HomeNalar PolitikAkar Terorisme, PR Besar BNPT

Akar Terorisme, PR Besar BNPT

Dua perisitwa Bom Bali terjadi pada bulan Oktober tahun 2002 dan 2005. Dalam dua dekade ini, apa yang sudah kita pelajari tentang terorisme? Dan yang paling penting, bagaimana pemerintah, khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mempersiapkan strategi untuk menghalau nyatanya ancaman teror?


PinterPolitik.com

Bulan Oktober adalah momen tepat untuk mengenang salah satu tragedi teror paling mengerikan yang pernah terjadi di Indonesia, tidak lain adalah peristiwa Bom Bali. Pada tanggal 12 Oktober 2002, Pulau Dewata menjadi saksi nyata aksi kekejian yang dilakukan sekelompok manusia tidak bertanggung jawab kepada sesamanya. Tiga tahun berselang, peristiwa serupa terjadi pada 1 Oktober. Sekarang kita mengenangnya sebagai Bom Bali I dan II.

Meski dua peristiwa Bom Bali adalah tamparan besar bagi kesadaran masyarakat Indonesia terhadap ancaman nyata terorisme, sayangnya, ini bukan menjadi bencana teror yang terakhir. Setelah Bom Bali II, tercatat setidaknya ada 20 aksi bom teror di Indonesia. Termasuk yang paling baru adalah aksi bom bunuh diri yang terjadi di depan Gereja Katedral Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 28 Maret 2021.

Kita juga tidak boleh mengabaikan bagaimana di tanah Papua, kekejaman yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)  masih terjadi. Selain menewaskan aparat, komplotan teroris ini juga berani membunuh tenaga kesehatan (nakes) yang kelangsungan hidupnya dianggap sakral dalam konflik bersenjata di mana pun.

Baca Juga: Terorisme Sigi, Jokowi Terjebak Pseudopluralisme?

Tidak berhenti di situ, ancaman terorisme juga sampai saat ini masih merabak sampai ke di dunia maya. Sampai September kemarin, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut telah menangkal setidaknya 399 grup dan kanal media sosial (medsos) berkonten radikal-terorisme di WhatsApp, Facebook, TamTam, dan Telegram. Telegram di sini menempati jumlah tertinggi dengan 135 grup radikal.

Di lingkup internasional, dunia masih terluka akibat teror penembakan di Christchurch, Selandia Baru pada tanggal 15 Maret 2019. Serangan yang dilakukan ke dua masjid tersebut telah menewaskan 51 orang. Dikabarkan alasan yang mendorong kekejian ini adalah alasan rasisme, khususnya kebencian pada umat Muslim.

Pertanyaannya mengapa aksi terorisme masih marak terjadi sampai saat ini? Apa sesungguhnya akar penyebab terorisme yang perlu kita ketahui agar bisa mencegah adanya ancaman di masa depan?

Memahami Akar Terorisme

Sebenarnya, mencari definisi yang benar-benar pas dalam menjelaskan terorisme tidaklah mudah. Untuk pembahasan ini penulis akan buka dengan menggunakan pandangan dari Katherine Brown dalam artikelnya yang berjudul Transnational Terrorism. Di tulisan ini, Brownmengatakan bahwa terorisme adalah ancaman kekerasan yang dilakukan oleh aktor non-negara untuk mengejar perubahan politik atau sosial yang dilakukan tanpa melihat batas negara dengan memanfaatkan globalisasi.

Untuk sesungguhnya memahami alasan dari adanya terorisme, ada sebuah buku yang layak menjadi “kitab” bagi seseorang yang ingin mempelajari terorisme, yaitu Root Causes of Terrorism hasil editan Tore Bjørgo. Buku ini juga menghasilkan istilah “Tipologi Bjørgokarena dapat secara rinci menjelaskan terorisme.

Baca juga :  Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Menurut penelitian Bjørgo dan rekan-rekannya, faktor kemiskinan tidak dapat kita yakini sebagai penyebab terorisme, karena sesungguhnya aksi teror lebih banyak terjadi di negara-negara ekonomi menengah, yang sedang mengalami proses modernisasi dan transisi cepat. Di sisi lain, kemiskinan malahan lebih sering digunakan sebagai pembenaran untuk kekerasan oleh teroris sosial-revolusioner, yang mungkin mengklaim mewakili orang miskin dan terpinggirkan tanpa sesungguhnya berasal dari kelas sosial tersebut.

Kemudian, diyakini secara massal juga bahwa terorisme adalah karena motivasi agama, khususnya Islam. Bjørgo menolak pandangan ini. Berdasarkan penelitiannya, Sesungguhnya banyak teroris bunuh diri yang berkeyakinan sekuler, atau justru menganut agama lain selain Islam. Bjørgo berpandangan teroris bunuh diri lebih dimotivasi oleh tujuan politik, biasanya untuk mengakhiri pendudukan asing atau dominasi domestik oleh kelompok etnis yang berbeda. Akan tetapi, aksi “kemartiran” mereka sering dilegitimasi dan dimuliakan dengan mengacu pada ide-ide dan nilai-nilai agama.

Sebagai tambahan, Bjørgo juga menyebutkan faktor dukungan negara asing menjadi salah satu alasan kuat langgengnya aksi terorisme. Namun, hal ini bukan sebagai pemicu, negara hanya memanfaatkan kelompok teroris yang sudah ada untuk mencapai tujuan politik.

Baca Juga: Terorisme Makassar, Radikalisme Bukan Akar Masalahnya?

