The New Prabowo menjadi titik rebranding politik sang jenderal. Membuat Prabowo terlihat “bisa diterima” kelompok muda adalah hal yang gampang-gampang sulit. Bukan hanya soal menggunakan sneakers ke mana-mana saja, tetapi memastikan gagasan politik dan kampanyenya menyentuh kebaruan generasi. Mungkinkah?
PinterPolitik.com
“Brand is just a perception, and perception will match reality over time.”
:: Elon Musk, “Tony Stark” dunia nyata ::
[dropcap]K[/dropcap]onsepsi tentang branding punya sejarah yang panjang dalam peradaban manusia. Mulai dari kisah para gladiator dan balapan kereta perang (chariot) yang mempengaruhi kekuatan politik Julius Caesar di era Romawi, hingga video youtuber Dave Lee (Dave2d) mengkritik kondisi “panas berlebih” (overheating) pada produk Apple MacBook Pro 2018, semuanya berbicara tentang branding dalam konteks politik maupun bisnis.
Istilah ini memang berhubungan dengan bagaimana sebuah brand atau merek dipersepsikan oleh masyarakat. Konteks branding – dalam politik – inilah yang tengah menjadi perbincangan publik di Indonesia ketika Sandiaga Uno dalam sebuah wawancara menyinggung konsep The New Prabowo sebagai proses mem-branding ulang (rebranding) Prabowo Subianto.
Ia menyebut sosok sang jenderal tengah di-framing oleh kubunya sebagai upaya untuk mengubah citra dan penampilannya.
Sneakers bukanlah sekedar sepatu yang digandrungi anak muda semata, tetapi juga pola pikir dan bagaimana pemimpin memberikan jaminan akan kebutuhan generasi tersebut. Share on XMenurut Sandi, hal ini perlu dilakukan agar mantan Danjen Kopassus itu bisa diterima oleh kelompok pemilih muda yang menganggap penampilan Prabowo cenderung “membosankan”. Sandi menyebut gaya junjungannya yang kerap mengenakan baju dengan 4 kantong misalnya, sebagai hal yang membuat pemilih zaman now bosan.
Ia pun menyebut telah berdiskusi dengan Didit Prabowo yang merupakan putra sang jenderal untuk mengubah gaya ayahnya itu. Didit yang merupakan putra satu-satunya Prabowo memang terkenal sebagai salah satu desainer busana terkemuka.
Menampilkan The New Prabowo sebetulnya sudah mulai terlihat beberapa waktu terakhir ketika Prabowo mulai meninggalkan baju 4 kantongnya, utamanya sejak pendaftaran capres-cawapres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Saat itu, kita menyaksikan Prabowo berdiri lewat atap mobil yang dibuka, mengenakan kaca mata hitam dan ikat kepala merah. Ia juga kemudian membentangkan bendera merah putih di punggungnya dan menariknya, ada satu momen ketika menantu Soeharto itu “berjoget” saat lagu “Lagi Syantik” yang dipopulerkan oleh Siti Badriah diputarkan pendukungnya.
Pemandangan tersebut tentu saja sangat langka, mengingat kemasan politik Prabowo selama ini terkesan aritokratis, serius dan kaku.
Tentu pertanyaannya adalah apakah rebranding yang disebutkan oleh Sandi hanya akan mengubah tampilan Prabowo saja, atau juga sampai ke hal-hal yang prinsipil dan berhubungan dengan pembawaan kampanye serta gagasan politiknya? Apakah mungkin kita akan menyaksikan Prabowo mengenakan sneakers, naik motor seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan terus bergoyang seperti “goyang dayung” Jokowi di Pembukaan Asian Games beberapa hari lalu?
Political Branding, Kalah dari Jokowi
Faktanya, branding adalah hal yang sangat intrinsik dalam politik. Alex Marland – profesor di University of Newfoundland – dalam sebuah tulisannya tentang political branding Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, menyebutkan bahwa kata “brand” saat ini telah menjadi hal yang umum dalam diskursus politik.
Ia juga menyebutkan bahwa propaganda politik dan image management adalah teknik marketing politik yang efektif dan efisien untuk menarik pemilih. Tokoh-tokoh macam George Washington, Abraham Lincoln, Franklin D. Roosevelt, Hugo Chavez, Barack Obama, Justin Trudeau, hingga Jokowi adalah beberapa pemimpin yang sangat peduli pada political branding yang ditampilkannya di depan publik.
