Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Pasca undur diri Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum Partai Golkar, interpretasi mengemuka bahwa dinamika yang terjadi jelang transisi pemerintahan ini terkait erat dengan positioning politik Joko Widodo (Jokowi) setelah purna tugas nantinya. Dan ini dinilai akan berpengaruh terhadap Prabowo Subianto-Partai Gerindra dan PDIP. Mengapa demikian?
Setengah mengejutkan, mungkin menjadi frasa yang tepat untuk menggambarkan pengunduran diri Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar.
Setelahnya, berbagai kemungkinan mencuat seperti pemimpin sementara yang akan dipegang oleh Agus Gumiwang Kartasasmita, Munaslub Partai Golkar yang akan segera digelar pada akhir Agustus ini, hingga keterpilihan Bahlil Lahadalia sebagai suksesor Airlangga.
Secara politik, pengunduran diri Airlangga Hartarto yang jamak diinterpretasi tak lepas dari kepingan positioning politik Joko Widodo (Jokowi) agaknya akan memantik efek domino kepada Prabowo Subianto dan pemerintahannya kelak serta korelasi para entitas politik lain, terutama dengan PDIP. Mengapa demikian?
Jokowi Raja Jawa Banget?
Perubahan dalam kepemimpinan Partai Golkar, terutama dengan pengunduran diri Airlangga Hartarto dan munculnya Bahlil Lahadalia sebagai kandidat kuat untuk menggantikannya, memicu banyak spekulasi.
Beberapa pihak agaknya sepakat akan penilaian bahwa hal ini sebagai bagian dari manuver politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang akhir masa jabatannya.
Jokowi dikenal sebagai sosok yang memiliki strategi politik jangka panjang dan penuh perhitungan. Pergantian ini tak hanya memengaruhi internal Partai Golkar, tetapi juga berdampak pada dinamika politik nasional, terutama dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, relasi Jokowi dengan PDIP, dan masa depan politik Jokowi pasca presidensi.
Dalam konteks ini, Bahlil Lahadalia dinilai sebagai figur yang dapat melanjutkan kepemimpinan Partai Golkar sesuai dengan arah yang diinginkan oleh Jokowi.
Kedekatan Bahlil dengan Jokowi, terutama dalam perannya sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM dan sebelum itu, menempatkannya dalam posisi yang strategis. Namun, keberhasilan manuver ini tentu tidak lepas dari tantangan internal di Golkar, yang dikenal memiliki faksi-faksi kuat dan independen.
Untuk memahami interpretasi akan kemungkinan langkah-langkah politik Jokowi di balik konteks suksesi di Golkar dan hubungannya dengan dinamika politik nasional, konsep “Raja Jawa” yang sering dianalisis dalam berbagai literatur politik Indonesia kiranya dapat menjadi pintu masuk analisis.
Dalam buku Raja, Priyayi, dan Kawula: Pengaruh Feodalisme dalam Politik Indonesia yang digubah oleh Benedict Anderson, konsep ini menggambarkan bagaimana seorang pemimpin Jawa menggunakan kekuasaannya tidak hanya dalam konteks formal tetapi juga melalui pengaruh budaya, jaringan patron-klien, dan strategi-strategi halus untuk mempertahankan otoritasnya.
Jokowi, meskipun berasal dari luar elite politik tradisional Jawa, sering kali dianggap mengadopsi pendekatan ini dalam kepemimpinannya.
Dalam konteks pergantian kepemimpinan Golkar, Jokowi tampaknya berusaha untuk menempatkan figur-figur loyal yang dapat memastikan bahwa kepentingannya tetap terjaga bahkan setelah ia tidak lagi menjadi presiden.
Hal itu kiranya dapat dilihat sebagai upaya untuk membangun “lingkaran dalam” yang kuat, di mana Jokowi tetap memiliki pengaruh signifikan dalam politik nasional. Termasuk yang terkait eksistensi dua putera dan satu menantunya di blantika politik kelak.
Pendekatan Jokowi ini dapat dipahami sebagai bentuk self-preservation yang khas dalam politik Jawa. Pemimpin Jawa tidak hanya memikirkan kekuasaan mereka dalam kerangka waktu lima atau sepuluh tahun, tetapi juga bagaimana memastikan bahwa pengaruh mereka tetap bertahan dalam jangka panjang.
Dalam konteks ini, Partai Golkar, sebagai salah satu partai politik terbesar di Indonesia, merupakan kendaraan politik yang ideal untuk mempertahankan pengaruh tersebut.
Kemungkinan Implikasi Suksesi Golkar
Relasi antara Jokowi, Prabowo, dan PDIP merupakan salah satu faktor kunci dalam memahami dinamika politik yang baru saja berkembang saat ini.
