Site icon PinterPolitik.com

Airin-Andika, Berebut Dinasti Atut?

andika airin

Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Jawa I DPP Partai Golkar Andika Hazrumy (kiri) bersama Ketua Umum Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) Airin Rachmi Diany (kanan). Keduanya merupakan trah Ratu Atut di Banten. (Foto: Republika)

Dua nama dari keluarga mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menjadi calon kuat yang akan maju pada Pilkada Banten 2024, yaitu Airin Rachmi Diany (adik ipar) dan Andika Hazrumy (anak). Meski Airin dan Andika tampil di dua level pilkada berbeda, dua nama tersebut seolah “berebut” kepantasan untuk menjadi penerus dinasti keluarga mereka di Banten nantinya. Lantas, apakah keduanya kelak akan benar-benar bersaing secara terbuka untuk meneruskan dinasti politik Atut? 


PinterPolitik.com 

Selain Pemilihan legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), tahun 2024 akan diselenggarakan juga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di berbagai daerah seluruh Indonesia. 

Salah satu daerah yang akan menggelar pilkada adalah Provinsi Banten, termasuk beberapa kabupaten/kota di bawahnya. 

Dari beberapa nama kandidat yang muncul, ada dua nama yang berasal dari keluarga mantan Gubernur Banten tahun 2005-2014, Ratu Atut Chosiyah. Mereka adalah Airin Rachmi Diany yang merupakan adik ipar Ratu Atut dan Andika Hazrumy yang merupakan anak kandung Ratu Atut. 

Masuknya kedua nama keluarga Ratu Atut itu sebagai calon kuat yang akan maju dalam Pilkada Banten, yakni Airin sebagai calon gubernur (cagub) dan Andika sebagai calon bupati (cabup) Serang seakan menegaskan bahwa dinasti politik keluarga tersebut masih kuat pengaruhnya dalam Provinsi Banten. 

Keduanya juga seakan memperebutkan siapa yang pantas untuk melanjutkan dinasti politik keluarga mereka di Banten kelak. 

Seperti yang diketahui, keluarga Ratu Atut merupakan salah satu keluarga yang berpengaruh dalam lingkungan pemerintahan dan politik tanah Banten. 

Beberapa kerabat Ratu Atut pun menjabat berbagai jabatan penting dalam lingkungan pemerintahan maupun birokrasi di lingkup Provinsi Banten. 

Dimulai dengan suaminya mendiang Hikmat Tomet yang menjadi anggota DPR RI tahun 2009-2013, kemudian ada dua adiknya Tb. Chaeri Wardana (Wawan) menjadi ketua Kadin Banten pada tahun 2012 dan Ratu Tatu menjadi Bupati Serang sejak tahun 2016. 

Kemudian istri Andika sendiri Adde Rosi Khoerunnisa anggota DPR RI (2019-2024), anak kedua Ratu Atut, yakni Andhiara Aprilia Hikmat anggota DPD RI (2014-Sekarang) dan suaminya Tanto Warsono Arban yang menjabat sebagai Wakil Bupati Pandeglang (2016-sekarang). 

Terakhir, ada Pilar Saga Ichsan anak dari Ratu Tatu yang menjadi suksesor bibinya Airin Rachmi Diany di jabatan eksekutif Kota Tangerang Selatan (Tangsel) sebagai Wakil Wali Kota. 

Pencalonan kandidat Pilkada 2024 sendiri masih menunggu hasil suara atau kursi DPRD yang diperoleh partai politik (parpol) pada Pileg nanti. 

Secara teknis, dalam Pilkada Banten 2024, dibutuhkan minimal 17 kursi untuk parpol atau gabungan parpol agar dapat mencalonkan kandidat yang akan mereka usung. 

Angka itu kiranya bukan hal yang terlampau sulit bagi trah Atut untuk dikonsolidasikan mengingat masih kuatnya pengaruh mereka dalam konstelasi politik Banten. 