Roosevelt misalnya, selalu menolak untuk difoto dengan menggunakan kursi roda demi menyembunyikan fakta bahwa ia adalah penderita polio. Lain lagi dengan Hugo Chavez di Venezuela yang mengidentikkan dirinya dengan kelompok rakyat miskin berbekal “pengakuan” bahwa ia adalah bagian dari kelompok tersebut. Beberapa penulis menyebutkan bahwa masa kecil Chavez tidaklah semiskin seperti yang ia gambarkan.
Hal yang sama juga terjadi pada Jokowi yang mengidentikkan dirinya dengan rakyat kecil dan pernah tinggal di daerah pinggiran miskin yang sering digusur. Marcus Mietzner dari Australian National University menyebut kondisi masa kecil Jokowi tidaklah seburuk yang digambarkan itu.
Mietzner menyebut Jokowi selalu dicitrakan sangat miskin, namun faktanya cukup “aneh” karena ia mampu mengenyam pendidikan di sekolah yang bagus, termasuk ketika berkuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang notabene adalah salah satu kampus terbaik di Indonesia.
Tak ada yang mempermasalahkan hal tersebut merupakan bukti keberhasilan branding politik Jokowi. Pria kelahiran Solo itu adalah contoh paling dekat bukti keberhasilan branding politik, mulai dari kemasan personal, latar belakangnya, pendekatan politik, serta penampilannya di depan media.
Lalu, bagaimana dengan Prabowo?
Nyatanya persoalan citra diri – dalam konteks propaganda politik – adalah hal yang bisa dibilang kurang nampak dalam diri Prabowo, apalagi jika dibandingkan dengan Jokowi. Citra diri Prabowo didominasi oleh gagasan politiknya dan karakter aslinya yang keras, temperamental dan berapi-api.
Kalau dilihat dari cara Prabowo berpidato, mungkin personal branding yang ditunjukkan oleh putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu adalah orator keras menggelegar, katakanlah seperti Soekarno. Prabowo adalah sosok populis klasik, tipikal pemimpin berkarakter kuat atau strong man.
Namun, tampilan karakter itu justru terlihat “agak kuno” dalam konteks dinamika politik dan sosial saat ini. Safari 4 kantong berwarna cokelat keabu-abuan atau putih menjadi busana andalannya sejak terjun ke dunia politik. Tidak ada perubahan signifikan yang menunjukkan citra diri yang menyesuaikan – katakanlah – dengan hal-hal yang secara penampilan disukai oleh pemilih.
Bandingkan dengan Jokowi yang dalam beberapa kali kampanye, mulai dari Pilkada hingga Pilpres, menampilkan hal yang berbeda. Kita ingat baju kotak-kotak saat Pilgub DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014 lalu, serta kini kemeja putih – beberapa kali dengan sablonan khusus – ditambah celana jeans plus sepatu kegemaran generasi zaman now: sneakers.
Pada 2012 dan 2014 Jokowi mengambil ceruk masyarakat kelas menengah ke bawah lewat political branding kesederhanaannya, blusukannya, serta baju kotak-kotak yang “eye-catching”, sementara Prabowo menampilkan citra diri sebagai seorang aristokrat nan mewah dan bagian dari elite.
Lalu, jelang Pilpres 2019, personal branding Jokowi menyesuaikan konteks demografi pemilih. Di awal-awal masa kekuasaannya, sang presiden menggunakan kemeja putih, celana kain hitam dan sepatu hitam. Sepatu misalnya, perlahan mulai berubah, dan belakangan makin sering menggunakan sneakers.
Soal sneakers memang terlihat sederhana, tapi jangan salah, model sepatu inilah yang kini tengah naik daun di sebagain besar anak muda. Dengan menggunakan sneakers hingga jaket bomber, Jokowi menempatkan dirinya sebagai bagian dari ceruk pemilih muda, hal yang mirip dengan apa yang dilakukannya pada 2014 terhadap kelompok pemilih menengah ke bawah.
