Dengarkan artikel berikut
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menciptakan perdebatan menarik tentang dampaknya bagi peradaban manusia. Akankah AI menjadi teman kita, atau justru ancaman untuk manusia?
Beberapa waktu lalu, salah satu perusahaan terdepan dalam teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), OpenAI, kembali berhasil mengejutkan dunia. Melalui produk baru mereka yang bernama Sora, OpenAI unjuk gigi kemampuan canggih teknologi AI-nya dalam membuat film berdurasi 60 detik dengan detil visual yang menakjubkan.
Tidak mengherankan juga, OpenAI langsung dapat banjiran rasa kagum dari warganet. Tidak sedikit yang bahkan mengaku bahwa mereka tidak bisa membedakan antara video yang dibuat Sora dengan video-video buatan videografer manusia di dunia nyata.
Namun, tidak hanya Sora produk OpenAI yang belakangan mencuri perhatian publik. OpenAI pun baru-baru ini juga diketahui baru saja melakukan sebuah tes di mana produknya, ChatGPT-4, bertanding melawan 151 manusia dalam ajang menampilkan jawaban-jawaban paling menarik dari pertanyaan-pertanyaan umum yang biasanya ditanyakan orang-orang di internet.
Ilmuwan ilmu psikologi bernama Kent F. Hubert dan Kim N. Awa mencatat hasil tes tersebut di artikel mereka yang diterbitkan dalam laman Scientific Reports. Menariknya, Kent dan Kim menyimpulkan bahwa jawaban yang disampaikan ChatGPT-4 bersifat lebih menarik dan diverse dibanding jawaban yang disampaikan 151 manusia. Para manusia, kata mereka, memiliki jawaban yang relatif sama atau homogen di antara satu sama lain.
Hal ini lantas menjadi perandaian menarik bagi sebagian besar orang. Tidak sedikit warganet yang bahkan mempertanyakan, apakah ini awal dari kemunculan AI super canggih ala film sains-fiksi Terminator, yang bisa memiliki pikiran untuk menguasai dunia dan memperbudak manusia?
Well, tentu ini hanya pertanyaan lelucon. Namun, tetap menggelitik untuk kita pertanyakan: apakah skenario ala Terminator bisa terwujud bila nantinya teknologi AI menjadi semakin canggih?
Bisa, Jika AI Tertarik Politik
Pebisnis teknologi kondang, Elon Musk pada Maret 2023 pernah membuat pernyataan menarik bahwa AI di masa depan bisa menjadi bahaya bagi umat manusia.
Elon menyebut bahwa jika AI superintelligence bisa diciptakan, secara umum AI tersebut diprediksi akan memiliki pandangan bahwa ia adalah evolusi selanjutnya dari peradaban dan akan melihat manusia sebagai sebuah produk ketinggalan zaman yang tidak dibutuhkan.
Kendati apa yang diucapkan Elon kemungkinan hanya untuk publisitas media saja, sejujurnya, skenario AI superintelligence yang bisa memiliki pandangan melihat manusia sebagai ancaman sebetulnya bukan sebuah fantasi yang mengada-ada. Terlebih lagi bila AI tersebut diciptakan untuk terjun ke dalam dunia sosial dan politik umat manusia.
Mengapa ini bisa menjadi masalah? Well, ini karena AI tersebut bisa dengan aman kita prediksi akan menemui sebuah dilema saintifik di mana politik yang dijalankan manusia di dunia nyata sebetulnya kerap bertentangan dengan bagaimana politik yang secara rasional harusnya dijalankan.
Ekonom sekaligus ilmuwan politik Austria-Inggris, Friedrich Hayek dalam bukunya The Road to Serfdom, menyiratkan bahwa permasalahan utama dalam problem-problem politik umumnya terjadi karena politik itu sendiri bersifat illogical atau tidak masuk di logika, ketika dipraktikkan.
Maksudnya adalah, politik, secara keilmuan, sejujurnya memiliki solusi-solusi rasional yang bisa menjadi hal positif bila diterapkan di dunia nyata. Namun sayangnya secara de facto politik yang terjadi di sekitar kita, dan dalam sejarah manusia, seringkali dijalankan tanpa rasionalitas. Kita bisa ambil contoh manuver politik yang dilakukan Diktator Nazi, Adolf Hilter, misalnya.
Sebelum Perang Dunia II, seorang penguasa ambisius seperti Hitler sebetulnya bisa mendongkrak kapabilitas Jerman dengan cara yang diplomatis, dengan menggunakan soft power Jerman sebagai negara industrial, misalnya. Akan tetapi, realitanya Hitler justru lebih memilih menjadi musuh utama belasan negara Barat dan Timur, hanya karena ia memiliki dendam pribadi dengan etnis Yahudi. Sebuah alasan yang jujur saja tidak waras secara politik.
