Partai Demokrat resmi mendeklarasikan dukungannya pada Prabowo Subianto untuk menjadi calon presiden (capres) di Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024). Namun, akan seperti apa nasib politik Ketua Umum Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam koalisi ini? Apakah cawapres tetap masuk akal untuk dikejar, atau mungkin ada jabatan lain yang menunggu untuk AHY?
Perang bersejarah antara negara-negara kota Yunani dengan Kekaisaran Persia yang terjadi pada abad ke-5 sebelum masehi (SM) kerap dijadikan momen favorit oleh para penggemar sejarah dan juga politik. Bagaimana tidak, perang tersebut merupakan batu acuan dari bertahan dan berkembangnya nilai-nilai peradaban Barat, karena kemenangan yang berhasil dicapai oleh negara-negara kota Yunani.
Namun, peristiwa sejarah Yunani yang sering dijadikan sorotan tidak hanya peperangannya dengan Persia, tetapi juga Perang Peloponnesia, yakni sebuah perang antara Sparta dan Athena yang terjadi hanya 18 tahun setelah Perang Persia-Yunani selesai, yaitu pada tahun 431 SM.
Perang yang satu ini mungkin lebih menarik dari perang-perang Yunani yang lainnya karena tiba-tiba saja Athena yang tadinya beraliansi dengan Sparta untuk mengalahkan Persia, justru malah berteman dengan Persia untuk mengalahkan kawan serumpunnya dalam perang tersebut.
Walau Perang Peloponnesia kini hanya jadi catatan sejarah, akan tetapi fenomena politik yang menyertainya sepertinya masih terjadi hingga saat ini. Dalam persoalan Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) misalnya, baru saja pada tanggal 21 September lalu Partai Demokrat secara resmi menyatakan dukungannya pada bakal calon presiden (bacapres) Prabowo Subianto.
Hal ini tentu menarik, mengingat sebelumnya Demokrat justru mendukung Anies Baswedan sebagai bacapres. Berpindahnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan kawan-kawan kepada kubu Prabowo membuat situasi Pilpres 2024 nanti seakan mengingatkan kita pada manuver politik yang dilakukan Athena terhadap rekan lamanya, Sparta.
Akan tetapi, berpindahnya Demokrat ke poros Prabowo menyisakan satu pertanyaan penting, perihal nasib AHY tentunya. Sebelumnya, dari berita-berita yang ada, AHY tampak selalu didorong agar bisa menjadi bacawapres Anies, tapi, di koalisi yang baru ini jalan AHY untuk menjadi bacawapres sepertinya justru menjadi semakin menantang, mengingat deretan bacawapres Prabowo sudah begitu panjang. Yusril Ihza Mahendra, Erick Thohir, dan Airlangga Hartarto menjadi bagiannya.
Lantas, menarik untuk kita pertanyakan, kira-kira bagaimana jalan politik yang terpampang untuk AHY di koalisi Prabowo? Bila posisi bacawapres terlalu sulit untuk didapatkan, apa alternatif lain yang tersedia untuknya?
Bukan Wapres, Tapi Menhan?
“Ini saya juga akan berjuang habis-habisan nih kami.”
Kalimat tersebut diucapkan oleh Herzaky Mahendra Putra, Kepala Bakomstra Partai Demokrat, pada tanggal 1 November 2022, ketika dirinya mengisi acara Political Show CNN Indonesia TV, terkait pembicaraan tentang seberapa serius Demokrat akan memperjuangkan AHY untuk dapat berkontestasi langsung pada Pilpres 2024.
Sekarang, jika kita berkaca pada realita yang sedang dihadapi Partai Demokrat dalam koalisi barunya, pernyataan dari Herzaky di atas mungkin kini sangat sulit untuk diwujudkan. Apalagi, nama-nama bacawapres Prabowo yang sebelumnya sudah disebutkan memang sudah lama “diantrekan” sebagai pendamping Prabowo.
Bila kemudian kekhawatiran atas kegamangan AHY dan Demokrat merupakan hal yang nyata, maka kiranya kita dapat memahaminya. Ini karena mereka adalah entitas politik yang baru terbentuk pasca Reformasi, tetapi berhasil berkuasa selama dua periode saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden ke-6 RI.
