Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto positif menatap tahun 2021 dengan menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan positif. Menariknya, di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir, keduanya memprediksi pertumbuhan ekonomi 2021 bahkan dapat mencapai 5 persen. Mengapa pandangan optimis tersebut mengemuka?
Situasi tidak pasti akibat pandemi Covid-19 mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Jika mengacu pada Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya Black Swan: The Impact of the Highly Improbable, pandemi ini mungkin adalah apa yang disebut sebagai black swan atau angsa hitam.
Ini adalah peristiwa yang benar-benar tidak dapat diprediksi oleh siapapun. Konteks ini persis seperti yang disebutkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Politikus senior Partai Golkar ini menerangkan bahwa pemerintah memang tidak siap dan tidak menyangka pandemi akan menciptakan situasi seperti saat ini.
Akan tetapi, pembenaran menggunakan black swan pada dasarnya tidak tepat. Pasalnya, pada 31 Maret 2020, Nassim Nicholas Taleb sendiri telah menegaskan ke Bloomberg bahwa pandemi Covid-19 bukanlah black swan, melainkan bentuk dari kerapuhan sistem global. Taleb misalnya mencontohkan pada Januari 2020 ketika virus masih terfokus di Tiongkok, berbagai pihak (negara) justru tidak melakukan langkah pencegahan.
Baca Juga: Pemerintah Pahami Corona sebagai Black Swan?
Atas kerapuhan sistem global ini, dunia tengah menghadapi situasi tidak pasti karena tanda-tanda pandemi akan berakhir belum terlihat. Bahkan meskipun vaksinasi sudah dimulai.
Baru-baru ini, Bloomberg merilis prediksi terkait waktu yang dibutuhkan berbagai negara untuk mencapai vaksinasi 75 persen penduduk. Peliknya, Indonesia disebut akan menyelesaikan vaksinasi dalam waktu 10 tahun.
Di luar tepat tidaknya prediksi Bloomberg, untuk menuju vaksinasi 660 juta dosis, memang membutuhkan waktu dan biaya yang begitu besar. Yang jelas, dengan kecepatan dan kapasitas vaksin saat ini, tentu sangat sulit mencapai target Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa vaksinasi nasional selesai dalam waktu satu tahun.
Lantas, jika kondisinya demikian, mengapa Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dan Menteri Koordinator Bidang (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto positif menyebut pertumbuhan ekonomi di 2021 dapat mencapai 5 persen? Padahal, seperti yang jamak diketahui, ekonomi akan sulit tumbuh apabila pandemi masih mendera?
Aktivitas akan Dilonggarkan?
Dalam keterangannya, Menperin Agus menegaskan bahwa pemerintah telah memiliki strategi-strategi untuk menggenjot laju pertumbuhan ekonomi. Pun begitu dengan Menko Perekonomian Airlangga yang telah berulang kali mengungkapkan pandangan positifnya terhadap masa depan ekonomi.
Dalam rilis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 8 Februari, telah dirinci sederet alasan mengapa pemerintah positif dalam menatap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun mengalami kontraksi, ternyata terdapat tren pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2020.
Pertama, pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2020 yang sebesar -2,19% (yoy) membaik dari pertumbuhan triwulan III 2020 yang sebesar-3,49% (yoy). Pertumbuhan bahkan disebut terjadi di hampir seluruh komponen permintaan dan lapangan usaha.
Kedua, pada konsumsi rumah tangga, terjadi pertumbuhan positif sebesar -3,61% (yoy) dari -4,05% (yoy) pada triwulan III. Ini terjadi seiring dengan perbaikan mobilitas masyarakat. Ketiga, pertumbuhan investasi juga membaik. Dari -6,48% (yoy) menjadi -6,15% (yoy) pada triwulan IV.
Keempat, ada pula tren positif di sisi lapangan usaha (LU), khususnya yang terkait dengan kesehatan dan aktivitas work from home dan school from home, seperti LU Informasi dan Komunikasi dan LU Jasa Kesehatan. Pun begitu dengan LU Pertanian, LU Pendidikan, LU Industri Pengolahan dan LU Perdagangan.
Menariknya, rilis Kemenkeu tampaknya menyibak persepsi pemerintah terkait bagaimana cara pemerintah menjaga tren pertumbuhan positif, yakni ditulisnya “perbaikan mobilitas masyarakat”.
Konteks ini kemungkinan menjadi jawaban atas perubahan kebijakan pemerintah baru-baru ini yang mengganti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali menjadi PPKM mikro. Pasalnya, dalam aturan yang baru terlihat pembatasan aktivitas “dicoba” untuk dilonggarkan. Misalnya dengan menambah jam operasional sampai pukul 21.00 dan menambah kapasitas kantor menjadi 50 persen.
Lalu, ada juga pernyataan Presiden Jokowi terkait evaluasi PPKM yang terang-terangan menyebutnya tidak efektif. Tegasnya, sebenarnya tidak masalah perekonomian turun karena PPKM apabila kasus Covid-19 dapat dikendalikan. Namun, PPKM justru membuat perekonomian turun dan kasus Covid-19 tetap menanjak naik.
Baca Juga: Mungkinkah PPKM Buat Jokowi Jera?
Dengan kata lain, ada kemungkinan pemerintah ingin membuat mobilitas masyarakat menjadi lebih longgar. Namun tentunya, hal itu tidak akan dilakukan secara gamblang karena akan memantik resistensi publik, melainkan dilakukan secara bertahap, sembari menekankan aturan pembatasan aktivitas tetap dilakukan.
Konteks itu mungkin saja menjadi jawaban atas pandangan positif Menperin Agus dan Menko Perekonomian Airlangga atas pertumbuhan ekonomi yang dapat mencapai 5 persen. Seperti yang diketahui, bagaimana mungkin pertumbuhan setinggi itu dapat terwujud apabila aktivitas masih serba dibatasi seperti saat ini.
