Site icon PinterPolitik.com

Akankah Perang Dunia III Pecah?

Akankah Perang Dunia III Pecah?

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump (foto: Deadline)

Dunia tiba-tiba menjadi tegang usai serangan udara melalui pesawat tanpa awak (drone) milik Amerika Serikat (AS) menewaskan Pemimpin Pasukan Quds Garda Revolusi Iran, Jenderal Qassem Soleimani, di Bandara Baghdad, Irak. Insiden tersebut membuat hubungan AS-Iran kembali memanas. Sebagian pihak mengaitkan situasi tersebut sebagai penanda dimulainya Perang Dunia III (World War III). Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Berdasarkan informasi, alasan di balik serangan AS tersebut tidak lain untuk menghalau serangan tentara Iran yang dinilai membahayakan pasukan dan kepentingan AS di Timur Tengah.

Seperti dilansir BBC, pihak Pentagon menduga Qassem dan sejumlah petinggi militer Iran sedang menyusun rencana jahat untuk menyerang diplomat dan militer AS  di Timur Tengah. Untuk itu, Presiden AS, Donald Trump menyebut mencegah aksi tersebut melalui serangan terlebih dahulu.

Selain Jenderal Qassem Soleimani, 6 orang lainnya juga dinyatakan tewas dalam serangan tersebut, termasuk Abu Mahdi al-Muhandis yang menjabat wakil komandan dari kelompok milisi pro-Iran di Irak yang bernama Pasukan Mobilisasi Populer (PMF).

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei mengecam keras aksi brutal AS yang menewaskan perwira tinggi Iran tersebut. Khamenei menyebut pihaknya tidak akan tinggal diam atas aksi bejat AS. Iran akan membalas dendam.

Sementara itu, Donald Trump juga mengeluarkan pernyataan merespon sikap Iran, bahwa AS tidak akan diam seandainya Iran kembali menyerang.

Konflik AS-Iran ini kembali mencuat setelah lama mengalami pasang-surut. Sebelumnya, AS-Iran sempat berada di ambang peperangan lantaran pesawat pengintai nirawak Global Hawk milik AS ditembak jatuh di selat Hormuz yang memisahkan daratan Iran dan jazirah Arab pada 20 Juni 2019.

Atas insiden itu, kedua belah pihak pun terlibat percekcokan dan saling menyalahkan. AS mengklaim aksi penembakan tersebut tak beralasan sebab posisi pesawat masih berada di zona internasional. Sedangkan, Iran menyebut Global Hawk sudah masuk ke wilayah Iran dan sah untuk dijatuhkan.

Dengan begitu, insiden teranyar yang turut menewaskan Pasukan Pengawal Revolusi Islam Iran, Qassem dapat dibaca sebagai kelanjutan konflik AS-Iran sebelumnya. Menariknya, peristiwa ini banyak mendapat tanggapan masyarakat dunia, di mana sebagian besar menghubungkan fenomena tersebut sebagai penanda Perang Dunia III (PD III).

Lantas, jika benar hal itu terjadi, di mana posisi Indonesia? Apakah Indonesia akan mendukung salah satu dari kedua negara berkonflik, atau tidak sama sekali?

Pasang-Surut Hubungan Iran-AS

Jika menilik ke belakang, hubungan antara AS dan Iran sempat mengalami pasang-surut. Pada 1953, berkat bantuan Badan Intelijen Pusat (CIA) AS, Perdana Menteri Iran Mohammed Mossadegh berhasil digulingkan dan Shah Mohammed Reza Pahlavi kembali memimpin Iran.

Beranjak dari situ, hubungan baik AS-Iran pun dimulai. Pada 1957 AS dan Iran menandatangani perjanjian kerja sama nuklir sipil. Hubungan baik ini terus berlanjut hingga meletus gerakan revolusi paling bersejarah di Iran pada 1979.

Dampak dari revolusi 1979 memaksa rezim Shah melarikan diri dan Ayatollah Ruhollah Khomeini kembali dari pengasingan dan menjadi imam agama tertinggi sekaligus pemimpin negara tersebut.

Revolusi 1979 merupakan babak baru hubungan AS-Iran setelah sekian lama menjalin kemesraan. Hubungan kedua negara semakin merenggang selepas AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran pada 1980.

