HomeNalar PolitikAHY-Hary Tanoe Barter Cuan?

AHY-Hary Tanoe Barter Cuan?

Pertemuan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketum Perindo Hary Tanoesoedibjo sangat menarik karena jadi pertemuan parpol parlemen dengan non-parlemen pertama. Lalu, mengapa AHY “berkenan” melakukan pertemuan itu?


PinterPolitik.com

Pekan lalu, terjadi pertemuan menarik antara Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Ketum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo di Park Hyatt Jakarta, Menteng.

Ini menarik, sebab, silaturahmi politik itu tampak menjadi yang pertama terjadi antara partai politik (parpol) parlemen dan non-parlemen jelang Pemilu 2024.

Secara normatif, AHY dan Hary Tanoe menyebut agenda pertemuan diisi tukar pikiran mengenai kondisi perpolitikan dan perekonomian bangsa, hingga konflik Rusia-Ukraina sebagai isu global yang berdampak luas.

Keduanya memang tidak menyebutkan secara gamblang koalisi di antara Partai Demokrat dan Partai Perindo, baik di level daerah maupun pusat, yang rencananya akan dihelat serentak dua tahun lagi.

Akan tetapi, Hary Tanoe agaknya memaknai secara positif agenda tersebut, yakni dengan menyiratkan bahwa keselarasan tujuan kedua parpol menjadi cikal bakal sebuah kolaborasi.

Dari sisi Partai Demokrat, di tahun 2022 ini, AHY tercatat baru bertemu dengan dua ketum parpol, yaitu Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum Partai NasDem Surya Paloh.

image 27

Sementara pertemuan AHY dengan pimpinan parpol lain terjadi April 2021 lalu saat Presiden PKS Ahmad Syaikhu menyambangi markas Partai Demokrat di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat.

Atas rekam jejak itu, acara tukar pikiran antara AHY dan Hary Tanoe kiranya memiliki makna signifikan tertentu bagi masing-masing pihak.

Namun, agaknya menarik untuk menelisik lebih dalam mengapa AHY melakukan  pertemuan dengan Partai Perindo yang notabene bukanlah parpol berkaliber parlemen?

Simbiosis AHY-Hary?

Ekosistem demokrasi dengan multipartai membuat permufakatan di antara parpol dalam sebuah koalisi politik di Indonesia menjadi hal yang lumrah. Tak jarang, arah parpol dalam sebuah koalisi dapat berubah dan beralih ke koalisi lainnya.

Hal itu terkait dengan proyeksi peluang dan kepentingan apa yang kemungkinan besar akan didapatkan. Dalam terminologi lain, karakteristik itu disebut sebagai oportunisme yang berakar dari teori realisme politik.

Alexander Moseley dalam Political Realism and Utopianism, mendefinisikan realisme politik sebagai praktik yang sarat dengan egoisme dan banalitas (kedangkalan) untuk mencapai kekuasaan dan pada akhirnya melahirkan tindakan yang oportunis.

Aktor di arena politik sering kali memeragakan kecenderungan itu. Mereka menggunakan berbagai opsi dan kesempatan menguntungkan yang ada dengan sebaik-baiknya.

Praktik tersebut bahkan telah diimplementasikan oleh penguasa Kesultanan Surakarta Hadiningrat, Pakubuwono X, di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Temuan itu dipublikasikan Banyu Aryoningprang, Umasih, dan Kurniawati dalam Politik Oportunisme Raja Jawa.

image 28

Menjadi salah satu raja yang diawasi Belanda pasca Perang Jawa (vorstenlanden), mimpi Pakubuwono X untuk membangkitkan Dinasti Mataram dan menjadikan Surakarta sebagai pusat pemerintahan terhambat.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Bersamaan dengan kesadaran bahwa mimpinya cukup sukar terwujud, Pakubuwono X melihat bahwa Belanda, organisasi pionir pergerakan nasional, dan para bangsawan memiliki kekuatan yang dapat dimanfaatkan.

Demi memaksimalkan kepentingannya dan menjauhi berbagai hal yang dapat berdampak buruk bagi kekuasaannya.

Akhirnya, Pakubuwono X mengambil sikap oportunis dengan tetap “patuh” terhadap Belanda, dan di saat yang sama turut menyokong pergerakan nasional, seperti mendukung Budi Utomo dan Sarekat Islam (SI).

Sikap kooperatifnya dengan Belanda dipraktikkan dalam berbagai bidang. Saking “bersahabatnya”, Pakubuwono X bahkan mendapatkan bintang kehormatan dari Ratu Belanda Wilhelmina pada 21 Januari 1932.

Di saat yang sama, untuk membangkitkan kembali Wangsa Mataram, Pakubuwono X juga menginisiasi pernikahan politik, yaitu putri dari Mangkunegara dan putra dari Hamengkubuwono.

Pakubuwono X juga sadar bahwa dia membutuhkan dukungan masyarakat luas. Oleh karena itu, ia mendelegasikan para bangsawan keraton untuk berkontribusi di Budi Utomo.

Sang raja pun turut memberikan jaminan perlindungan politik bagi HOS. Cokroaminoto sang pentolan SI, dengan syarat bahwa gerakan politiknya yang menghimpun massa difokuskan di daerah Surakarta.

