HomeNalar PolitikAkankah Prabowo Khianati PDIP?

Akankah Prabowo Khianati PDIP?

Pidato teranyar Prabowo Subianto dalam rangka HUT Partai Gerindra yang mengedepankan frasa “kekuasaan” seketika menarik perhatian khalayak. Lantas, mengapa kiranya Prabowo mengedepankan frasa dan konstruksi narasi tersebut?


PinterPolitik.com

Impresi dua karakter berbeda agaknya memang menjadi pakem dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Dalam hal jabatannya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), dirinya tampak tak banyak bersuara dan lebih banyak mendelegasikan respons mengenai isu pertahanan dan keamanan kepada juru bicaranya, Dahnil Anzar Simanjuntak.

Prabowo pun sampai saat ini tampaknya masih berdiri di atas prinsip bahwasanya keliru jika Menhan banyak bicara, dengan justifikasi aspek pertahanan dan keamanan memiliki tingkat konfidensialitas yang tinggi.

Atas prinsipnya itu, Prabowo kerap dinilai tak bertaji dalam mengampu jabatannya di Medan Merdeka Barat, terlebih ketika dihadapkan pada isu konkret seperti ditemukannya seaglider di perairan Selayar, hingga manuver kapal Tiongkok di Natuna dan Selat Sunda.

Hal itu juga seketika memantik komentar bernada minor dari sejumlah tokoh seperti Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Said Didu, hingga anggota Komisi I DPR Fraksi PKS Sukamta.

Akan tetapi, ketika beranjak pada persoalan politik, Prabowo tampak menunjukkan determinasi berbeda. Hal ini terlihat pada bahasa politik yang baru saja diutarakannya dalam rangka HUT Partai Gerindra ke-13 beberapa waktu lalu.

Pada kesempatan tersebut, mantan Danjen Kopassus itu berbicara soal posisi partai Gerindra di kancah perpolitikan tanah air. Prabowo mengatakan bahwa Gerindra saat ini masih belum berkuasa secara mutlak, dan hal itu yang harus menjadi bara semangat seluruh kadernya.

Baca juga: Prabowo, The Mysterious Man?

Lebih lanjut, Ia juga mengklaim bahwa masih banyak rakyat yang menaruh harapan besar kepada Gerindra.

Yang menjadi perhatian dan cukup menarik, untaian kalimat “belum berkuasa mutlak” agaknya memiliki makna tersendiri, di mana hal itu lantas menimbulkan pertanyaan, mengapa kiranya Prabowo mengemukakan narasi itu?

Pertegas Ambisi?

Meskipun lumrah saja bagi Prabowo untuk menyampaikan narasi penyemangat semacam itu, mengingat pidatonya disampaikan dalam konteks HUT Partai Gerindra, namun tak menutup kemungkinan bahwa ada maksud khusus dari apa yang disampaikannya itu.

Prabowo bukan tidak mungkin memang menginginkan esensi pidatonya untuk diketahui dan dimaknai, baik oleh aktor politik lain maupun publik secara luas untuk tujuan tertentu.

Dalam publikasi yang berjudul The Language of Politics, Adrian Beard mengatakan bahwa politisi cenderung menyampaikan sebagian besar pidato publik mereka kepada audiens yang merupakan pendukung mereka sendiri, khususnya di acara-acara seperti konferensi partai maupun rapat umum partai.

Kendati begitu, walaupun subjek tersebut penting dalam keseluruhan proses, Beard menyebut bahwa audiens sebenarnya adalah jutaan orang yang akan melihat dan memaknai pidato yang barang tentu tersiar di media massa.

Highlight atau sorotan terhadap esensi atau ihwal menonjol dari pidato tersebut disebut Beard dengan istilah soundbites.

Berangkat dari situ, terbuka kemungkinan bahwa Prabowo menginginkan bahwa soundbites atau sorotan dari pidatonya dimaknai oleh audiens yang lebih besar, termasuk para aktor politik lainnya.

Baca juga :  Prabowo Watch Out Pilpres AS!

Secara substansial, dengan narasi yang diiringi frasa seperti “kekuasaan”, “mutlak”, hingga “harapan besar rakyat kepada Gerindra”, boleh jadi pidatonya ditujukan untuk mempertegas ambisinya menjadi Capres di ajang Pilpres 2024, sekaligus membawa Gerindra memimpin kekuasaan.

Baca juga: Ada Luhut di Balik Bisunya Prabowo?

Semakin terasa signifikan maknanya ketika dibandingkan dengan pidato-pidato ketua umum partai politik (parpol) lain seperti Airlangga Hartarto pada saat HUT Golkar atau Surya Paloh saat HUT Nasdem, yang mana keduanya tidak menggunakan narasi atau frasa spesifik dan menjurus pada “kekuasaan”.

Dan di antara Capres dengan elektabilitas menjanjikan lain dalam bursa, hanya Prabowo yang merupakan sosok ketua parpol. Ini mungkin juga yang sekali lagi ingin diperlihatkan secara tegas oleh Prabowo.

Bahwa dirinya memiliki keunggulan berupa prerogatif politik tersendiri, baik itu dalam menentukan visi, membentuk koalisi, hingga yang lebih jauh dalam menentukan kultur politik Indonesia di kemudian hari.

Taktik Khusus Prabowo?

