugiono, Imam Darto atau Gugun Gondrong.

Banyak lulusan SMA PL yang telah tersebar di pemerintahan, dan menduduki jabatan-jabatan penting lainnya, mulai dari politisi Gerindra Biem Benyamin yang adalah juga putra seniman Benyamin Sueb, hingga Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani.

Alumni SMA PL lain yang cukup terkenal adalah pemilik saham maskapai Air Asia dan deretan perkantoran di jalan Gatot Soebroto Jakarta, Muhammad Riza Chalid. Riza tercatat merupakan salah satu alumni dari SMA PL dan namanya sempat muncul ke pemberitaan beberapa tahun lalu.

Akhir SMA PL di BI?
Muhammad Riza Chalid (tengah, berjas hitam, kelima dari kanan), pemilik saham maskapai Air Asia merupakan salah satu alumni SMA PL. (Foto: istimewa)

Masih banyak lagi alumni SMA PL yang mempunyai posisi penting di berbagai sektor. Tidak sedikit juga “tokoh-tokoh penting” dalam bisnis-bisnis tertentu yang oleh beberapa pihak dianggap “mempengaruhi negara” – walaupun untuk topik ini masih perlu kajian yang lebih mendalam lagi.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Yang jelas, karakter yang dibangun dalam sistem pendidikan di SMA PL memang membentuk pribadi-pribadi alumninya yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Walaupun demikian, SMA PL juga sempat didera masalah ketika kasus bullying yang terjadi pada tahun 2007 sempat mencuat ke permukaan. Pamor sekolah tersebut sempat turun akibat aktivitas kekerasan, sehingga membuat para alumninya turun tangan untuk memperbaiki citra sekolah.

Akhir SMA PL di BI?

Mungkin sebagian orang akan menyebut tulisan ini naif karena melihat persoalan pergantian kepemimpinan di BI sebagai tarik menarik kepentingan alumni sebuah sekolah.

Namun, perlu menjadi catatan bahwa ikatan brotherhood alumni SMA PL adalah salah satu yang paling kuat di Indonesia, dan fenomena ini tidak hanya terjadi dalam satu angkatan saja, tetapi juga lintas angkatan.

Jika memetakan kiprah para alumninya, boleh jadi kesimpulan yang bisa diambil adalah mungkin saja alumni SMA PL adalah mereka-mereka yang “mengendalikan” jalannya negara ini. Contoh nyatanya adalah tentu saja di posisi Gubernur BI – jabatan yang akan sangat mempengaruhi perekonomian negara.

Di ibukota, ada Sandiaga Uno yang tentu saja dengan jabatannya sebagai wakil gubernur akan sangat mempengaruhi pengambilan kebijakan tata kelola Jakarta. Belum lagi jika berbicara tentang “tokoh-tokoh penting” lain yang dalam segala kapasitasnya ikut mempengaruhi jalannya negara.

Akhir SMA PL di BI?
Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno bersama alumni SMA PL. (Foto: Detik)

Oleh karena itu, tentu saja beralasan jika bertanya, apakah penunjukan Perry adalah akhir dari “rezim” alumni SMA PL di BI setelah selama 5 tahun terakhir legitimasi kekuasaan sekolah tersebut memang terlihat di bank sentral Indonesia ini?

Ataukah Jokowi memiliih Perry berdasarkan kesamaan latar belakang, yakni sama-sama dari UGM dan sama-sama berasal dari Jawa Tengah? Jokowi lahir dan besar di Solo, sementara Perry kelahiran Sukoharjo yang nota bene berdekatan dengan Solo. Apalagi, besar kemungkinan Jokowi yang adalah mahasiswa UGM angkatan 1980 dan Perry yang adalah angkatan 1982 pernah bertemu sebelumnya saat masih berkuliah.

Atau, berlebihan-kah jika mengaitkan politik pergantian pucuk pimpinan BI dengan persoalan almamater dan asal sekolah? Apakah ada hubungannya juga dengan pergeseran kekuasaan, mengingat calon lain, Chatib Basri adalah juga alumni Kolese Kanisus – sekolah yang “sejenis” dengan SMA PL?

Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, sekolah berperan penting dalam menciptakan karakter seseorang serta melahirkan ikatan-ikatan persaudaraan.

Masyarakat setidaknya bisa belajar dari SMA PL bahwa keanekaragaman adalah sebuah keniscayaan dalam hidup bersama. SMA PL telah menunjukkan bagaimana persoalan identitas telah tuntas, sehingga akan menarik dijadikan pijakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang akhir-akhir ini mulai terus digoyang masalah SARA.

Pada akhirnya, masyarakat lah yang akan menilai, apakah ikatan brotherhood SMA PL adalah sebuah penghargaan terhadap perbedaan, atau bentuk lain dari primordialisme itu sendiri. Setidaknya kita tahu, seperti kata Omar Epps di awal tulisan ini, bahwa persaudaraan menghilangkan segala perbedaan. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

More Stories

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.