Site icon PinterPolitik.com

AHY Jadi Akhir Dendam Megawati?

AHY Cari Tandem Selain Anies?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). (Foto: Detik)

Peringatan Peristiwa Kudatuli tahun ini sepertinya jadi peringatan yang paling spesial, khususnya terkait hubungan antara PDIP dan Partai Demokrat. Mengapa Demikian?


PinterPolitik.com

Demokrasi. Kata yang satu ini sepertinya mampu memancing ribuan perdebatan yang sengit di antara masyarakat. 

Walaupun kerap dijelaskan sebagai pemerintahan yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat dan setelah diterapkan selama ribuan tahun, peradaban manusia masih kesulitan mencari bentuk demokrasi yang paling ideal. 

Tidak jarang negara yang paling berjargon demokrasi pun masih terus belajar untuk menjadi makin demokratis, sekalipun dalam perjalanannya masih sering terjadi pembungkaman, kekerasan, dan pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi lainnya. 

Indonesia khususnya, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar, memiliki catatan peristiwa kerusuhan yang menjadi bagian dari lembar perjalanan dan perjuangan demokrasi. Contoh menariknya adalah kasus tragedi Kerusuhan 27 Juli 1996, atau yang lebih dikenal sebagai Peristiwa Kudatuli.

Peristiwa ini mungkin sangat dikenang oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bagaimana tidak, kala itu kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai yang kala itu masih bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tersebut diserang oleh kubu PDI lain, spesifiknya oleh para kelompok yang berkontra dengan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI hasil Kongres Surabaya 1993. Bertujuan menggulingkan Mega, kerusuhan tersebut menewaskan lima orang dan melukai ratusan di antaranya.

Menariknya, Peristiwa Kudatuli ini kerap dianggap sebagai katalis atau benih yang menyebabkan adanya “dendam politik” antara Mega dan Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ini karena SBY, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) Jaya, sempat dituduh sebagai salah satu petinggi militer yang terlibat dalam penggodokan peristiwa berdarah tersebut. 

Namun, tahun 2023 ini tampaknya bakal jadi tahun yang sangat menarik terhadap dinamika hubungan Mega-SBY pasca Peristiwa Kudatuli karena hubungan politik anak-anak mereka, yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Puan Maharani, tampak menunjukkan kedekatan yang sudah bertahun-tahun tidak terjadi antara para orang tuanya.

Hal ini kemudian pantas membuat kita bertanya, mungkinkah AHY dan Puan menjadi akhir dari “dendam kesumat” Peristiwa Kudatuli?

Kudatuli, Martir Mega vs SBY?

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki sebuah keunikan di mana mereka mampu melandaskan segala aktivitas kehidupannya selama puluhan tahun pada sebuah dendam.

Michael McCullough, seorang profesor ilmu psikologi evolusioner, menilai bahwa manusia memiliki tendensi untuk menjadikan sebuah peristiwa di masa lampau, khususnya yang mampu menciptakan rasa amarah, sebagai mekanisme untuk menjaga tujuan hidupnya dan juga menjaga ketertiban komunitasnya. 

Terkhusus persoalan dendam, ia menilai bahwa dendam selalu memiliki kekuatan terkuat dibanding emosi lain untuk menjadi motivasi seseorang dalam mencapai sebuah achievement yang besar.

Kembali pada konteks Peristiwa Kudatuli, meskipun sebenarnya keterlibatan SBY dalam peristiwa tersebut masih tidak bisa terbukti bahkan hingga saat ini, beberapa pihak menduga kerenggangan hubungan antara dirinya dan Mega salah satunya disebabkan oleh tragedi berdarah tersebut. Apalagi pasca Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mempublikasikan laporan akhir atas investigasi terhadap peristiwa itu pada tahun 2003.

Saat itu, kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58, Jakarta Pusat, yang diduduki oleh Mega, diserbu oleh massa pendukung Soerjadi, Ketum PDI versi Medan, yang dibantu oleh Polisi dan TNI. Mega sebetulnya memang telah menjadi pimpinan PDI yang sah pasca Kongres Surabaya pada 1993, akan tetapi sosoknya diketahui tidak disukai Soeharto, yang kemudian diduga mendorong Soerjadi untuk menantang Mega.

Laporan Komnas HAM menyebutkan terjadi pelanggaran HAM yang cukup besar pada aksi tersebut. Beberapa petinggi militer dianggap bertanggungjawab terhadap kerusuhan itu. Dan menariknya, nama SBY turut terseret.

Menurut laporan dari Majalah Tempo pada Juli 2004 dengan judul “Selimut Politik Sabtu Kelabu”, ada pertemuan pada tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen SBY. Turut hadir dalam rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar.