Jokowi juga makin luwes dalam hal berpakaian dan belakangan juga makin sering menggunakan kaos oblong. Tentu saja ia bukan Mark Zuckerberg – milenial terkaya di dunia saat ini yang kerap berkaos oblong – tapi penampilannya ini membuat ia disukai oleh sebagian besar kelompok muda “korban” globalisasi, yang notabene adalah kelompok pemilih yang sangat besar.
Jokowi sukses keluar dari kakunya busana protokoler kepala negara, dan menunjukkan political branding-nya sebagai sosok yang luwes. Keluwesan ini menjadi framing yang terlihat bukan hanya dari cara pakaiannya saja, tetapi juga cara berpikirnya.
Hal inilah yang tidak begitu dimiliki oleh Prabowo. Dengan total pemilih muda yang akan mencapai 40 persen pada 2019 nanti, Prabowo tidak bisa sepenuhnya hanya berharap pada “kemudaan” dan “kemilenialan” Sandiaga Uno yang kerap ber-sneakers. Ia sebagai capres juga harus mampu menyesuaikan penampilan dirinya dengan apa yang disukai kelompok muda. Tentu pertanyaannya adalah apakah memang harus demikian?
Jika rebranding Prabowo dilakukan tanpa menyentuh gagasan kampanye dan hanya mementingkan tampilan luar, kita hanya akan menyaksikan seorang eks jenderal yang tidak menjawab kebutuhan. Share on XRebranding Prabowo, Sebuah Keharusan
Pertanyaan terbesar dalam hal me-rebranding Prabowo adalah apakah tampilan image-nya – apa yang ia kenakan – saja yang diubah atau pendekatan politik – cara penyampaian gagasannya juga?
Nyatanya, rebranding tidaklah sesederhana mengubah tampilan fisik. Martin Roll, seorang ahli strategi bisnis global, penasihat senior dan fasilitator untuk perusahaan-perusahaan dalam Fortune 500, menyebutkan bahwa rebranding seringkali disalahpersepsikan sebagai sekedar mengganti tampilan. Roll memang spesifik berbicara dalam konteks bisnis, namun gagasannya sangat aplikatif dalam semua konteks marketing, termasuk dalam politik.
Menurutnya, branding adalah sesuatu yang ada di dalam pikiran konsumen, dalam hal ini para pemilih. Artinya, jika ingin me-rebranding sesuatu, maka yang diubah adalah bagaimana pemilih bisa melihat tokoh politik itu sebagai sosok yang bisa dipercaya lewat kehadirannya dan gagasan-gagasannya. Ia juga menyebutkan bahwa sekedar mengganti tampilan tidaklah cukup.
Konteks rebranding Prabowo bukanlah sekedar mengganti apa yang dikenakannya saja, tetapi juga bagaimana strategi kampanye dan pendekatan politiknya dikonsep ulang sesuai dengan situasi sosial politik saat ini. Konsep The New Prabowo haruslah diaplikasikan bukan sekedar memakaikan sneakers saja, tetapi bagaimana pendekatan politik sang jenderal terhadap pemilihnya pun harus disesuaikan.
Dalam konteks pemilih muda misalnya, apakah gagasan kebocoran kekayaan negara yang dijual Prabowo adalah hal yang dianggap bisa dekat dengan hati pemilih usia tersebut jika dibandingkan dengan jaminan “kamu mau jadi gamers profesional, youtuber profesional, atau pengusaha start-up, akan saya berikan sepenuhnya kemudahan dan kebebasan”? Jika tidak, maka sudah saatnya gagasan kampanye itu diganti.
Dengan demikian, “sneakers” bukanlah sekedar sepatu yang digandrungi anak muda semata, tetapi juga pola pikir dan bagaimana pemimpin memberikan jaminan akan kebutuhan generasi tersebut.
Justru jika rebranding Prabowo dilakukan tanpa menyentuh gagasan kampanye tersebut dan hanya mementingkan tampilan luar, kita hanya akan menyaksikan seorang eks jenderal yang menggunakan ikat kepala, kaca mata hitam dan – mungkin sneakers anak muda – tapi yang dibicarakan adalah gagasan yang tidak menjawab kebutuhan.
Pada akhirnya, seperti kata Elon Musk di awal tulisan, brand adalah soal persepsi. Jika tak mampu mengubah persepsi dan pendekatannya, sulit melihat sosok Prabowo bisa digandrungi anak muda jika hanya berharap pada “kemudaan” Sandiaga Uno. (S13)