Berbagai spekulasi mencuat selepas Kemenkumham menolak kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko. Pasalnya, tidak berselang lama, kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan terbuka menerima Moeldoko jika ingin bergabung. Pun begitu di sisi lainnya, kubu Moeldoko juga berencana mendukung AHY maju di Pilgub DKI Jakarta. Mungkinkah terdapat “pengondisian” dualisme yang terjadi sebelumnya?
“Do not think you command your way through like a Roman emperor.” – Rolf Dobelli, dalam buku The Art of Thinking Clearly
Sebelumnya, berbagai pihak menduga sangat mungkin kubu Moeldoko akan mendapat Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Dugaan itu umumnya bertolak atas dua asumsi. Pertama, posisi Moeldoko sebagai orang Istana. Kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut memberikan “izin” kepada Moeldoko.
Tidak heran kemudian, sejak Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengumumkan terdapat usaha kudeta yang didalangi oleh Moeldoko, narasi bahwa Partai Demokrat tengah dipincangi agar tidak siap maju di 2024 menjadi asumsi yang cukup masuk akal.
Terlebih lagi, di era Orde Baru, praktik mengebiri partai politik dan oposisi lumrah dilakukan. Stefan Eklöf dalam tulisannya Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia, misalnya, menyebut Ali Moertopo menggunakan strategi emasculation atau pengebirian dengan menggunakan taktik persuasi, intimidasi, memanipulasi intrik dan konflik, hingga penyuapan terhadap berbagai aktivitas para aktor politik.
Ada pula praktik penyederhanaan partai yang disebut-sebut untuk mengamankan posisi Partai Golkar sebagai kendaraan politik Soeharto. Seperti yang diketahui, puluhan partai yang ada difusikan menjadi tiga partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berisikan eks partai-partai Islam, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang terdiri dari partai nasionalis, dan Golongan Karya (Golkar).
Saat itu, berbagai pihak juga menilai eksistensi PPP dan PDI hanya sebagai pelengkap dan berperan semu dalam demokrasi Indonesia.
Baca Juga: Benarkah Moeldoko Titisan Moertopo?
Mengacu pada besarnya koalisi di periode kedua pemerintahan Jokowi, bahkan disebut terbesar sejak reformasi, tidak heran kemudian dugaan Partai Demokrat ingin ditarik ke koalisi melalui Kongres Luar Biasa (KLB) mencuat ke tengah publik.
Terlebih lagi, AHY juga melakukan safari politik, seperti mengunjungi Jusuf Kalla (JK), di mana ini disebut-sebut sebagai upaya untuk menggalang dukungan. Ini jelas mudah dibaca sebagai bentuk “ketakutan”.
Akan tetapi, segala dugaan, asumsi, dan prasangka tersebut agaknya buyar. Kemenkumham yang saat ini dipimpin Yasonna Hamonangan Laoly menolak kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko. Itu sekaligus membantah dugaan ada dukungan Istana di balik KLB.
Yang lebih menarik lagi, terdapat gestur unik dari kedua belah pihak. Betapa tidak, kubu AHY dengan lapang dada menerima Moeldoko jika ingin bergabung ke Partai Demokrat. Sementara, kubu Moeldoko berencana mendukung AHY jika maju di Pilgub DKI Jakarta. Ini diungkapkan oleh juru bicara kubu Moeldoko, Muhammad Rahmad pada Minggu, 4 April.
Lantas, intrik politik apa yang sekiranya dapat dimaknai dari upaya kudeta Partai Demokrat ini?
Sham Sacrifice?
Sebelum Kemenkumham menjatuhkan putusan, mudah memahami bahwa Moeldoko tengah menerapkan nasihat perang Sun Tzu dalam upayanya merebut kepemimpinan AHY.
Mengutip Andri Wang dalam bukunya The Art of War: Menelusuri Strategi dan Taktik Perang ala Sun Zi, dalam bab “Berperang”, Sun Tzu menulis, “Jadi, jenderal dan komandan lapangan yang berbakat harus mampu mengambil persediaan pangan dan makanan kuda yang bersumber dari negara musuh setempat.”
Dengan masuknya kader senior dan berpengaruh Partai Demokrat, seperti Marzuki Alie, Jhoni Allen Marbun, dan Max Sopacua, Moeldoko jelas tengah menerapkan nasihat tersebut, yakni menambah kekuatan pasukan dengan mengambil logistik musuh.
Namun, apabila kita melihat situasi saat ini dan membaca nasihat-nasihat Sun Tzu dalam bab “9 Jenis Medan Perang”, hipotesis dalam tulisan PinterPolitik.com sebelumnya, SBY Justru Manfaatkan Kudeta Demokrat?, tampaknya lebih tepat digunakan.
Hipotesis tulisan tersebut adalah, kubu AHY, khususnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat tengah memanfaatkan kudeta yang dilakukan Moeldoko untuk menyisir kader yang tidak loyal terhadap kepemimpinan AHY, serta memperkuat konsolidasi internal.