Pada 1984, AS menuding Iran sebagai negara sponsor terorisme. Lebih parah lagi, Presiden George W. Bush sempat mengatakan Iran, Irak, dan Korea Utara sebagai poros kejahatan (axis of evil). Pasang-surut hubungan AS-Iran terus berlanjut hingga era kepemimpinan Barack Obama. Pada 2009 Obama sempat memperbaiki komunikasi dengan Iran.

Sayangnya, hubungan bilateral kedua negara kembali memanas setelah naiknya Donald Trump.

Tensi konflik AS-Iran semakin meninggi saat Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir pada Mei 2018 lalu yang sekaligus menerapkan kembali sanksi ekonomi yang berdampak pada kelumpuhan ekonomi Iran. Teranyar, AS menyebut Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran yang dikomandoi Qassem sebagai organisasi teroris.

Beranikah Iran Perang Melawan AS?

Muncul Pertanyaan, beranikah Iran melawan AS? Pertanyaan ini diajukan menyusul pernyataan tegas Ali Khamenei yang menyebut akan membalas dendam atas kematian Qassem.

Jika saja perang AS-Iran benar-benar terjadi, siapakah yang menang? Banyak yang menilai kemenangan akan berpihak pada AS. Meski Begitu, sebagian menilai Iran memiliki sistem pertahanan militer yang tidak bisa diremehkan.

Merujuk pada situs Global Fire Power yang memantau militer negara-negara di dunia, Iran berada di posisi 14 dari 137 negara dalam hal kekuatan militer. Sedangkan AS berada di posisi pertama disusul Rusia, China, India, dan Prancis dalam ranking 5 besar.

Jika dibandingkan dengan Indonesia, kekuatan militer Iran masih sedikit lebih unggul. Indonesia sejauh ini menurut laporan yang sama masih menempati posisi 16.

Mengacu pada kekuatan riil yang dimiliki Iran, tentu keputusan untuk terlibat dalam adu kekuatan militer dengan AS – konflik terbuka – termasuk sebuah keputusan yang berisiko tinggi bagi Iran.

Fenomena ini bisa dianalisis dengan menggunakan pendekatan rational choice yang lazim digunakan dalam kajian sosiologi. Menurut pendekatan ini sebuah keputusan dipilih berdasarkan kalkulasi rasional, yakni menghitung segala ongkos dan manfaat dari sebuah keputusan atau tindakan.

Apabila sebuah keputusan atau tindakan dianggap memiliki risiko (kerugian) lebih besar ketimbang manfaatnya, maka setiap aktor akan cenderung memilih alternatif lain.

Alberto Martinelli dalam Rational Choice And Sociology menyebutkan bahwa anggapan umum dalam pendekatan ini memandang basis keputusan sebuah tindakan didasarkan pada konsekuensi terbaik dari apa yang menjadi pilihan aktor.

Artinya, seseorang atau sebuah institusi tidak akan mengambil tindakan yang peluang keuntungannya jauh lebih kecil dari ongkos yang dikeluarkan. Dengan demikian, argumentasi rasionalitas menjadi kunci bagi sebuah keputusan atau tindakan.

Lalu, bagaimana dengan konteks perang antara Iran dan AS? Jika variabel kekuatan (riil) militer sebagai acuan, maka Iran sudah pasti menelan kekalahan jika perang itu terjadi. Kecuali, ada variabel lain, seperti dukungan kekuatan negara lain yang memiliki kekuatan militer setara AS, sebut saja Tiongkok atau Rusia.

Pertanyaannya, apakah kedua negara bersedia bertempur membela Iran melawan AS?

Konflik AS-Iran Penanda Perang Dunia III?

Pasca insiden pembunuhan Jenderal Qassem yang memicu ketegangan Iran-AS, masyarakat dunia kemudian mengaitkan peristiwa ini sebagai awal dimulainya Perang Dunia III. Hanya berselang 2 hari usai kejadian tersebut, media (sosial) di seluruh dunia dibanjiri tagar dan wacana munculnya Third World War/World War III/WWIII.

Meski begitu, menyebut ketegangan AS-Iran sebagai penanda akan meletusnya PD III adalah sebuah argumentasi yang terburu-buru. Pasalnya, konflik Iran-AS sangat kecil potensinya untuk dikatakan akan terjadi benturan dahsyat. Apalagi sampai terjadi PD III.