Sekarang, kita perlu mengaitkan ini dengan motif aksi teror Bom Bali. Sesungguhnya teror ini kental dengan motif politik, karena berdasarkan informasi yang diketahui, diduga kuat lingkaran terorisme Bom Bali adalah bagian dari kelompok ekstremis Asia Tenggara yang bernama Jamaah Islamiyah. Kelompok ini disebut berkeinginan ingin mendirikan negara Islam di Asia Tenggara. Motivasinya adalah ketidakpuasan terhadap pemerintahan.

Pimpinan kelompok teroris ini juga diketahui memanfaatkan sentimen masyarakat muslim terhadap situasi yang terjadi di Afghanistan, di mana pada saat itu negara tersebut sedang diintervensi oleh Amerika Serikat (AS). Mereka juga disebut menyinggung korban meninggal kaum Muslim di konflik Poso dan Ambon untuk memunculkan rasa benci komunal. Ini sebenarnya adalah pemantik-pemantiknya. Dengan membawa isu-isu kekerasan, perpetrator Bom Bali mampu membakar semangat pendukung radikalnya untuk melakukan bom bunuh diri dengan alibi membalaskan dendam sesama Muslim.

Motif serupa  juga  bisa perhatikan di level internasional, melalui Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang secara gamblang menunjukkan diri di kancah internasional sebagai pihak yang ingin menjadi sebuah negara baru dengan melakukan serangan kekerasan demi mendapat rekognisi politis. Lalu, kasus terorisme ISIS ini menjadi semakin rumit karena ada dugaan keterlibatan negara asing yang mendanai tujuan mereka.

Dengan melihat wujud terorisme modern yang semakin kompleks ini, kita perlu bertanya. Apakah Indonesia, khususnya BNPT, sudah memiliki strategi, pemahaman, dan wewenang yang pas untuk mencegah kasus terorisme?

PR BNPT dan Indonesia

Kepala BNPT, Boy Rafli Amar menyebut sebagai upaya kontraterorisme, pihaknya telah melakukan aksi propaganda terbuka dengan memberdayakan BNPT TV dengan basis internet TV, dengan menayangkan berbagai video, podcast dan pesan-pesan kebangsaan seperti semangat untuk menjaga persatuan, kebhinekaan, toleransi dan cinta Tanah Air. Penulis menganggap ini saja tidak cukup. Selain itu, BNPT juga lebih sering dikabarkan menggalakkan mekanisme deradikalisasi, yang bukan merupakan tindakan pencegahan.

Baca juga :  Ridwan Kamil dan "Alibaba Way"

Kembali mengutip buku Bjørgo, disebutkan bahwa permasalahan pemerintahan yang korup, dorongan eksternal untuk mendirikan negara sendiri (contohnya ISIS dan dukungan negara asing), rasa represi karena adanya suatu pihak (contohnya kapitalisme), dan kegagalan atau keengganan negara untuk mengintegrasikan dan mengayomi kelompok terkucilkan atau kelas sosial yang tertindas, menjadi katalis kuat terjadinya aksi teror.

Dari aspek ini, upaya yang perlu dilakukan BNPT dan pemerintah secara keseluruhan juga seharusnya menekankan ke publik bagaimana pemerintah sudah memperlakukan kelas sosial dan etnis manapun secara adil. Tentu hal ini tidak bisa dilakukan hanya oleh BNPT semata. Dengan demikian, seharusnya BNPT berkoordinasi secara mendalam dengan kementerian dan lembaga (K/L) lain guna memberantas tuntas akar-akar terorisme dari aspek ekonomi-sosial yang sifatnya lebih substansial. Daripada hanya menyebarkan doktrin cinta Tanah Air.

Namun, kita bisa sedikit bernapas lega, karena pemerintah telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) pada 16 Juni lalu, yang disampaikan oleh Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin. Masterplan ini dicanangkan akan menjadi agenda besar pemerintah untuk menjawab permasalahan ekstremisme yang masih terjadi di Indonesia. Dalam implementasinya, RAN PE ini tidak hanya melibatkan BNPT, tetapi juga banyak K/L.

Sebagai koordinator pelaksanaannya, dibentuk Sekretariat Bersama (Sekber) RAN PE, yang terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Baca Juga: Ali Kalora dan Catatan Terorisme Poso

Banyak hal penting yang tersampaikan dalam RAN PE ini, namun yang sekiranya dapat menjadi fokus utama adalah pendirian tiga pilar strategis pencegahan dan penanggulangan ekstremisme. Pilar pertama adalah Pencegahan (kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi), pilar kedua Penegakan Hukum, Pelindungan Saksi dan Korban, dan Penguatan Kerangka Legislasi Nasional, dan pilar ketiga Kemitraan dan Kerja Sama Internasional.

Yang menarik juga disorot adalah poin ketiga dari pilar pertama, yang menyebutkan belum tersedianya indikator keberhasilan kampanye pencegahan ekstremisme. Dari hal ini, sesungguhnya telah tersedia wadah yang besar bagi BNPT dan K/L terkait untuk merumuskan kebijakan dan strategi yang lebih kritis dalam mengidentifikasi dan mengeliminasi pemicu gerakan ekstremis, secara domestik, maupun internasional.

Untuk saat ini dikabarkan RAN PE sedang dalam proses implementasi. Kemudian, pelaporan implementasi tersebut akan dikumpulkan dan direkapitulasi pada November 2021 sebagai bahan pelaporan kepada Presiden RI maupun publik. Semoga dengan adanya masterplan ini, dan melalui masukan bermanfaat dari masyarakat, kita bisa menghasilkan terobosan yang lebih modern, dan Indonesia mampu menjadi teladan pemberantasan terorisme di kancah internasional. (D74)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?