Lalu, pertanyaan pertama tentu mengemuka, yakni mengapa keluarga Ratu Atut masih memegang pengaruh yang kuat dalam peta politik di Banten? Dan mungkinkah kelak Airin dan Andika justru akan bersaing secara terbuka untuk menjadi sosok paling pantas meneruskan trah Atut? 

Kuatnya Politik Transaksional Banten? 

Sejak awal terbentuknya, Provinsi Banten tidak bisa dilepaskan dari peran local strongmen atau jawara dan politik kekerabatan. Local strongmen tersebut kemudian membentuk organisasi bernama Satuan Karya (Satkar) Jawara pada tahun 1971 yang dipimpin oleh Tb. Chasan Sochib. 

Sejak saat itu, Tb. Chasan Sochib mulai melibatkan diri dalam politik dan tampil dominan dalam pembentukan Provinsi Banten. 

Karena perannya yang besar, Tb. Chasan Sochib kemudian menempatkan anaknya Ratu Atut Chosiyah sebagai wakil gubernur pada pemilihan tahun 2001 yang kemudian kelak menjadi Gubernur Banten pada tahun 2005 setelah gubernur saat itu tersandung kasus korupsi. 

Proses konsolidasi politik kekerabatan di Banten kemudian berlangsung ketika kerabat Ratut Atut masuk dalam politik. 

Hal itu dilakukan Ratu Atut tampaknya demi menjaga keistimewaan politik keluarganya yang bermula dari sang ayah Tb. Chasan Sochib di mana tidak semua orang memiliki itu. 

Adela Garzon dalam publikasinya yang berjudul Familism menjelaskan terbentuknya suatu dinasti politik dalam bentuk familisme biasanya didasarkan pada klan untuk menjaga keistimewaan politik yang telah didapat. 

Dengan keistimewaan politik berkat peran sang ayah, serta didukung dengan konsolidasi politik kekerabatan yang dilakukan Ratu Atut, maka tak heran kiranya jika sampai saat ini keluarganya masih cukup berpengaruh dalam peta politik Banten. 

Selain faktor kekerabatan, dinasti politik keluarga Ratu Atut di Banten jamak dinilai juga terjadi karena faktor clientelism. 

Luis Fernando Medina dan Susan Stokes dalam tulisannya berjudul Clientelism as Political Monopoly menjelaskan clientelism adalah aktor politik hanya menawarkan manfaat yang konkrit kepada pemilih jelang pemilhan umum (pemilu) dibandingkan programatik yang akan terwujud setelah pemilihan. 

Dengan adanya clientelism pemilih tidak memilih berdasarkan program yang ditawarkan seorang kandidat melainkan memilih berdasarkan apa yang dia dapatkan saat menjelang pemilihan. 

Hal ini kemudian membentuk sebuah monopoli politik. Istilah monopoli yang biasanya terkait persaingan dalam bidang ekonomi, bisa juga terjadi dalam politik. 

Monopoli ekonomi membuat konsumen menandatangani kesepakatan eksklusif dan konsumen takut untuk beralih ke pesaing karena akan ada risiko tertentu. 

Tak berbeda jauh, monopoli politik akan membuat pemilih secara tidak langsung terikat pada satu kandidat dan membuat pemilih takut untuk beralih pada kandidat lain karena merasa akan ada risiko yang akan diambil. 

Dalam konteks yang terjadi di Banten, dinasti politik yang dibangun oleh Ratu Atut dan keluarganya kiranya memanfaatkan clientelism yang kemudian menjadi sebuah monopoli politik. 

Dinasti politik Atut seolah begitu “cerdik” melihat fakta masyarakat Banten yang tampaknya masih cenderung “konservatif” dalam konteks sosio-politik-kultural hingga menyebabkan terjadinya “kemandulan” demokrasi. Dengan begitu, peta politik di Provinsi Banten menjadi sebuah monopoli politik keluarga Atut di Banten. 

