Tidak seperti kandidat lainnya, manuver politik Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto justru senyap terdengar. Apakah Airlangga menarik diri dari perlombaan kandidat, atau justru tengah disembunyikan untuk memberikan kejutan?
PinterPolitik.com
“Silence is a source of great strength.” – Lao Tzu
Penetrasi media sosial membawa babak baru bagi studi pemasaran, termasuk pemasaran politik (political marketing). Tuntutan media sosial atas interaksi real-time membuat politisi seolah berubah menjadi selebriti. Politisi dituntut untuk berpenampilan menarik, menghibur, dekat dengan masyarakat, dan sekaligus berkinerja baik.
Mengutip penjelasan Pramod K. Nayar dalam bukunya Seeing Stars: Spectacle, Society and Celebrity Culture, kita tengah memasuki era budaya selebriti (culture of celebrity). Politisi, khususnya mereka yang mengincar efek elektoral harus menjadi seberbeda mungkin di tengah masifnya arus informasi. Persis seperti cara kerja selebriti.
Poin ini membuat kita memahami mengapa politisi-politisi atraktif seperti Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno, dan Erick Thohir menjadi primadona publik. Keunikan dan tingginya tingkat interaksi menempatkan nama mereka di survei-survei kandidat potensial untuk 2024.
Kendati demikian, sebagaimana terlihat, tidak semua kandidat potensial menunjukkan atraksi-atraksi menarik di panggung digital. Salah satunya adalah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Suka atau tidak, gestur yang masih pasif berkonsekuensi pada rendahnya elektabilitas Airlangga di sejumlah survei.
Lantas, jika benar-benar serius ingin maju di Pilpres 2024, mengapa Airlangga justru terlihat senyap di panggung publik dan panggung digital?
Lobi Ruang Rokok
Ada tiga hipotesis yang dapat dibangun untuk menjawabnya. Hipotesis pertama, mungkin saja Airlangga tidak seserius Erick atau Ganjar untuk maju di 2024. Namun, hipotesis ini selain lemah juga tidak begitu menarik.
Hipotesis kedua jauh lebih menarik karena dapat memantik diskursus lebih lanjut. Alih-alih menyebut Airlangga kurang serius, bagaimana jika strategi Airlangga adalah operasi belakang layar?
Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural, menyebut keputusan penentuan kandidat capres-cawapres dilakukan secara tertutup atau dikenal dengan istilah smoke-filled room.
Istilah smoke-filled room dipopulerkan pada awal abad ke-20. Ketika merokok masih menjadi praktik umum di ruang publik, tidak jarang para politisi berkumpul di ruangan yang dipenuhi asap cerutu untuk berdiskusi dan mengambil keputusan tentang masalah-masalah penting.
Smoke-filled room digunakan untuk menggambarkan situasi di mana politisi atau individu kuat berkumpul di ruang pribadi tertutup untuk membuat keputusan atau negosiasi penting tanpa pengawasan publik.
Pertanyaannya begini. Untuk apa Airlangga harus beratraksi seintens Erick, Sandi, atau Ganjar, jika ia tidak bisa mengamankan tiket? Dengan kata lain, untuk saat ini prioritas Airlangga adalah melobi elite parpol untuk mendapatkan tiket maju. Entah itu sebagai capres atau cawapres. Intinya tiket maju.
Operasi Gerilya
Namun, tentu naif jika Airlangga hanya fokus melakukan lobi belakang layar. Ia juga harus tetap mengenalkan sosoknya di tengah masyarakat.
Dengan Airlangga tidak terlihat begitu aktif di depan layar, kemungkinan yang dilakukan sekarang adalah operasi gerilya. Seperti yang umum kita dengar dan lihat di film-film, operasi gerilya adalah operasi senyap. Itu adalah serangan-serangan kecil dan dilakukan secara berpindah-pindah.
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Partai Golkar Dave Akbarshah Fikarno, menjelaskan bahwa para kader Golkar di tingkat DPD I, DPD II, hingga tingkat Kelompok Karya atau akar rumput telah diinstruksikan untuk membantu sosialisasi sosok Airlangga.
