Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto digadang-gadang maju pada Pilpres 2024. Meski mempunyai modal politik yang kuat, Airlangga menurut survei, masih kurang populer dibanding tokoh lainnya. Strategi mendampingkan dirinya dengan Ganjar Pranowo menjadi alternatif pasangan ideal. Seperti apa kemungkinan pilihan itu terjadi?
Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Partai Golkar membuka ruang komunikasi dengan tokoh-tokoh yang punya elektabilitas tinggi untuk bergabung. Elektabilitas Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar dirasa belum juga meningkat, Partai Golkar mengintai tokoh-tokoh lain yang dapat mendulang suara pada Pilpres 2024. Dalam radar, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo menjadi incaran untuk berdampingan dengan Airlangga, yang juga siap maju sebegai orang kedua.
Hal ini, terlihat dari akrobat politik Airlangga yang membuka komunikasi dengan sejumlah ketua umum partai lainnya. Airlangga menemui Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Potensi koalisi merupakan salah satu tema pembahasan mereka.
Baca Juga: Safari Airlangga Sinyal Tiga Poros di 2024?
Jika merujuk presidential threshold (PT), pencalonan kandidat presiden setidaknya mempunyai 20 persen kursi di DPR. Hanya PDIP yang mendapatkan tiket karena memiliki 22,26 persen kursi.
Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, mengatakan tiga partai dengan perolehan kursi terbanyak yang secara tradisi memasang calonnya dalam setiap pilpres. PDIP, Gerindra dan Golkar yang saat ini merupakan tiga besar partai politik dengan jumlah kursi signifikan di parlemen. Diketahui, Golkar dalam hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) menyatakan bakal menjagokan Airlangga Hartarto menjadi calon presiden 2024.
Berbeda dari dua gelaran pilpres sebelumnya, Golkar memperlihatkan keseriusan memajukan Airlangga sebagai calon presiden 2024. Lantas, bagaimana peluang Ketua Umum Partai Golkar ini?
Memotret Modal Politik
Memasuki dunia politik, seorang tokoh haruslah mempunyai modal politik atau political capital. Hal ini diungkapkan oleh Kimberly L. Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital. Casey mengungkapkan modal politik merupakan konsep dasar untuk memahami transaksi dan relasi politik. Secara alegoristik (perumpamaan), Casey menggambarkan, akumulasi dari berbagai modal politik ini membuat politisi mempunyai daya tawar tersendiri.
Lebih lanjut, Casey mengutip teori interconvertibility dari Pierre Bourdieu untuk menjabarkan berbagai jenis modal yang dapat menjadi modal politik, yakni modal institusional, modal sumber daya manusia (SDM/human capital), modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolik, dan modal moral.
Meski terdapat tujuh jenis modal politik, Casey menegaskan bahwa tidak ada modal politik yyang autentik. Dalam artian, besar kecilnya daya tawar modal politik tergantung atas modal yang dibutuhkan dalam sebuah kontestasi.
Untuk pilpres, setidaknya terdapat lima modal politik utama yang menentukan. Antara lain, modal ekonomi, modal partai politik, modal koneksi internasional, modal popularitas, dan modal elektabilitas. Jika kelima modal politik ini digunakan untuk menilai Airlangga, maka dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, Airlangga mengokohkan dirinya sebagai pengusaha yang sukses. Ia memiliki banyak bisnis dengan berbagai perusahaan. Di antaranya, PT. Graha Curah Niaga yang bergerak di bidang agraria (pupuk), kemudian PT. Jakarta Prime Crane, PT. Bisma Narendra, dan Komisaris PT. Sorini Corporation Tbk. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), total harta kekayaan Airlangga mencapai Rp260,611 miliar. Sebagai seorang pengusaha, Airlangga dinilai mempunyai modal ekonomi yang memadai.
Kedua, Airlangga merupakan Ketua Umum Partai Golkar, yang selalu berada pada peringkat papan atas. Di Pemilu 2019, misalnya, perolehan suara Golkar mencapai 17.229.789 (12,31 persen). Hasil ini membuat Golkar berada di posisi ketiga, di bawah PDIP dan Gerindra.
Ketiga, koneksi internasional Airlangga tidak perlu diragukan lagi. Karena bersekolah di luar negeri, jika kita runut, mulai dari program S2 di Wharton School University of Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat (AS); program Master of Business Administration (MBA), Monash University Australia; dan terakhir ia menuntut ilmu di Melbourne Bussiness School University of Melbourne. Selain itu hubungan Airlangga dengan Jepang juga konon disebut cukup spesial.
Baca Juga: Puan Redup, Airlangga Moncer?
