Tafsir atas hakikat pertemuan ketua umum Golkar, PPP, dan PAN masih menjadi perbincangan karena banyak disebut menjadi sinyal kuat koalisi jelang Pemilu 2024. Namun di balik itu, muncul satu pertanyaan menarik tentang mengapa Airlangga membawa partai sebesar Golkar berkenan menginisiasi koalisi dini tersebut?
Manuver mulai ditunjukkan sejumlah partai politik ketika kontestasi elektoral 2024 kian mendekati harinya. Termasuk satu yang diinisiasi oleh tiga ketua umum parpol yakni Golkar, PPP, dan PAN pada pekan lalu.
Secara implisit, baik Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Suharso Monarfa serta elite-elite dari ketiga parpol mengindikasikan bahwa pertemuan itu sebagai tanda terbentuknya poros koalisi politik jelang Pemilu 2024.
Setelah pertemuan tersebut, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang acapkali disebut sebagai kandidat calon presiden menjanjikan, bertemu dengan Airlangga dan Zulhas pada ahad kemarin. Pertemuan itu kiranya membuat kemungkinan berbagai manuver kejutan dari para aktor politik dalam beberapa waktu ke depan menjadi sebuah keniscayaan.
Khusus saat pertemuan dengan Airlangga, Kang Emil mengatakan bahwa dia akan mendukung cita-cita Ketum Golkar itu sebagai bentuk balas budi atas dukungan partai beringin selama ini terhadapnya di Jawa Barat.
Lantas, mungkinkah pernyataan Ridwan Kamil itu menjadi indikasi tersirat, khususnya output dari pertemuan tiga parpol tersebut yang benar-benar ingin mengusung Airlangga Hartarto sebagai capres di Pemilu 2024?
Tentu jawaban atas pertanyaan tersebut masih belum dapat diterka secara pasti mengingat kemungkinan begitu cairnya dinamika politik ke depannya.
Namun satu yang kiranya menarik dan dapat diidentifikasi adalah sosok Airlangga itu sendiri yang seolah tampak menjadi pivot penting setelah pertemuan, baik dengan dua Ketum parpol sebelumnya, maupun kala bersua dengan Kang Emil.
Sebagai nahkoda sebuah partai legendaris yang mengantongi 14,78% suara di pemilu edisi terakhir, dapat ditafsirkan bahwa manuver Airlangga membutuhkan energi tersendiri. Terlebih yang digandeng adalah parpol dengan kaliber menengah dari sisi torehan suara dan popularitas.
Hal ini kemudian mengarah pada sebuah pertanyaan, mengapa Airlangga rela “berpeluh keringat” menginisiasi embrio koalisi politik sejak dini? Adakah hal lain disamping kalkulasi syarat elektoral yang menjadi pertimbangan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu?
Cara Atasi Problem Airlangga?
Mempersiapkan prasyarat perhitungan matematis di kontestasi elektoral mendatang tentu menjadi salah satu yang dapat ditebak di permukaan atas inisiasi koalisi bentukan Airlangga. Tetapi agaknya, melihat yang tampak di depan panggung kemungkinan hanyalah bagian kecil dari dinamika politik yang benar-benar terjadi dan belakangan sedang bergulir. Khususnya terkait sejumlah intrik yang membayangi Ketum Golkar itu beberapa waktu ke belakang.
Tampak depan dan belakang panggung dalam dunia politik sering kali cukup kontras dan tidak terduga. Untuk memahaminya, konsep dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman kiranya dapat menjadi satu titik tolak.
Konsep dramaturgi sendiri merupakan resapan istilah dalam dunia teater atau drama terkait adanya panggung depan (front stage) dan belakang panggung (backstage) untuk menjelaskan interaksi sosial.
Ketika direfleksikan dalam dunia politik, dramaturgi kerap dikutip untuk menjelaskan bagaimana semunya realita politik yang terlihat oleh publik. Apa terlihat di hadapan publik tidak jarang berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi di belakang panggung.
Pertemuan Airlangga dengan Zulhas dan Suharso terlihat sebagai manuver yang lumrah saja terjadi. Akan tetapi maksud sesungguhnya di belakang panggung dari Alumni Master of Business Administration (MBA) Monash University, Australia itu kemungkinan tidak sesederhana itu.
Mari tengok beberapa isu ke belakang yang berkembang dan mengarah langsung pada impresi sosok Airlangga. Pertama, dia sempat dihantui isu yang kurang sedap terkait perselingkuhan di awal tahun ini.
Kedua, Airlangga juga belum lama diisukan tidak didukung untuk menjadi kandidat utama capres dari Partai Golkar. Elektabilitas yang rendah hingga blunder soal pendundaan pemilu disebut-sebut menjadi penyebab kuat menyeruaknya kabar tersebut.
Untuk isu terakhir, Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Abu Rizal Bakrie bahkan sampai harus turun gunung. ARB mengatakan bahwa dirinya siap pasang badan bagi Airlangga dan memberikan peringatan bagi siapapun yang menjadi penyebab turbulensi partai.
Ketiga, kepemimpinan Airlangga sebagai Ketum Golkar belum lama ini diisukan sedang diguncang. Kabar adanya gerakan untuk melengserkannya membuat situasi di internal partai menjadi kurang menyenangkan.
