Penunjukan AHY sebagai panglima kampanye Partai Demokrat yang bertanggung jawab dan bertugas melaksanakan kampanye pemenangan Pemilu 2019 menggantikan SBY membuka celah harapan kekuatan partai berlambang merci tersebut, baik untuk saat ini maupun di masa depan. Selain itu, Yudhoyono Family masih menjadi percontohan terbaik eksistensi dinasti politik di Indonesia.
PinterPolitik.com
“When you’re winning, you’re creating a dynasty”~Kevin Plank
[dropcap]M[/dropcap]uda dan berbahaya, begitulah mungkin gambaran sosok Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada yang saat ini memimpin negeri asal Justin Bieber tersebut. Ia juga memecahkan rekor sebagai Perdana Menteri kedua termuda sepanjang sejarah Kanada.
Kemunculan Justin Trudeau memang bisa disebut sebagai fenomena kala itu. Tahun 2013 merupakan titik baliknya, di mana Trudeau mengambil alih tampuk kepemimpinan Partai Liberal Kanada setelah mengalahkan sejumlah tokoh.
Jika Kanada ada Trudeau Family, Indonesia punya Yudhoyono Family Share on XPartai Liberal kemudian memenangi Pemilu pada 19 Oktober 2015 dan mengantarkan Trudeau terpilih menjadi Perdana Menteri ke-23 Kanada.
Banyak yang menyebut kecemerlangan Trudeau tak terlepas dari sosok sang ayah, Pierre Trudeau, yang juga merupakan mantan Perdana Menteri Kanada sekaligus pemimpin Partai Liberal Kanada. Trudeau senior dianggap berhasil “menurunkan” bakat politik pada sang anak dan berperan dalam kiprah politiknya.
Konteks regenerasi politik keluarga itu nyatanya kini mulai tampak juga di Indonesia, salah satunya dalam Yudhoyono family, yang merupakan keluarga Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hal ini juga tampak di tengah panas-panasnya suhu politik tanah air jelang Pilpres 2019, salah satunya lewat instruksi SBY untuk memberikan tanggung jawab penuh pada kampanye pemenangan partai pada sang anak, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). SBY memang harus menepi beberapa saat dari politik tanah air pasca sakitnya sang istri, Ani Yudhoyono.
Pemberian tanggung jawab itu tertuang dalam sepucuk surat resmi yang dibacakan oleh Sekjen Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan yang isinya secara garis besar memberikan kewenangan pada AHY)sebagai pemimpin kampanye nasional partainya.
Tentu menarik melihat surat dari SBY tersebut, mengingat menurut rumor yang beredar, AHY – sama seperti Trudeau – akan menggantikan kiprah sang ayah sebagai pimpinan pucuk Partai Demokrat di masa mendatang.
Dengan konteks posisi SBY yang masih sangat menentukan hasil akhir Pilpres 2019, mungkinkah AHY mampu menjadi energi baru bagi kiprah partai tersebut di 2019, termasuk untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang mereka dukung?
The Power of AHY
Semenjak memutuskan meninggalkan karir militer dan masuk ke dunia politik, nama AHY memang mencuri perhatian publik secara luas. Puncaknya adalah ketika ia memutuskan untuk menjajal peruntungan perebutan kursi DKI 1 pada Pilkada 2017 lalu.
Momentum itu bisa dibilang sebagai salah satu titik balik kiprah pria yang terakhir berpangkat mayor infanteri itu ke gelanggang politik nasional.
Teman-teman yang baik,
Insya Allah, malam ini saya akan menyampaikan pidato politik dengan judul "Rekomendasi Partai Demokrat kepada Presiden Indonesia Mendatang“.
Live di @tvonenews pukul 19.30 – 20.00 WIB.
Terima kasih, dan semoga berkenan menyaksikan.