Jika dilihat melalui teori permainan (game theory), dapat dilihat bahwa interaksi antara ketiga entitas ini sebagai permainan strategis di mana setiap aktor berusaha memaksimalkan keuntungan politik mereka sambil mengantisipasi langkah-langkah lawan.
Pada dasarnya, Prabowo Subianto, sebagai calon presiden yang kerap disebut di-endorse oleh Jokowi, memiliki kepentingan untuk menjaga independensinya dalam pemerintahan 2024-2029.
Prabowo, yang telah berkali-kali bersaing untuk kursi RI-1, tentunya ingin menorehkan capaian besar dalam masa kepresidenannya sebagai bentuk pengabdian pamungkas untuk negara saat kali ini terpilih.
Di sisi lain, endorsement Jokowi bukan sekadar dukungan politik biasa atau makan siang gratis. Ini kiranya mencerminkan sebuah transaksi yang lebih dalam, di mana Jokowi kemungkinan mengharapkan imbal balik berupa perlindungan atau dukungan politik di masa depan agar tetap “aman” dan leluasa.
PDIP, sebagai partai asal Jokowi, meskipun secara formal tak mendukung pasangan Prabowo-Gibran, memiliki dinamika internal yang kompleks.
Relasi antara Jokowi dan PDIP, terutama dengan Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani, tidak selalu harmonis. Namun, relasi PDIP dan Prabowo-Partai Gerindra serta entitas lainnya tidak demikian.
Hal ini bisa menjadi titik tekan dalam kalkulasi politik Jokowi. Jika PDIP, di tengah jalannya pemerintahan 2024-2029, cenderung memihak pada agenda tertentu Prabowo, maka Jokowi mungkin melihat perlunya “bantalan politik” yang bisa dia kendalikan. Kembali, Partai Golkar kiranya menjadi skenario yang paling logis.
Di sinilah suksesi kepemimpinan Golkar menjadi penting. Dengan Bahlil di pucuk pimpinan Partai Golkar serta peluang masuk ke kabinet, Jokowi mungkin dapat memiliki pengaruh lebih besar dalam politik nasional, yang dapat berfungsi sebagai penyeimbang andai Prabowo dan PDIP bergerak seirama dalam konteks kepentingan politik di tengah jalan.
Konsep kekuasaan dari Max Weber tentang “otoritas karismatik” juga relevan dalam konteks ini. Jokowi, dengan karismanya yang telah terbukti memenangkan dua kali Pilpres, tampaknya berusaha untuk mentransfer karisma tersebut kepada figur-figur loyalis di partai-partai strategis seperti Partai Golkar, memastikan bahwa pengaruhnya tetap ada meskipun ia tidak lagi memegang jabatan formal.
Jika Bahlil berhasil menjadi Ketua Umum Golkar dan Golkar menjadi lebih condong ke arah Jokowi, ini bisa saja akan menimbulkan tantangan tersendiri bagi pemerintahan Prabowo.
Prabowo mungkin harus menghadapi situasi di mana partai-partai koalisinya tidak sepenuhnya sejalan dengan visi dan misinya yang sebenarnya.
Dalam analisis teori koalisi, terutama yang dikemukakan oleh William H. Riker dalam The Theory of Political Coalitions, koalisi politik dibangun atas dasar kompromi kepentingan. Jika Jokowi berhasil mengarahkan Partai Golkar ke arah yang lebih loyal kepadanya, maka Prabowo harus menyeimbangkan antara mengakomodasi kepentingan Jokowi dan tetap mempertahankan kontrol atas kebijakannya.
Hal ini bisa mengarah pada dinamika politik yang rumit di mana Prabowo harus bernegosiasi dengan berbagai faksi dalam pemerintahannya sendiri, termasuk dengan partai-partai yang loyal pada Jokowi. Tak terkecuali menyeimbangkannya dengan berbagai langkah PDIP.
Namun, jika Golkar di bawah Bahlil tetap menjaga otonominya dan tidak terlalu condong kepada Jokowi, maka Prabowo mungkin akan lebih leluasa dalam menjalankan pemerintahannya.
Dalam skenario ini, Jokowi mungkin harus mencari cara lain untuk tetap berpengaruh, mungkin melalui jaringan informal atau kelompok kepentingan di luar struktur partai.
Namun, penjelasan di atas merupakan interpretasi semata berdasarkan beberapa variabel politik yang telah eksis sebelumnya.
Akan sangat menarik untuk menantikan pengaruh dinamika yang terjadi di Partai Golkar dapat memengaruhi transisi dan jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran serta korelasinya dengan Jokowi dan PDIP. (J61)