Keempat, dari segi popularitas, dapat kita bagi menjadi dua, yaitu popularitas internal dan popularitas eksternal. Jika ukurannya popularitas internal, yakni partai politik dan elite politik, maka Airlangga termasuk tokoh yang populer. Tapi, jika ukurannya adalah popularitas eksternal atau popularitas publik, ini yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Airlangga.
Kelima, elektabilitas, juga bisa kita katakan adalah pekerjaan rumah tambahan. Airlangga dinilai masih mempunyai gap popularitas dan elektabilitas, yang dilihat dari survei, dibandingkan beberapa ketua umum partai politik dan pejabat politik yang dikenal oleh publik kebanyakan.
Saiful Mujani, pendiri Saiful Mujani Research and Consulting, mengatakan belum terlihat peluang Airlangga dapat memenangi pemilihan presiden karena tingkat popularitas dan elektabilitasnya masih kalah dengan enam nama potensial calon presiden. Di antaranya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Pertanyaannya, dengan modal politik yang besar pada modal ekonomi, modal partai politik, dan modal koneksi internasional, dan masih minim pada dua modal, yaitu modal popularitas dan elektabilitas, seberapa besar peluang Airlangga di Pilpres 2024?
Airlangga-Ganjar Pasangan Ideal?
Dalam kajian psikologi, motif dimaknai sebagai alasan seseorang (manusia) yang mendasarinya untuk melakukan sesuatu. Motif bukanlah sesuatu yang tampak. Sebab, itu tersembunyi. Motif dapat diketahui, di antaranya dari pengakuan seseorang terhadap alasannya melakukan suatu tindakan.
Untuk melihat maksud dari beragam kegiatan politik yang dilakukan oleh tokoh politik, perlu menyibak motif di balik perilaku politik. Dalam politik praktis, mengungkap tujuan di balik kompetisi adalah hal paling menarik untuk ditelisik.
Strategi nyapres Airlangga dengan jelas menunjukkan dirinya memiliki kalkulasi politik yang matang. Hal ini terlihat dari beberapa opsi yang dibentuk untuk memasangkan Airlangga dengan beberapa tokoh populer lainnya, seperti Anies dan Ganjar.
Nama yang belakang disebut, yaitu Ganjar, ramai diberitakan merupakan pasangan paling ideal untuk Airlangga. Ini disampaikan oleh Saiful Mujani kepada Koran Tempo edisi 12 November 2021. Saiful mengatakan, duet Ganjar-Airlangga merupakan pasangan yang tepat. Karena, ada kemungkinan Ganjar-Airlangga berhadapan dengan duet Gerindra dan PKS yang bisa saja mengusung Prabowo-Anies.
Namun, yang menjadi permasalahannya adalah status Ganjar sebagai kader PDIP. Selain terdapat potensi perpecahan dikarenakan santer PDIP lebih mendukung Puan Maharani untuk maju pada Pilpres 2024, sebagai kader yang dibesarkan oleh PDIP, belum pasti Ganjar akan bersedia melangkah tanpa dukungan PDIP.
Hal ini menyiratkan bahwa, dengan skema ideal pun, Airlangga masih memiliki penghalang untuk nyapres pada 2024. Atau mungkin, apa yang tengah dilakukan Airlangga tampaknya adalah investasi saham.
Baca Juga: Kok Bisa Ganjar Didukung?
Singkatnya, strategi nyapres Airlangga, dapat dianggap sebagai upayanya untuk mendeklarasikan harga saham politiknya sejak awal. Jika ingin membeli saham tersebut, maka harganya sekian. Hal ini, jelas merupakan strategi politik yang lihai. Dalam catur, langkah ini mungkin dapat disebut sebagai sham sacrifice.
Rudolf Spielmann dalam bukunya The Art of Sacrifice in Chess mendefinisikan sham sacrifice sebagai pengorbanan bidak dalam waktu tertentu, di mana nantinya pengorbanan tersebut menghasilkan keuntungan materil yang setara atau lebih besar. Ini berbeda dengan real sacrifice, di mana pengorbanan yang dilakukan tidak mendapatkan kembali keuntungan materil.
Jika motif nyapres Airlangga merupakan strategi sham sacrifice, maka ituadalah sebuah investasi politik. Dari inivestasi itu, keuntungan seperti apa yang dituju pasti berujung pada posisi tawar yang tinggi.
Namun, menimbang pada pernyataan lugas Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid yang mengajak Ganjar gabung ke partai beringin, opsi menduetkan Airlangga-Ganjar tampaknya dapat dikatakan cukup serius. (I76)