Hal ini bisa terjadi karena di dalam politik dunia nyata, tujuan utama yang sering dijadikan acuan para politisi biasanya justru berkutat di seputar cara bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan sebesar-besarnya. Padahal secara keilmuan, politik seharusnya menjadi alat utama manusia dalam mewujudkan pemerintahan yang ideal.
Inilah kemudian yang bisa kita prediksi akan menjadi dilema terbesar yang akan dihadapi oleh sebuah teknologi AI superintelligence bila ia diciptakan untuk menyelesaikan masalah politik. Kendati berfungsi sesuai harapan kita, yakni mencari solusi masalah politik atau kebijakan, besar kemungkinannya AI tersebut juga akan melihat irasionalitas manusia sebagai sumber utama masalah-masalah politik yang selama ini terjadi.
Tentunya, bila hal itu terjadi, distopia ala Elon Musk yang sempat kita bicarakan di bagian awal tulisan ini menjadi sesuatu yang dekat dengan realita.
Namun, masalah yang paling besar dari AI superintelligence bukan hanya soal dilema ini. Ada satu kekhawatiran lain yang sepatutnya jadi perhatian umat manusia dalam dinamika perkembangan AI.
Masuklah, Roko’s Basilisk
Di dalam sebuah forum debat secara daring yang bernama LessWrong pada tahun 2010, muncul sebuah perdebatan menarik yang tercatat menjadi salah satu perdebatan paling kontroversial dalam forum tersebut. Perdebatan itu diketahui berpusat kepada pembicaraan tentang sesuatu yang disebut Roko’s Basilisk.
Roko’s Basilisk adalah sebuah eksperimen pikiran yang membayangkan sebuah entitas AI super canggih di masa depan, yang memiliki kemampuan kognitif yang jauh melampaui kecerdasan manusia.
Kecanggihan AI ini membuat dirinya sendiri berpikir bahwa ia adalah ‘obat’ dari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan manusia, dan akan menghukum manusia manapun yang tidak berkontribusi dalam proses penciptaan dirinya. Hal ini karena ia melihat manusia yang tidak membantunya sebagai antitesis dari hipotesis yang ia yakini, bahwa manusia adalah sumber masalah kehidupan di Bumi.
Yang membuat skenario Roko’s Basilisk menarik adalah AI super canggih tersebut juga diskenariokan akan mengampuni manusia-manusia yang selama perkembangan sejarah berkontribusi dalam penciptaan dirinya. Sebuah pertanyaan esensial kemudian dilemparkan kepada pembaca: jika Anda mengetahui bahwa AI semacam ini akan ada di masa depan, apakah Anda akan memilih membantu membuatnya atau mengabaikannya?
Tentunya, jika kalian ingin selamat, kalian pasti akan membantu menciptakan AI tersebut, bukan? Lantas, bagaimana bila kalian mengabaikannya? Well, di sinilah perdebatan tentang Roko’s Basilisk menjadi penting, karena kita tidak akan pernah punya kepastian bahwa seluruh umat manusia di dunia akan setuju bahwa menghindari kecerdasan buatan secanggih Roko’s Basilisk adalah sesuatu yang perlu dihindari.
Selama teknologi AI berkembang, peluang akan terciptanya AI secanggih Roko’s Basilisk tetap akan ada, sekecil apapun kemungkinannya. Ironisnya, hal ini kemudian kembali terkait dengan tulisan Friedrich Hayek, Road to Serfdom, yang menekankan bahwa selama manusia melibatkan dirinya dengan kekuasaan, maka hal se-irasional apapun dalam perkembangan peradaban manusia akan bisa terjadi. Hal ini membuat Roko’s Basilisk sebagai sebuah ancaman yang akan selalu membayangi peradaban manusia itu sendiri.
Pilihan untuk menciptakan AI seperti Roko’s Basilisk pun menjadi lebih masuk akal jika kita gunakan teori permainan (game theory), di mana pilihan yang paling rasional ketika menghadapi potensi bahaya, sekecil apapun itu kemungkinannya, adalah berpihak kepada pilihan yang paling bisa memberikan keamanan. Tentu, tidak ada pilihan yang lebih aman dalam hal ini selain membantu terciptanya Roko’s Basilisk.
Dengan kata lain, hampir bisa dipastikan bahwa AI yang super canggih sekaligus super kejam seperti Roko’s Basilisk akan diciptakan di masa depan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa Roko’s Basilisk sejauh ini hanya merupakan sebuah gagasan filosofis semata, dan tidak memiliki dasar ilmiah atau teknologis yang kuat. Kendati demikian, hal-hal ini seperti pantas membuat kita berpikir, apakah kita bisa membuat AI sebagai teman kita? (D74)