Site icon PinterPolitik.com

Airlangga Butuh NasDem untuk Rebut Jokowi?

Airlangga Butuh NasDem untuk Rebut Jokowi?

Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh bersama dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (Foto: Radar Tuban)

Sejak awal tahun 2021 lalu, Golkar santer dikabarkan akan berkoalisi dengan NasDem di Pilpres 2024. Namun dengan perbedaan pandangan soal penundaan Pemilu 2024, koalisi kedua partai ini dikabarkan menemui ganjalan. Lantas, apakah kedatangan Airlangga Hartarto ke kantor DPP NasDem baru-baru ini menjadi sinyal betapa pentingnya Surya Paloh bagi partai beringin?


PinterPolitik.com

“Karena tadi saya mengingatkan beliau (Surya Paloh), sampai saat ini masih lebih lama di Partai Golkar daripada di Partai NasDem,” canda Airlangga Hartarto ketika mengunjungi Surya Paloh di Kantor DPP NasDem, Cikini, Jakarta Pusat, pada 10 Maret.

Melihat riwayat perjalanan politik Surya Paloh, pernyataan Airlangga bukan kelakar semata. Surya Paloh menjadi bagian Partai Golkar dari tahun 1968 sampai tahun 2011 (sekitar 48 tahun). Sementara di partainya saat ini, NasDem, baru sejak tahun 2011 (sekitar 11 tahun).

Seperti yang dibaca di berbagai pemberitaan, kunjungan Airlangga ke Kantor DPP NasDem membahas berbagai topik, mulai dari Pilkada DKI Jakarta 2024, penundaan Pemilu 2024, hingga melanjutkan pembahasan rencana koalisi.

Melihat gelagat Airlangga, pendekatannya ke Partai NasDem sudah dibaca publik sejak Maret 2021, bahkan mungkin lebih awal. Sejak pertemuan tersebut, berbagai pihak mulai membaca sinyal bahwa Golkar dan NasDem tampaknya ingin berpasangan di Pilpres 2024. 

Namun, melihat gestur terbaru keduanya, wacana koalisi tersebut tampaknya tengah menemui jalan terjal. Pasalnya, seperti yang disebutkan Ivan Doherty dalam tulisannya Coalition Best Practices, faktor esensial dalam pembentukan koalisi, yakni kesamaan persepsi tampaknya tidak terjadi.

Berbeda dengan Airlangga yang mendukung penundaan Pemilu 2024, Surya Paloh justru dengan keras menolak. Bahkan setelah kunjungan Airlangga ke Kantor DPP NasDem, Surya Paloh masih pada komitmennya untuk menolak penundaan pemilu.

Kemudian, ada pula berita dari NasDem yang membatalkan konvensi Capres 2024. Menurut Wakil Ketua Umum NasDem Ahmad Ali, tidak mungkin konvensi dilakukan karena partai-partai yang dianggap menjadi mitra strategis ingin mengusung ketuanya masing-masing.

“Untuk itulah kemudian tidak bisa melaksanakan konvensi, karena konvensi yang kemudian harus memenuhi syarat elektoral, presidential threshold itu sama saja konvensi lucu-lucuan kan,” ungkap Ahmad Ali pada 10 Maret.

Mengacu pada gestur kentara Airlangga yang ingin maju di Pilpres 2024, mudah terbaca bahwa pernyataan Ahmad Ali sekiranya juga menyasar Partai Golkar.

Lantas, dengan pembelahan yang sudah terlihat sejak awal, apakah Golkar akan tetap berusaha mendekati NasDem? Jika benar demikian, mengapa itu dilakukan? Apakah sepenting itu dukungan Surya Paloh bagi Airlangga?

Hasrat Berkuasa Golkar 

Sebelum membedahnya lebih lanjut, kita perlu melirik penjelasan ilmuwan politik Francis Fukuyama tentang akar aktivitas politik. Dalam berbagai buku, artikel, dan pidatonya, Fukuyama kerap mengutip konsep thumos atau thymos dari Plato dalam buku Republic

Thymos adalah istilah Latin yang menjelaskan bahwa psikologi manusia membutuhkan pengakuan akan martabat. Singkatnya, sangat mendasar dan naluriah apabila manusia ingin diakui oleh manusia atau kelompok lainnya. Yang menarik, thymos memiliki dua turunan, yakni isothymia dan megalothymia.

Isothymia adalah hasrat untuk diakui secara setara dengan yang lainnya. Sementara megalothymia adalah hasrat untuk diakui sebagai yang lebih unggul dari yang lainnya. Yang menjadi masalah, menurut Fukuyama, aktivitas politik kita lebih sering berdiri di atas megalothymia.

Julie Beck dalam tulisannya People Want Power Because They Want Autonomy, menunjukkan bahwa kajian psikologi terbaru telah mengafirmasi megalothymia. Mengutip studi gabungan dari University of Cologne, University of Groningen, dan Columbia University, ditemukan bahwa seseorang merasa hasratnya atas kekuasaan lebih terpuaskan dengan kondisi berotonomi daripada kondisi mengontrol orang lain.