Intrik-intrik tersebut bukan tidak mungkin membuat Airlangga dihadapkan pada kecemasan personal. Secara psikologis, tekanan berupa isu negatif yang berkembang nyatanya dapat memengaruhi perilaku seorang politisi.
Weinberg A and Cooper C dalam Stress among national politicians elected to parliament for the first time menyatakan bahwa terdapat peningkatan gejala ketegangan psikologis seperti dihadapkan pada rasa gugup, meningkatnya kecemasan, hingga menurunkan kepercayaan diri yang dialami oleh politisi.
Hal itu terjadi utamanya kepada mereka yang pertama kali berhadapan dengan pemilu pertamanya sebagai aktor utama. Gejala tersebut umumnya disebabkan oleh tekanan politik, baik berupa ekspektasi partai politik, publik, maupun isu yang sedang berkembang terkait dirinya.
Dukungan sosial menjadi salah satu cara ampuh untuk tekanan semacam itu. Fatih Ozbay dan kawan-kawan dalam publikasinya yang berjudul Social Support and Resilience to Stress menyebutkan bahwa dukungan sosial digambarkan sebagai dukungan yang dapat diakses oleh seorang individu melalui ikatan sosial dengan individu lain, kelompok, maupun komunitas yang lebih besar.
Dari penjabaran tersebut, menginisiasi koalisi politik lebih awal kemungkinan menjadi bentuk mekanisme pengelolaan diri dalam berbentuk dukungan sosial. Mengingat efek psikologis yang dihadapi Airlangga di tengah terpaan isu miring agaknya memiliki pengaruh tersendiri. Apalagi isu-isu tersebut datang menjelang Pemilu yang kian dekat.
Lantas, apakah langkah tersebut cukup signifikan untuk mengangkat nama Airlangga sebagai kandidat yang diperhitungkan, khususnya dalam Pilpres 2024 mendatang?
Jawaban Atas Upaya Sabotase?
Pertemuan ketum Golkar, PPP, dan PAN yang belakangan diberi nama Koalisi Indonesia Bersatu tidak sedikit dinilai masih bersifat prematur. Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya mengatakan poros koalisi ketiga partai itu semata-mata masih dalam tahap kesadaran kolektif untuk menaikkan daya tawar bagi kandidat capres.
Ketiga parpol itu sendiri memang masih belum memiliki capres andalan yang memiliki elektabilitas mumpuni. Airlangga yang menjadi satu-satunya nama dalam daftar bursa masih terjebak di satu digit persentase dalam sejumlah survey.
Dirinya masih sulit bersaing saat harus berhadapan dengan nama-nama seperti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, bahkan jika dikomparasikan dengan tokoh teranyar yang bersilaturahmi kepadanya, Ridwan Kamil.
Kendati demikian, manuver membentuk poros koalisi agaknya juga menjadi simbol keberanian dan kepercayaan diri tersendiri dari Airlangga selain telaah dari aspek psikologis sebelumnya.
Mengutip Delia Dumitrescu, Elisabeth Gidengil, dan Dietlind Stolle dalam Candidate Confidence and Electoral Appeal, tampilan kepercayaan diri dalam simbol nonverbal sangat terkait dengan kepemimpinan, kekuasaan, dan aspek persuasi politik.
Dikatakan bahwa kepercayaan diri secara nonverbal dan kualitas pesan yang mengiringi dari sosok kandidat menjadi awal impresi terhadap kandidat aktor yang akan bertarung di kontestasi elektoral. Kedua hal itu juga memengaruhi persepsi pemilih dan aktor politik lain tentang elektabilitas dan kecakapan kandidat.
Berkaca pada esensi tersebut, di samping daya tawar bagi kandidat capres eksternal seperti yang disebutkan Yunarto Wijaya, inisiasi pertemuan itu juga bisa saja juga menjadi simbol yang ingin ditunjukkan Airlangga bahwa ia memiliki integritas dan kepercayaan diri secara konkret dari segi politik.
Tiga isu minor yang membayanginya seperti yang telah disebutkan di atas seolah menjadi indikasi sabotase dan serangan tak terlihat. Oleh karena itu, keberanian membentuk cikal bakal poros politik ketika parpol lain masih dalam tahap timbang-menimbang patut menjadi perhatian dari sosok Airlangga.
Urgensi kepercayaan diri itu menjadi titik awal paling logis yang harus Airlangga miliki agar pantas disebut sebagai kandidat capres yang diperhitungkan. Paling tidak kepercayaan diri yang direfleksikan pada dua hal, yakni dalam menangkal isu minor “ketidaksukaan” mengenai dirinya baik dari internal maupun eksternal partai, serta demi memikat perhatian khalayak.
Bagaimanapun, langkah awal yang tengah diupayakan Airlangga untuk membentuk integritas dan kepercayaan diri tersebut harus terus diwujudkan dan diiringi dengan manuver serta aksi konkret lain yang dapat menarik bagi pemilih.
Mengedepankan gagasan konkret atas permasalahan yang tengah dihadapi rakyat tentu dapat menjadi prioritas dan melengkapi modal politik lain yang dimiliki sang Ketum Golkar itu andaikata ingin benar-benar diperhitungkan semua pihak. (J61)