Dalam rapat tersebut, SBY dituduh memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya. Kasdam Jaya juga diduga menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya untuk melakukan penyerbuan. Bahkan pasukan tersebut menyerbu dengan menyamar seolah-olah sebagai massa PDI pendukung Soerjadi.

SBY sendiri tentu tidak menerima dirinya dikaitkan sebagai “perpetrator” Peristiwa Kudatuli. Kendati demikian, dengan seringnya nama SBY dikaitkan dengan Peristiwa Kudatuli oleh beberapa kader PDIP, sepertinya cukup jelas bahwa dendam yang dirasakan kubu Mega, dari sebelum dan setelah SBY mengklarifikasi, masih tetap membekas di hati para loyalis Mega.

Kalau kita berpegangan pada pandangan McCullough, tidak heran bila dendam tersebut menjadikan SBY dan Mega sebagai rival abadi. Akan tetapi, menariknya dinamika politik terbaru justru memperlihatkan sebaliknya. Tentunya, kita berbicara tentang kedekatan AHY dan Puan yang beberapa waktu terakhir tidak ragu menunjukkannya pada media. Apalagi, nama AHY kini masuk jadi salah satu bakal cawapres untuk mendampingi capres yang diusung oleh PDIP, Ganjar Pranowo. 

Pertanyaannya, kenapa AHY dan Puan justru tiba-tiba menunjukkan sikap yang berbeda dengan apa yang dilakukan para orang tuanya di masa lampau?

Prisoner’s Dilemma SBY-Mega?

Politik adalah dunia yang penuh dengan kekhawatiran dan perhitungan kalkulatis. Tentunya, ini juga berlaku pada bagaimana partai politik (parpol) dan politisi besar membentuk koalisi antara satu sama lain. 

Berkaitan dengan itu, ada satu teori dalam studi Hubungan Internasional yang kerap dijadikan dasar perhitungan matematis para politisi. Teori tersebut adalah Prisoner’s Dilemma atau Dilema Tahanan.

Mengibaratkan interaksi dua politisi layaknya dua tahanan penjara, Robert Axelrod dalam bukunya yang berjudul The Evolution of Cooperation, membahas bagaimana Dilema Tahanan dapat membuat politisi yang berkonflik sekalipun menciptakan kerjasama di tengah situasi yang menuntut mereka menjaga eksistensi diri.

Agar dapat dipahami, kita bisa melihat ilustrasi berikut:

  1. Jika kedua narapidana tetap diam (bekerja sama), mereka masing-masing akan menjalani hukuman singkat dengan tuntutan yang lebih ringan (misalnya satu tahun penjara).
  2. Jika satu narapidana tetap diam (bekerja sama) sementara yang lain mengkhianati (membelot) dengan menyebut narapidana yang satu terlibat dalam kejahatan besar, narapidana yang bekerja sama akan menjalani hukuman yang lama, dan narapidana yang mengkhianatinya akan bebas.
  3. Jika kedua narapidana mengkhianati (membelot), mereka masing-masing akan menjalani hukuman yang mungkin tidak terlalu lama, tapi tidak singkat (misalnya Lima tahun).

Nah, jika kalian terjebak dalam skenario tersebut, mana kira-kira skenario yang akan diambil? Tentunya, jawaban yang paling ideal adalah untuk sama-sama diam (bekerja sama), bukan? Tapi, kendati demikian, ada satu masalah lain yang perlu dimasukkan sebagai variabel, yakni resolusi dilema tersebut hanya akan bisa terjadi bila kedua pihak sama-sama merasa terancam.

Ini tentu saja terjadi di antara Mega dan SBY karena keduanya saat ini sepertinya sama-sama sedang ada dalam tekanan cukup besar. Pertama, Mega, Puan, dan PDIP sekarang berada dalam taruhan besar menjaga hattrick kekuasaan. Siapapun yang menjadi pemenang 2024 nanti akan memiliki pilihan untuk menjaga PDIP atau justru menjatuhkannya.

Kedua, SBY, AHY, dan Partai Demokrat sudah terlalu lama berada di luar lingkar kekuasaan. Rasa-rasanya, bila mereka mempertaruhkan segalanya di 2024 nanti pada kesempatan untuk kembali tidak dilibatkan dalam pemerintahan, harga diri kubu yang pernah menjadi “pemenang” politik selama dua periode berturut-turut akan sangat tersakiti. Masa depan Demokrat sebagai parpol pun akan ikut terancam. 

Oleh karena itu, kembali pada asumsi bahwa AHY dan Puan bakal mengakhiri “kutukan dendam” Kudatuli, sebetulnya hal itu sangat mungkin terjadi pada 2024 nanti. Dengan demikian, tidak salah jika Kudatuli tahun ini bisa kita anggap sangat spesial bagi SBY-Mega dan PDIP-Demokrat. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya, akankah PDIP benar-benar serius ingin memasangkan Ganjar dengan AHY.  (D74)

Exit mobile version