Monopoli keluarga Atut kiranya juga disebabkan masyarakat Banten yang seolah takut untuk memilih kandidat di luar keluarga Atut yang menawarkan hal baru karena dianggap adanya risiko ketidakpastian yang bisa berujung pada sebuah kerugian. 

Dengan banyaknya anggota keluarga yang menempati berbagai jabatan publik seloah membuat masyarakat merasa keluarga ini sudah berpengalaman dan terpercaya dalam mengelola pemerintahan. 

Padahal, masyarakat kiranya perlu menyadari dalam berpolitik harus memilih siapa yang dapat menguntungkan dan bisa mengakomodir kepentingan mereka. 

Lantas, kembali ke pertanyaan sebelumnya dan dengan kecenderungan seperti itu, mungkinkah Airin dan Andika benar-benar bersaing nantinya untuk menjadi ikon suksesor Atut di Banten? 

Bersaing Secara “Sehat”? 

Persaingan antar anggota keluarga atau kerabat sangat lumrah terjadi. Satu sama lain akan memperebutkan siapa yang terbaik dan pantas membanggakan keluarga. 

Hal itu kiranya juga terjadi pada keluarga mantan Gubernur Banten Ratu Atut. Airin dan Andika bersaing untuk menjadi ikon politik baru dalam Pilkada Banten 2024. 

Keduanya juga sudah berpengalaman dalam politik nasional. Airin pernah menjadi Wali Kota Tangsel dua periode, serta Andika pernah menjadi anggota DPD RI dan Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022. 

Dengan pengalaman keduanya, rasanya memang sudah waktunya bagi kedua aktor tersebut untuk naik kelas dalam perpolitikan Banten. 

Persaingan adalah salah satu bentuk konflik, frasa konflik sendiri tidak selalu mengandung konotasi negatif. Lewis Coser dalam bukunya yang berjudul The Functions of Social Conflict menjelaskan bahwa konflik merupakan sebuah sistem sosial yang bersifat fungsional. 

Coser menambahkan konflik yang tejadi dalam masyarakat tidak hanya menunjukkan fungsi negatif saja, tetapi dapat juga menimbulkan dampak positif. 

Apa yang terjadi di antara Airin dan Andika tampaknya justru akan memantik konflik yang positif. Terlepas dari impresi minor dinasti politik selama ini, keduanya seolah menunjukkan kepada publik bahwa anggota keluarga mereka mempunyai kandidat-kandidat yang potensial untuk memimpin Banten. 

Dengan segala pengalaman yang mereka punya seakan turut menegaskan trah Atut tidak hanya mengandalkan nama besar Ratu Atut yang juga mantan Gubernur Banten. 

Namun, karena keduanya berasal dari parpol yang sama, yaitu Partai Golkar. Suatu saat, mereka agaknya harus bergantung pada keputusan partai yang akan memilih sosok terbaik diantara mereka untuk menjadi ikon Banten penerus Ratu Atut. 

Kini, Airin tampak lebih di atas angin mengingat kabar teranyar yang berhembus dari para elite Partai Golkar menegaskan dirinya lah yang akan diplot sebagai kandidat Banten 1. 

Akan tetapi, meski Andika justru turun kelas sebagai cabup Serang, kompromi tertentu kiranya telah dicapai mengingat Andika masih memiliki usia yang lebih muda. 

Selain itu, menempatkan Andika di Kabupaten Serang juga kiranya menjadi jalan tengah untuk tetap menguasai wilayah itu dikarenakan bupati petahana saat ini tak lain adalah bibi Andika sendiri, yakni Ratu Tatu Chasanah. 

Namun, di atas semua karakteristik politik itu, mengutamakan kesejahteraan masyarakat Banten kiranya tetap harus menjadi prioritas siapa pun elite yang akan berkuasa nantinya. (S83) 

Exit mobile version