Dengan kata lain, gelagat Airlangga yang melakukan safari politik sedari dini merupakan bentuk dari megalothymia alias keinginan berkuasa secara independen, tanpa perlu lagi berada di bawah bayang-bayang PDIP. Gelagat ini bahkan telah terbaca sebelum Airlangga aktif melakukan safari politik pada awal 2021. 

Pada Munas Golkar yang digelar Desember 2019, telah ditegaskan bahwa Airlangga adalah capres partai beringin di 2024. Dengan demikian, tidak mungkin Golkar berkoalisi lagi dengan PDIP karena partai banteng akan mengusung kandidatnya sendiri di 2024. Apalagi, PDIP adalah satu-satunya partai yang mampu mengusung sendiri calonnya karena mendapatkan 22 persen kursi DPR.

Lantas, apakah NasDem adalah kunci untuk melawan PDIP?

Surya Paloh adalah Puzzle Penentu?

Untuk kepentingan melawan PDIP, Golkar membutuhkan partai yang setidaknya memiliki dua kualifikasi. Pertama, partai tersebut memiliki suara cukup besar untuk memenuhi presidential threshold (preshold). Kedua, partai tersebut juga memiliki hubungan tidak harmonis dengan PDIP.  

Nah, sejauh ini yang memenuhi kedua kualifikasi itu adalah NasDem. Pertama, partai-partai yang memperoleh suara besar lainnya, seperti Gerindra dan PKB, terlihat dekat dengan PDIP. Terkhusus Gerindra, Prabowo santer dikabarkan akan berduet dengan Puan Maharani.

Kedua, NasDem terlihat memiliki gesekan dengan PDIP. Perseteruan keduanya disebut bermula dari isu perekrutan kader PDIP oleh NasDem. Ini misalnya disebutkan oleh pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio yang menyebut Megawati kecewa karena banyak kepala daerah dari PDIP yang pindah ke NasDem. Pada tahun 2018, misalnya, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan berpindah ke partai pimpinan Surya Paloh tersebut.

Simbol ketegangan ini terlihat jelas saat momentum rapat paripurna pelantikan anggota DPR/MPR/DPD pada tahun 2019 lalu ketika Megawati tidak menyalami Surya Paloh. Singkatnya, ini adalah aktualisasi dari adagium kuno, “The enemy of my enemy is my friend“. Musuh dari musuh ku adalah teman ku.

Melihat perkembangan gestur politik nasional, gesekan PDIP dengan NasDem tampaknya masih akan berlanjut seiring dengan usaha NasDem mendekati Joko Widodo (Jokowi), yang merupakan kader terbaik PDIP saat ini. 

Kentara terbaca bahwa berbagai partai dan politisi tengah memburu dukungan politik Jokowi untuk Pilpres 2024. Dengan citra dan dukungan publik yang masih sangat kuat, dukungan politik Jokowi dinilai sangat berpengaruh dalam mendongkrak keterpilihan.

Lantas, apakah berkoalisi dengan NasDem adalah kunci mendapatkan dukungan politik Jokowi?

Jokowi Jadi Rebutan 

Dengan mendekati NasDem, Airlangga akan memiliki kekuatan tambahan untuk mendapatkan dukungan politik Jokowi. Pasalnya, sama dengan NasDem, Golkar juga telah lama menjadi partai yang paling mendukung pemerintahan sang RI-1.

Menurut Leo Suryadinata dalam tulisannya Golkar’s Leadership and the Indonesian President, karena sadar berbagai petinggi PDIP tidak menyukainya sejak 2014, Jokowi memainkan manuver politik cerdik dengan membangun relasi baik dengan partai besar lainnya seperti Golkar.

Hubungan baik tersebut jelas terlihat pada pujian tinggi Jokowi terhadap Airlangga dalam acara HUT ke-55 Golkar pada 6 November 2019. Menurut berbagai pihak, khususnya kubu Bambang Soesatyo (Bamsoet), itu adalah dukungan kepada Airlangga untuk maju sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Sekarang mari buat sedikit perandaian. Katakanlah Golkar dan NasDem berkoalisi. Jika keduanya berhasil mendapatkan dukungan politik Jokowi, ini merupakan aktualisasi dari strategi nomor dua dari Thirty-Six Stratagems, yakni 36 strategi Tiongkok kuno yang digunakan dalam politik, perang, dan interaksi sipil.   

Strategi nomor dua berbunyi, “Besiege Wèi to rescue Zhào” (圍魏救趙, Wéi Wèi jiù Zhào). Artinya, ketika musuh terlalu kuat untuk diserang, seranglah sesuatu yang berharga yang dimilikinya. 

Nah, dengan fakta PDIP sangatlah tangguh saat ini. Bahkan elektabilitasnya masih yang tertinggi dalam berbagai survei, koalisi Golkar-NasDem perlu menyerang atau mengambil salah satu senjata pamungkas partai banteng, yakni Jokowi. Selain menambah daya tempur Golkar-NasDem, ini sekaligus melemahkan daya tempur PDIP.

Well, sebagai penutup, kita lihat saja kelanjutan usaha Airlangga dalam mendekati Surya Paloh. Sekalipun saat ini Golkar-NasDem tengah mengalami pembelahan persepsi, kita perlu kembali pada rumus dasar aktivitas politik. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang sama. (R53)

Exit mobile version