Salam,
AHY pic.twitter.com/3DwtRXBfHD— Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) (@AgusYudhoyono) March 1, 2019
Kini, sebagai seorang putra SBY, tugas baru yang diemban AHY jelang Pemilu 2019 ini memang terbilang cukup berat. Di tengah musibah sakitnya Ani Yudhoyono, AHY harus bertanggung jawab dan bertugas melaksanakan kampanye pemenangan Pemilu 2019.
Lalu seberapa signifikan peran AHY dalam gelanggang perang Pemilu 2019?
Jika mengingat kembali pada hasil survi Charta Politika pada pertengahan 2018 lalu tentang prediksi elektabilitas calon wakil presiden untuk Pilpres 2019, nama AHY selalu bersaing ketat dengan sosok Panglima TNI kala itu, Gatot Nurmantyo.
Dalam survei yang dilakukan pada 23-29 Mei 2018 tersebut, Gatot dan AHY selalu menjadi nama teratas pilihan masyarakat
Hasil tersebut menunjukkan bahwa AHY – meskipun debut politiknya masih seumur jagung – telah memiliki daya tarik elektoral tersendiri.
Dalam politik, tentu saja ukuran tersebut belum sepenuhnya cukup, meski boleh juga dikatakan bahwa AHY memang memiliki potensi untuk mengembangkan kapabilitasnya sebagai politisi.
Karena seorang politisi adalah figur publik, AHY, memiliki keunggulan yang dapat dijadikan sebagai kekuatan politik, yakni kesantunan, kepintaran dan fisik yang menarik.
Dalam konteks kepintaran, hal ini bisa dilihat dari jejak akademiknya yang terbilang cukup memuaskan. Ia mendapatkan gelar Master of Science in Strategic Studies dari Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University Singapura.
Pada bulan Juni 2014, ia menempuh tugas pendidikan militer setingkat Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Command and General Staff College (CGSC) di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat dan mendapatkan hasil sempurna yaitu dengan IPK 4.0.
Di samping menempuh pendidikan militer, AHY juga menyelesaikan program master dalam Kepemimpinan dan Manajemen dari George Herbert Walker School di Webster University Amerika Serikat dengan IPK 4.0.
Sedangkan dalam konteks kesantunan dan keunggulan fisik, nampaknya AHY memang mewarisi bakat sang ayah. Seperti telah menjadi rahasia umum, bahwa SBY merupakan pemilik paten gaya politik santun yang berhasil mengantarkannya pada kekuasaan untuk dua periode.
Modal tersebut nyatanya memang penting di dunia politik. Hal ini misalnya ditulis dalam buku Politeness: Some Universals in Language Usage oleh Penelope Brown dan Stephen Levinson yang mengemukakan sebuah strategi kesantunan yang dikenal dengan “penyelamatan muka” (face-saving), yaitu aktivitas tindak tutur sebagai sebuah kegiatan rasional yang mengandung maksud tertentu.
Dalam konteks tersebut, kesopanan positif merupakan pendekatan yang menorehkan kesan mendalam terhadap konstituen yang mampu membangkitkan rasa simpati dari publik. Oleh karenanya, selain untuk Demokrat, kapabilitas dan kehadiran AHY sebagai komandan perang di Pilpres 2019 ini sangat mungkin menjadi angin segar di tengah absennya SBY.
Partai Demokrat harus berjalan sebagaimana mestinya. Pesan yang disampaikan dari oleh Ketua Umum @SBYudhoyono dari Singapura kepada seluruh kader melalui sepucuk Surat. #DemokratS14P pic.twitter.com/v3ZJW0jSfX
— HincaPandjaitanXIII (@hincapandjaitan) February 28, 2019
Tentu kiprah AHY tak akan sebanding dengan SBY. Namun, ia bisa menjadi suntikan kekuatan politik untuk Prabowo-Sandi yang boleh dikatakan masih bergantung pada faktor SBY dan Demokrat jika ingin meraih kursi kekuasaan. Tentu saja kesaktian politik AHY masih perlu diuji dalam gelaran Pemilu kali ini.
AHY, Bintang di 2024?