Di masa kini, praktik oportunis semacam itu kiranya masih jamak terjadi, termasuk kiranya menjadi latar belakang pertemuan AHY dengan Hary Tanoe.

Secara kasat mata, Partai Perindo dan Hary Tanoe tampak sebagai mitra politik potensial dan semestinya memang patut dirangkul sejak dini.

Itu tak lain dikarenakan modal yang dimilikinya berupa logistik politik dan kepemilikan media. Plus, menjadi parpol non-parlemen dengan perolehan suara terbesar di Pemilu 2019.

Sejauh ini, AHY dan Partai Demokrat telah menjalin relasi dengan dua ketum parpol yang memiliki modal berupa media massa, yakni Surya Paloh (Media Group) dan Hary Tanoe (MNC Group).

Langkah itu kiranya bisa dibaca sebagai strategi tersendiri untuk paling tidak menumpang popularitas jika pada akhirnya ijab kabul koalisi politik terjadi di antara opsi yang ada itu.

Apalagi, menurut jajak pendapat terbaru yang dilakukan Lembaga Survei Nasional (LSN) pada Juli lalu, angka pemilih mengambang (swing voters) masih cukup tinggi, yakni 48 persen.

Menariknya, Direktur Eksekutif LSN Gema Nusantara Bakry menyebut AHY menjadi salah satu kandidat yang masih memiliki peluang terbuka sebagai calon presiden (capres) berdasarkan analisis survei tersebut.

Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam mengatakan bahwa pemilih pemula dan swing voters akan memanfaatkan jalur-jalur komunikasi yang lebih mudah untuk mengakses pilihan politik, seperti media massa dan media sosial.

Oleh karena itu, dengan merangkul parpol dengan kekuatan media massa seperti Perindo, AHY agaknya bisa terbantu untuk melakukan penetrasi ke area yang selama ini luput.

Namun demikian, tujuan AHY dan Demokrat kiranya bukan untuk menjadi capres seperti apa yang diproyeksikan oleh Gema. Mengapa demikian?

image 26

Legislatif Lebih Menguntungkan?

Untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, perlu dipahami bahwa logika organisasi – dalam hal ini parpol – memiliki disimilaritas dengan logika individu. Francis Fukuyama dalam  bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century menjelaskan esensi tersebut dan kiranya dapat digunakan untuk memahami logika Partai Demokrat maupun Partai Perindo.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Mengutip teori Herbert Simon tentang satisficing, Fukuyama menerangkan bahwa tujuan organisasi sebenarnya tidak pernah hadir secara jelas, namun muncul sebagai hasil dari berbagai interaksi para pelaku organisasi.

Menurut Fukuyama, itu terjadi karena individu-individu dalam organisasi memiliki rasionalitas yang terbatas. Ini tidak lain disebabkan oleh individu yang cenderung memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu peristiwa.

Eksistensi penafsiran bahwa manuver politik AHY dikorelasikan dengan peluangnya sebagai capres, kiranya masih bertolak dari perspektif serta rasionalitas individu.

Sebagai sebuah organisasi, Partai Demokrat kiranya memiliki rasionalitas yang berbeda, yakni kontestasi legislatif dan kepala daerah.

Hal itu dipertegas oleh Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Panjaitan yang pada Juli lalu menyebut partai berlambang bintang mercy tidak pernah mengincar posisi capres maupun cawapres.

Mengapa menguasai legislatif dan kepala daerah lebih menguntungkan bagi Partai Demokrat, termasuk potensi simbiosisnya dengan Partai Perindo?

Indonesia terdiri dari 34 provinsi yang secara administrasi politik daerah, bahkan akan bertambah tiga dalam waktu dekat. Sementara itu, total kabupaten/kota sendiri mencapai 514.

Angka itu tentu cukup menggiurkan bagi sebuah parpol jika bisa mendominasi atau paling tidak sang kepala daerah mendapat endorsement-nya.

Yang menarik, pada Pilkada Serentak 2020 lalu, Partai Demokrat berada di urutan kedua sebagai parpol yang meraih kemenangan terbanyak, yakni di 147 pilkada. Mereka hanya kalah dari Golkar yang mengklaim meraih 165 kemenangan.

Akuisisi kekuatan di daerah dinilai menjadi fondasi soliditas dan keberlangsungan sebuah parpol dalam mengarungi setiap edisi pemilu.

Reputasi Partai Demokrat di Pilkada 2020 bisa saja akan menjadi semacam barter atau paket saling melengkapi yang menarik bagi Partai Perindo yang memiliki modal logistik dan media massa.

Terlebih, partai Hary Tanoe baru saja kedatangan Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) dan disebut masih akan diperkuat sejumlah tokoh tenar lain dalam waktu dekat.

TGB sendiri merupakan eks politisi Demokrat saat menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang tampak memiliki kapital politik cukup potensial bagi ceruk massa Islam.

Saling melengkapi konsentrasi kekuatan suara masing-masing partai di berbagai wilayah, kekuatan media massa plus media sosial, serta diperkuat tokoh Islam seperti TGB kiranya akan menjadi kekuatan luar biasa bagi duet Partai Demokrat dan Partai Perindo.

Oleh karena itu, akan sangat menarik kiranya apabila keduanya benar-benar akan berada dalam satu koalisi dan diperkuat dengan kombinasi kekuatan dari parpol lainnya ke depan. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?