Sejauh ini banyak bermunculan hipotesis yang memprediksi kemungkinan terjadinya PD III. Perang yang paling ditakuti dunia itu setidaknya berlangsung dalam skala global yang meliputi Perang Nuklir yang ditandai dengan munculnya senjata biologi dan senjata kimia.

Ray Takeyh dalam Why the Death of an Iranian Commander Won’t Mean World War III menyebut, kematian Qassem tidak berarti akan meletus PD III. Menurutnya, tokoh kharismatik Ali Khamenei tidak akan gegabah mengambil sikap, sehingga mengabaikan fakta ketidakseimbangan kekuatan kedua negara.

Di tengah eskalasi konflik Iran-AS, sebagian berspekulasi sekutu Iran, Rusia dan Tiongkok akan berada di pihak Iran. Setidaknya hubungan harmonis ketiga negara terlihat saat latihan militer bersama antara militer Angkatan Laut Iran, Tiongkok dan Rusia di Samudera Hindia dan Teluk Oman pada Desember 2019. Latihan militer ini konon menjadi upaya pencegahan dari tekanan AS.

Sementara hubungan ketiga negara juga bisa ditelusuri dalam beberapa bentuk kerja sama seperti kerja sama Iran-Rusia soal nuklir. Iran dan Rusia sempat meresmikan tahap rekonstruksi baru untuk reaktor kedua pembangkit listrik tenaga nuklir Iran di Bushehr di pantai Teluk.

Selain itu Iran juga diketahui menjalin kerja sama dengan Tiongkok semenjak negara Tirai Bambu itu terlibat perang dagang dengan AS. Kerja sama di bidang ekonomi ini membuat hubungan Tiongkok dan Iran semakin kuat dan solid.

Meski ada indikasi kuat Rusia dan Tiongkok berada di kubu Iran, mengatakan kedua negara akan terlibat konflik dengan AS masih dalam tanda tanya. Jual beli ancaman yang dilemparkan kedua petinggi negara, baik di kubu AS maupun Iran hanya akan berujung pada perang kata-kata.

Dunia bahkan mengecam keras dan meminta Presiden Donald Trump untuk menahan diri dari serangan terhadap negeri para Mullah itu. Hampir semua petinggi negara di dunia beramai-ramai mengucapkan bela sungkawa atas insiden tersebut dan meminta konflik Iran-AS segera diakhiri.

Sepertinya dunia pun tak menghendaki adu senjata antara Iran dan AS. Dengan demikian, asumsi PD III sebentar lagi pecah kecil kemungkinan hal itu terjadi.

Tapi seandainya perang itu benar-benar terjadi, bagaimana posisi Indonesia?

Seperti Rusia dan Tiongkok, Indonesia juga termasuk salah satu negara yang memiliki sejumlah kerja sama baik dengan Iran maupun AS.

Kerjasama Indonesia-Iran mencakup bidang politik, ekonomi, penerangan sosial budaya, konsuler dan isu-isu penting lainnya di kawasan serta pemetaan rencana aksi kerjasama bilateral di masa mendatang. Hubungan politik Indonesia-Iran juga ditandai saling kunjung pejabat kedua negara termasuk upaya peningkatan kerja sama kapasitas antar Parlemen kedua negara.

Selain itu, sejauh ini Indonesia juga tidak memiliki riwayat konflik dengan kedua negara. Sehingga, bisa dikatakan Indonesia kemungkinan besar akan memilih netral, alias tidak terlibat dalam konflik yang melibatkan kedua negara.

Hal itu sebagaimana tercermin dari slogan politik bebas-aktif Indonesia selama ini yang selalu aktif mendorong perdamaian dunia tanpa mencampuri urusan negara lain. Upaya mendorong perdamaian kedua belah pihak (Iran-AS) juga telah dipertegas Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu), Mahendra Siregar, yang mengimbau kepada kedua negara untuk senantiasa menahan diri.

Dengan demikian, sikap Indonesia akan selalu siap mendukung terciptanya suatu kondisi yang lebih damai dan stabil. Selain itu, Indonesia juga menurut Mahendra akan berusaha semaksimal mungkin dan berharap setiap negara bisa menahan diri dan tidak melakukan kekerasan dengan alasan apapun. (H57)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version