Dalam risalah perang fenomenal karya Sun Tzu yang berjudul The Art of War, tertuang sebuah petuah bahwa siapa pun yang pertama berinisiatif melakukan pergerakan di medan perang, maka pihak itu akan lebih siap untuk berperang.

Namun, siapa pun yang terlambat melakukan pergerakan di medan perang dan harus datang dengan bergegas, maka pihak itu akan tiba di medan pertempuran dengan kelelahan.

Jika merefleksikan kutipan tersebut dalam pemaknaan terhadap pidato Prabowo, bisa saja hal itu juga merupakan sebuah manuver satu langkah lebih awalnya secara personal. Dalam hal ini untuk memastikan satu posisi yang kukuh bahwa dirinya dan Gerindra benar-benar “siap” dalam pesta demokrasi 2024 mendatang.

Selain itu, impresi inisiatif tersebut juga di saat yang sama dapat mencerminkan antisipasi sejak awal dari Prabowo yang mungkin berusaha membendung riak dan gejolak sekecil apapun di internal partai, untuk kemudian menyatukannya kembali.

Karena tak menutup kemungkinan bahwa terdapat faksi di dalam tubuh Gerindra yang masih kurang puas dengan eksistensi partai berlambang kepala garuda itu di pemerintahan. Belum lagi dari pihak yang mungkin tak sepakat atas pisahnya kongsi dengan kelompok Islamis.

Tentu menyatukan pihak-pihak internal itu menjadi penting sebagai langkah paling awal dalam mengonsolidasikan kekuatan yang dimiliki, untuk di saat yang sama dapat menyongsong ambisi kekuasaan secara mutlak lewat gelaran kontestasi elektoral berikutnya.

Ditambah variabel momentum elektabilitas yang sedang di atas angin, langkah itu kemudian menjadi logis untuk dijadikan Prabowo sebagai strategi yang tampaknya cukup jitu untuk menghindari “kelelahan” secara politik, ketimbang misalnya baru mengemukakan ambisinya saat situasi telah berubah di kemudian hari.

Baca juga :  MAJOR DESTINY

Lalu, akan seperti apa kerangka koalisi politik yang mungkin terbentuk jika Prabowo dan Gerindra benar-benar ingin memimpin kekuasaan nantinya?

Wajib Kesampingkan PDIP?

Ketika berbicara potensi koalisi yang mungkin dipimpin Gerindra, faktor PDIP yang telah bersedia berbagi kekuasaan di pemerintahan saat ini agaknya tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Namun, kalkulasi secara citra politik mungkin akan menjadi pertanyaan tersendiri mengingat parpol besutan Megawati Soekarnoputri itu kini di ambang tren siklus kejatuhan seperti Demokrat di masa lalu. Plus agaknya telah mendapat preseden minor sedemikian rupa dari publik saat ini.

Kendati begitu, cukup sulit kiranya bagi Gerindra untuk tak berkongsi dengan PDIP karena terdapat semacam ikatan gentleman’s agreement yang telah terajut dan termanifestasi dalam pemberian posisi dua menteri. Bahkan meski sebelumnya terdapat satu nama yang terjerat kasus rasuah.

Baca juga: Mungkinkah Prabowo “Takut” Megawati?

Khusus ihwal terkait preseden minor publik, Prabowo boleh jadi menganggapnya bukanlah persoalan besar, karena dalam karakteristik politik dan pemilu Indonesia, preferensi pemilihnya kerap disebut tidak terlampau rigid.

Ihwal itu pula yang disebutkan oleh Karen B. Brooks dalam Indonesia’s Election: Democracy at Risk?, yang mengatakan bahwa pemilih di Indonesia punya karakteristik short memory atau memori jangka pendek terhadap perilaku atau stigma terhadap aktor politik di dalam opsi dan proses politik yang ada.

Menariknya, Brooks mencontohkan bahwa personalitas dan reputasi Prabowo yang dinilai kelam saat menjalankan dinas militernya, tak berpengaruh pada citranya di kemudian hari di dalam ekosistem serta kontestasi politik tanah air.

Itulah yang kemungkinan akan membuat proyeksi kepemimpinan Gerindra baik dari segi koalisi ataupun jika dapat mulus merengkuh kekuasaan, akan diiringi oleh PDIP.

Tentu dengan catatan andaikata pada akhirnya PDIP tak mengajukan sosok Capres sendiri, hanya mengusung Cawapres pendamping Prabowo, atau bahkan rela tak menyumbang nama.

Di samping itu, skenario tersebut pada saat bersamaan juga membuka probabilitas bahwa koalisi bentukan kedua parpol tersebut boleh jadi akan diikuti oleh gerbong politik yang ada saat ini dan menciptakan semacam déjà vu peta politik tersendiri.

Namun sekali lagi, rangkaian analisa di atas masih merupakan spekulasi yang tentu kemungkinan lain masih akan terbuka untuk terjadi ke depannya.

Satu hal yang agaknya diharapkan publik ialah, seperti apa pun koalisi politik yang terbentuk nantinya, dapat mencerminkan keseimbangan dan harmoni bagi demokrasi, bukan justru menimbulkan ketimpangan politik yang muaranya dapat membawa kemudaratan bagi kepentingan rakyat. (J61)

Baca juga: Prabowo Tak Loyal ke Jokowi?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).