Asumsi yang Mungkin?
Tentu di sini pertanyaannya, apakah pemerintah ingin menggadai keselamatan masyarakat? Terkait hal ini, tentu jawabannya tidak. Atas pertanyaan tersebut, terdapat dua asumsi yang sepertinya dapat menjawab bagaimana aktivitas dapat dilonggarkan secara bertahap di tengah situasi pandemi.
Pertama, ini mungkin mengacu pada rapat bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan pejabat tinggi se-Jawa Barat (Jabar) pada 11 Agustus 2020 lalu. Dengan bertolak dari studi yang dilakukan Goldman Sachs, Gubernur Jabar (Jabar) Ridwan Kamil (RK) menyatakan bahwa pihaknya tidak menerapkan lockdown, karena lockdown atau penggunaan masker sama-sama dapat menurunkan penularan Covid-19.
Terlebih lagi, penggunaan masker tidak memberikan dampak ekonomi seperti halnya penerapan lockdown. Saat itu, Presiden Jokowi terlihat mengafirmasi pernyataan RK dengan menyebutkan, “Seperti tadi disampaikan Pak Gub (RK), pilih lockdown atau pilih masker, pilih PSBB atau pilih masker. Kita pilih pakai masker.”
Studi yang menjadi acuan RK ini terbilang menarik. Pasalnya, Goldman Sachs adalah bank investasi multinasional yang berpusat di Amerika Serikat (AS). Dengan kata lain, selaku bank, atau tepatnya “pebisnis”, besar kemungkinan Goldman Sachs lebih memahami pandemi Covid-19 sebagai bencana ekonomi, daripada bencana kesehatan.
Dalam filsafat, khususnya epistemologi, persoalan tersebut dikenal sebagai problem of perception. Ini adalah benturan persepsi. Di satu sisi, mereka yang berorientasi pada bisnis atau ekonomi akan melihat pandemi sebagai bencana ekonomi, sementara tenaga atau pakar kesehatan akan melihatnya sebagai bencana kesehatan. Peliknya, benturan persepsi ini berdampak pada kebijakan praktis yang diambil pemerintah.
Baca Juga: Goldman Sachs, Acuan Jokowi Tangani Corona?
Selain problem of perception, ada pula kemungkinan pemerintah bertolak pada kasus pandemi Flu Spanyol. Pasalnya, pada 3 Juli 2020 lalu, profesor sekaligus ahli epidemiologi dari Universitas Oxford Sunetra Gupta, menyebutkan bahwa vaksin bukanlah syarat mutlak untuk mengakhiri pandemi Covid-19. Menurutnya, Covid-19 dapat berakhir alami, dan akan menjadi bagian dari kehidupan, seperti halnya flu “biasa” ataupun influenza.
Simpulan Gupta misalnya dapat kita lihat pada kasus pandemi Flu Spanyol pada tahun 1918. Menariknya, dengan berbagai kekurangan yang ada, seperti tengah terjadi Perang Dunia I ataupun tidak terdapat tes dan vaksin, Flu Spanyol dapat berakhir pada tahun 1920 atau setelah 2 tahun.
Namun, berakhirnya pandemi Flu Spanyol sebenarnya masih menjadi perdebatan karena kurangnya informasi terkait penyebaran virus di berbagai negara. Kendati demikian, Marta Rodriguez Martinez dalam tulisannya How did the Spanish flu pandemic end and what lessons can we learn from a century ago? menyebutkan para akademisi menemui kesepakatan bahwa pandemi berakhir karena terbentuknya kekebalan kolektif atau herd immunity.
Dengan kata lain, kemungkinan terdapat harapan, yang tentunya tidak mungkin diutarakan di depan publik, bahwa pandemi Covid-19 akan berakhir alami seperti kasus pandemi Flu Spanyol. Bertolak dari Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon dalam buku Introduction to Logic, simpulan semacam itu disebut dengan argument by analogy – disebut juga argument from analogy.
Argument from analogy (argumentasi analogis) adalah metode penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan cara membandingkan kasus saat ini dengan kasus yang (dinilai) mirip di masa lalu.
Akan tetapi, seperti dalam catatan Copi, Cohen, dan McMahon, argumentasi analogis memiliki masalah mendasar karena sulit menentukan apakah dua kasus yang sedang dibandingkan benar-benar sama atau tidak. Terkait hal ini, tulisan Mark Terry yang berjudul Compare: 1918 Spanish Influenza Pandemic Versus Covid-19 harus diperhitungkan serius.
Menurut Terry, setidaknya terdapat dua perbedaan mendasar antara kedua virus tersebut. Pertama, Covid-19 bukanlah influenza, melainkan lebih seperti pneumonia akut kronis. Kedua, Covid-19 tidak disebabkan oleh virus baru, melainkan oleh berbagai jenis virus dengan metode tindakan dan infeksi yang berbeda.
Baca Juga: Tanpa Vaksin, Corona Berakhir Alami?
Pada akhirnya, di luar apa pun asumsi yang mungkin ada, entah itu benturan persepsi atau problem of perception, maupun membandingkan dengan pandemi sebelumnya, yang jelas pemerintah tengah optimis dalam menatap kondisi ekonomi. Ini setidaknya terlihat dari pernyataan Menperin, Menko Perekonomian, ataupun rilis Kemenkeu.
Kita lihat saja, apakah pernyataan Menperin Agus dan Menko Perekonomian Airlangga, ataupun rilis Kemenkeu adalah isyarat bahwa pelonggaran aktivitas secara bertahap akan menjadi salah satu strategi pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi atau tidak. (R53)