Merujuk pada catatan resmi KPU, Golkar adalah partai dengan kader terbanyak. Per 2022, Golkar telah mendaftarkan kader sebanyak 836.861 orang. “Menurut pengintipan data yang ada, ini (Golkar) yang paling banyak,” ungkap Ketum Golkar Airlangga Hartarto (10/8/2022).
Selain mengerahkan kader Golkar untuk sosialisasi sosok Airlangga, sejauh ini setidaknya terdapat sekitar 2.500 baliho Airlangga yang tersebar di berbagai daerah. Ribuan baliho itu dapat menciptakan efek availability bias atau bias ketersediaan.
Availability bias adalah tendensi psikologis yang membuat manusia menggambarkan dunia berdasarkan informasi yang paling diingatnya. Tendensi itu muncul akibat pemaparan informasi yang sama secara terus menerus.
Dengan adanya ribuan tebaran baliho Airlangga, paling minimal masyarakat akan mengingat wajah dan namanya. Dalam operasi penggalangan intelijen, ini disebut tahap infiltrasi, yakni memasukkan wajah dan nama Airlangga ke ingatan masyarakat.
Muncul di Akhir?
Jika operasi belakang layar Airlangga berhasil, namanya akan kita temui di kertas suara. Sejauh ini, kemungkinan besar sebagai cawapres.
Setelah resmi menjadi peserta pilpres, barulah Airlangga, Golkar, partai rekan koalisi, relawan, dan tim sukses akan meningkatkan sosialisasi sosok Airlangga. Tentunya, atraksi di panggung publik dan panggung digital akan kita lihat.
Namun, sayangnya, kendati hipotesis kedua begitu menarik, masih terdapat suatu pesimisme. Keraguan itu membawa kita pada hipotesis ketiga, yakni Airlangga mungkin memang tidak bisa beratraksi seperti Erick, Ganjar, ataupun Sandi.
Menurut laporan Tempo, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah memberi saran ke Airlangga untuk lebih sering turun ke masyarakat memperkenalkan dirinya. Namun, alih-alih melakukan banyak blusukan, saran itu direspons dengan tebaran 2.500 baliho di berbagai daerah.
Atas respons itu, kuat dugaan Airlangga mungkin sosok yang cukup kaku. Sebenarnya, kasus Airlangga mirip dengan Prabowo Subianto. Namun, elektabilitas Prabowo bisa tinggi karena ia telah menabung popularitas dan elektabilitas sejak Pilpres 2009.
Siapa yang tidak mengenal Prabowo? Menteri Pertahanan itu telah memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat.
Sebagai penutup, jika diperbolehkan, mungkin ada sedikit saran untuk Airlangga. Kendati mungkin saat ini fokus melakukan operasi belakang layar, Airlangga perlu memperkuat sosoknya dengan tampil atraktif di panggung publik dan panggung digital.
Namun, saran untuk atraktif itu jangan sampai salah diartikan. Itu bukan tampil joget TikTok, melainkan apa yang dilakukan Menko Polhukam Mahfud MD saat ini. Setelah membuka dugaan TPPU Rp349 triliun di Kementerian Keuangan, nama Mahfud langsung melejit.
Namanya senantiasa dibahas menjadi salah satu kandidat potensial di Pilpres 2024. Kerinduan publik atas pejabat jujur, berani, dan menunjukkan kinerja baik adalah bahan bakar dukungan itu.
Tidak berhenti di TPPU Rp349 triliun, Mahfud juga terus vokal atas berbagai isu, yang terbaru adalah korupsi proyek menara BTS 4G di Kemenkominfo.
Sebagai Menko Perekonomian, Airlangga dapat mengadopsi “strategi” Mahfud. Airlangga misalnya bisa mengungkap berbagai masalah ekonomi Indonesia dan cara menyelesaikannya.
Jika disampaikan dengan baik, atraktif, dan menarik, bukan tidak mungkin “fenomena Mahfud” saat ini juga akan menghampiri Airlangga Hartarto. Kita lihat saja. (R53)