Oleh karena itu, bisa jadi tahun 2024 merupakan tahun perjudian bagi AHY dan Demokrat untuk setidaknya mengambil jabatan di pemerintahan selanjutnya, tentu urgensinya adalah dalam konteks legitimasi Partai Demokrat sebagai partai yang pernah besar di Indonesia.
Lantas, jalan apa yang kira-kira paling masuk akal untuk dikejar oleh AHY dan Demokrat? Well, kalau kita mengacu pada teori rational choice (pilihan rasional), besar kemungkinannya posisi yang akan dilobikan oleh Demokrat adalah posisi Menteri Pertahanan (Menhan) atau Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).
Untuk posisi Menhan, rasionalitas di belakangnya bisa kita petakan berdasarkan penjelasan teori rational choice dari Rafael Wittek. Wittek mengatakan bahwa keputusan yang diambil politisi cenderung didasarkan pada tiga variabel. Pertama, atas preferensi pribadinya. Kedua, berdasarkan utilitasnya. Ketiga, juga bertolak dari informasi yang lengkap.
Dengan pandangan di atas, jabatan Menhan bisa jadi adalah “dream job” bagi AHY yang akan sangat dikejar Demokrat karena hal tersebut sesuai dengan latar belakangnya sebagai orang dari kalangan militer, bahkan bukan hanya pribadinya saja, tetapi juga karena ayahnya yang merupakan seorang purnawirawan jenderal. Hal ini menjadi semakin terbuka setelah kita menyadari tidak ada ketua partai lain di koalisi Prabowo yang berlatar belakang dari kalangan militer.
Apalagi, AHY sebelumnya memang pernah dipertimbangkan akan diberikan posisi Menhan oleh kubu Prabowo. Hashim Djojohadikusumo, selaku Direktur Media dan Komunikasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, pada April 2019 silam menyebut bahwa mereka memasukan nama AHY sebagai Menhan apabila porosnya menang.
Namun, masih ada satu pertanyaan lagi yang perlu dijawab untuk memperhitungkan seberapa nyata peluang AHY untuk dijadikan Menhan, utamanya, terkait jabatan militer AHY yang merupakan Mayor, padahal, Menhan-Menhan sebelumnya adalah orang berpangkat jenderal. Mungkinkah ini jadi halangan?
Bukan Jenderal Tidak Masalah?
PinterPolitik pada tanggal 20 September 2023 mengunggah post di Instagram dengan judul AHY Jadi Cawapres atau Menhan?. Terdapat beberapa komentar menarik dalam postingan tersebut, yakni beberapa warganet mengomentari AHY tidak akan cocok jadi Menhan karena ia bukanlah seorang mantan jenderal militer.
Preseden posisi Menhan di Amerika Serikat (AS) sepertinya mampu menjadi salah satu kontra-justifikasi untuk menangkal anggapan-anggapan tersebut.
Dalam tiga administrasi ke belakang, AS sempat memiliki Menhan dengan pengalaman militer yang serupa dengan AHY, yang dalam kata lain tidak sampai menjadi jenderal.
Contohnya adalah Mark Esper, yang berpangkat Letnan Kolonel dan mengampu posisi Menhan di era Presiden Donald Trump. Lalu, ada Menhan era George W. Bush, yakni Donald Rumsfeld yang purna tugas dengan pangkat Kapten. Tidak lupa juga nama Chuck Hagel yang berpangkat Sersan saat era Presiden Barack Obama.
Nah, berdasarkan serangkaian contoh di atas, nama AHY tampaknya sah-sah saja bila dipertimbangkan untuk menjadi suksesor Prabowo Subianto sebagai Menhan.
Oh iya, satu hal lagi yang tidak boleh kita lupakan terkait ini pun adalah posisi Menhan sebetulnya merupakan jabatan politis. Ini artinya, terlepas dari pangkatnya, jika seseorang dianggap layak ditempatkan sebagai penanggung jawab pertahanan Indonesia oleh partai pendukungnya, maka orang itu akan layak-layak saja.
Akhir kata, tentu ini hanyalah interpretasi belaka. Yang jelas, dinamika politik sebelum, ketika, dan setelah Pilpres 2024 akan sangat menarik untuk kita perhatikan. (D74)