Ini sejalan dengan nasihat Sun Tzu berikut, “Prajurit yang kuat dan yang lemah bisa berprestasi bersama tergantung medan perang yang tepat. Jadi, orang yang pandai berperang bisa membuat seluruh komandan lapangan dan prajurit bahu-membahu untuk merapatkan barisan seperti satu manusia yang utuh. Gejala penyatuan ini baru bisa terjadi bila situasi medan perang dalam keadaan yang sedang krisis dan gawat. Situasi seperti itu telah memaksa mereka untuk mau tidak mau harus bersatu mempertahankan diri daripada dihabisi musuh.”
Baca Juga: Di Balik Puan-Moeldoko vs JK-AHY
Seperti yang kita ketahui, selepas AHY mengumumkan adanya usaha kudeta dari Moeldoko, situasi Partai Demokrat jamak diberitakan tengah genting. Ada upaya pengebirian, menggembosi, hingga mencegah jalan partai mercedes maju di 2024. Seperti penjelasan Sun Tzu, situasi krisis seperti itu dapat membentuk persepsi bahwa persatuan sangat dibutuhkan.
Menariknya, tidak hanya dari internal partai, masyarakat luas juga terlihat berada di barisan AHY. Dengan status Moeldoko sebagai pejabat Istana, jamak dinilai AHY adalah korban yang harus didukung dan dibela. Ini jelas sangat positif bagi elektabilitas AHY, serta menjadikan namanya dan Partai Demokrat sebagai top of mind publik dalam beberapa bulan terakhir.
Jika benar kubu AHY telah memanfaatkan usaha kudeta Moeldoko untuk memeroleh keuntungan-keuntugan politik tersebut, besar kemungkinan strategi sham sacrifice telah dilakukan. Ini adalah salah satu strategi dalam permainan catur.
Rudolf Spielmann dalam bukunya The Art of Sacrifice in Chess mendefinisikan sham sacrifice sebagai pengorbanan bidak dalam waktu tertentu, di mana nantinya pengorbanan tersebut menghasilkan keuntungan materil (memakan bidak musuh) yang setara atau lebih besar. Ini berbeda dengan real sacrifice, di mana pengorbanan yang dilakukan tidak mendapatkan kembali keuntungan materil.
Illusion of Control?
Nah, jika benar kubu AHY telah melakukan sham sacrifice atau sengaja membiarkan Moeldoko melakukan kudeta atau membuat KLB untuk mendapatkan keuntungan politik, dengan status Moeldoko sebagai mantan Panglima TNI, mengapa sosok berprestasi dan cerdas ini bisa terperangkap?
Konsep illusion of control (ilusi kontrol) dalam buku The Art of Thinking Clearly karya Rolf Dobelli mungkin dapat menjawab pertanyaan tersebut. Menurut Dobelli, ilusi kontrol adalah tendensi psikologis ketika seseorang percaya dapat memengaruhi atau mengontrol sesuatu yang sebenarnya tidak dapat dilakukannya.
Jika Dobelli menggunakan istilah tendensi, Ellen J. Langer dalam tulisannya Illusion of Control menggunakan istilah ekspektasi. Menurut Langer, ini adalah fenomena ketika seseorang terlalu tinggi menaksir probabilitas kesuksesannya melampaui probabilitas objektif yang ada.
Nah, jika ilusi kontrol adalah faktor yang membuat Moeldoko terjebak dalam sham sacrifice, ini menjadi jawaban mengapa Kepala Staf Kepresidenan (KSP) tersebut tetap menerima pinangan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, meskipun dalam AD/ART partai, syarat melakukan KLB harus atas persetujuan Ketua Majelis Tinggi, yakni SBY.
Singkatnya, dengan penegasan pemerintah, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD bahwa pemerintah menggunakan AD/ART tahun 2020, itu jelas menunjukkan Moeldoko telah mengabaikan probabilitas objektif.
Baca Juga: Moeldoko adalah Dalang atau Hanya Wayang?
Dengan adanya desas-desus adanya izin Istana, ataupun akan mendapatkan dukungan dari parpol besar, seperti PDIP yang disebut-sebut hubungannya kurang harmonis dengan Partai Demokrat, mungkin yang membuat Moeldoko menjadi terlalu tinggi menaksir probabilitas kesuksesannya. Alhasil, mantan politisi Partai Hanura ini menilai dapat mengontrol situasi.
Seperti dalam kutipan pernyataan Dobelli di awal tulisan, sangat tidak bijak apabila kita berpikir dapat berlaku seperti Kaisar Romawi.
Well, pada akhirnya tulisan ini hanyalah analisis teoretis semata. Apa pun yang terjadi di balik usaha kudeta Partai Demokrat, yang jelas Kemenkumham telah menolak memberikan SK. Kita nantikan saja kelanjutan perkembangannya. (R53)