Dalam sebuah dinasti politik, hubungan darah masih menjadi salah satu cara kaderisasi terbaik, jika ingin melakukan regenerasi politik.
Pandangan ini diungkapkan misalnya oleh Carlos M. Vilas dari National University of Lanus, Argentina. Ia menyebut bahwa garis keturunan dianggap penting dalam sebuah keluarga yang berkuasa dalam membentuk struktur sosial-ekonomi, institusi politik, dan kehidupan budaya suatu negara.
Perkara keturunan ini dipercaya bisa memobilisasi dukungan politik cukup signifikan. Edward Aspinall dan Muhammad Uhaib As’ad dalam tulisan lain juga menyebutkan bahwa klan politik dapat menjadi kekuatan yang cukup mudah untuk melakukan mobilisasi demi tujuan politik. Tak jarang, ada yang memanfaatkan garis keluarga tersebut sebagai sumber daya politik inti dari politisi.
Agus Harimurti Yudhoyono, son of ex-Indonesian president, takes over Democratic Party's election campaign https://t.co/VvCjbNI037 #Indonesia pic.twitter.com/Nws3REz4w7
— The Straits Times (@STcom) March 1, 2019
Jika berbicara regenerasi dalam dinasti politik di Indonesia, bisa dikatakan keluarga Yudhoyono masih menjadi salah satu episentrum yang patut menjadi percontohan.
Regenerasi politik ini memang menjadi persoalan bagi beberapa tokoh politik besar, katakanlah seperti Megawati Soekarnoputri yang kini kesulitan menemukan sosok pengganti yang kuat sebagai kandidat Ketua Umum PDIP menggantikan dirinya. Bahkan meskipun putrinya, Puan Maharani, atau putranya Prananda Prabowo kini telah menjadi pemain politik nasional, keduanya disebut-sebut belum mampu menandingi legitimasi Mega.
Atau bahkan keluarga Cendana yang meskipun kini ada sosok Tommy Soeharto maupun Titiek Soeharto yang mencoba peruntungan menjadi pemain politik nasional dengan mendompleng nama sang ayah, namun kebesaran Soeharto tak mudah untuk ditandingi.
Dibandingkan dengan dinasti politik yang lainnya, SBY terlihat lebih unggul meregenerasi kekuatan politiknya.
Harapan Partai Demokrat boleh jadi memang berada di pundak AHY. Ia dan nama Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono) sangat mungkin menjadi masa depan Demokrat sekaligus trah Yudhoyono di panggung politik nasional.
Selain potensi kekuatan persona, legitimasi keturunun juga masih merupakan salah satu kekuatan politik AHY di masa depan.
Jika dibandingkan dengan Trudeau di Kanada, AHY pun masih muda dan memiliki kharisma yang cukup memikat. Dalam pencalonan Trudeau sebagai Perdana Menteri, ia disebut sebagai kandidat yang woman-friendly karena berhasil memikat banyak pemilih perempuan berkat gaya dan fisik yang menarik.
Sama seperti AHY, Trudeau juga memiliki legitimasi garis keturunan yang mengantarkannya meraih posisi kekuasaan seperti sekarang ini.
Dalam konteks Indonesia, potensi kekuatan AHY ini merupakan kesatuan modal kekuatan yang besar bagi masa depan Partai Demokrat dan SBY .
Penunjukan AHY sebagai komandan kampanye Demokrat pada pemilu 2019 ini bisa menjadi momentum baginya untuk melakukan serangkaian pembuktian.
Sesungguhnya hal yang akan lebih menarik adalah pertempuran di 2024 nanti, di mana disebut-sebut sebagai eranya pertarungan politisi muda. Lalu mungkinkah nama AHY akan muncul kembali sebagai top of mind dalam pertarungan politik di tahun itu dan bahkan memenangkan kursi kekuasaan? Menarik untuk ditunggu, apakah AHY mampu menjadi Trudeau-nya Indonesia di 2024 nanti. (M39)