Setelah kursi calon presiden (capres) sepertinya sulit direngkuh Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), posisi menteri – khususnya sektor pertahanan – agaknya cukup sesuai baginya di 2024. Namun, itu bukan skenario yang mudah dan bisa saja menjadi bumerang bagi kejatuhan Demokrat. Mengapa demikian?
Saat poros partai politik (parpol) lain mulai menelurkan kandidat calon presiden (capres), kegamangan jelang kontestasi elektoral 2024 kiranya masih dialami Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Partai Demokrat.
Bagaimana tidak, setelah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP kemungkinan besar akan mengusung Airlangga Hartarto sebagai capres, Prabowo Subianto turut menyatakan bahwa dirinya akan maju sebagai kandidat RI-1 dari poros Partai Gerindra-PKB.
Sementara itu, kemungkinan penjajakan koalisi antara Partai Demokrat dengan Partai NasDem – plus PKS – pun masih belum terdengar lagi hingga detik ini.
Meski demikian, dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul AHY-Hary Tanoe Barter Cuan?, telah dijabarkan bahwa AHY dan Partai Demokrat kemungkinan besar lebih menargetkan kemenangan di legislatif dan kepala daerah yang akan digelar serentak di 2024.
Selain lebih menguntungkan dalam logika parpol dan konteks keberlanjutan, Partai Demokrat pun tampak tidak berambisi terlalu besar di ajang pemilihan presiden (Pilpres).
Hal itu ditegaskan pula oleh Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Panjaitan yang pada Juli lalu menyebut partainya tidak pernah mengincar posisi capres maupun cawapres.
Gelagat tersebut tampak menarik mengingat AHY kemungkinan membutuhkan sebuah jabatan politik di 2024. Ini tak lain demi memperkuat legitimasinya sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat yang sempat digoyang lewat intrik Moeldoko beberapa waktu lalu, serta reputasi partai yang terus menurun di dua edisi pemilu terakhir.
Salah satu posisi yang kiranya cukup ideal adalah target untuk mengisi kursi Menteri Pertahanan (Menhan) kelak. Bukan hanya sekadar target tak beralasan, posisi Menhan sendiri sempat dinilai sejumlah tokoh cocok dengan AHY dikarenakan latar belakang dan visinya.
Bukan perkara mudah memang. Namun, bisa saja Partai Demokrat nantinya berada di koalisi pemenang Pilpres 2024, ataupun pada akhirnya berubah haluan ke koalisi pemenang seperti Partai Gerindra yang kebetulan pasca pertarungan politik 2019 juga diberi jatah Menhan.
Lantas, seberapa besar peluang AHY duduk di kursi Menhan pada 2024?
Andalkan Koneksi SBY?
Indikasi kegamangan AHY dan Partai Demokrat kiranya dapat dipahami. Sebab, mereka adalah entitas politik yang baru terbentuk pasca Reformasi tetapi berhasil berkuasa selama dua periode saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden ke-6 RI.
Oleh karena itu, 2024 boleh jadi merupakan tahun perjudian bagi AHY untuk setidaknya memiliki jabatan di pemerintahan, tentu ketika berbicara urgensinya dalam konteks legitimasi kepemimpinan Partai Demokrat.
Terlepas dari takdir berada di koalisi pemenang Pilpres 2024 atau bergabung ke koalisi pemenang seperti Gerindra di 2019, posisi Menhan kiranya menjadi target minimum.
Dalam hal ini, AHY boleh sedikit optimis mengingat namanya sempat diperhitungkan di kursi yang saat ini diduduki oleh Prabowo Subianto itu. Tak tanggung-tanggung, saat itu AHY di-endorse sebagai Menhan oleh dua parpol yang berada di dua kutub berbeda, yakni Partai Gerindra dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Hashim Djojohadikusumo selaku Direktur Media dan Komunikasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, pada April 2019 silam menyebut bahwa mereka mempertimbangkan AHY sebagai Menhan apabila porosnya menang.
Sebelumnya, pada medio 2018, Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni mengusulkan nama AHY untuk mengisi kursi Menhan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) jika kembali terpilih di 2019.
Latar belakang AHY di bidang militer, menurut Antoni, cukup mumpuni untuk mengurus masalah pertahanan.
Sokongan ini tampak merupakan refleksi dari konsep modal sosial yang dikemukakan oleh Sosiolog asal Prancis Pierre Bourdieu dalam publikasinya yang berjudul The Forms of Capital.
Dalam pemikirannya, Bourdieu menyebut modal sosial merupakan properti individual, bukan kolektif, yang bersumber dari status sosial seseorang. Menariknya, secara alamiah modal ini dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kekuasaan atas sekumpulan orang.
Jika Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam Converting Social Capital into Political Capital menyebut bahwa modal sosial dapat dikonversi menjadi modal politik, support Partai Gerindra dan PSI kiranya sudah menjadi aktualisasi predikat kandidat Menhan kepada AHY sebagai modal dalam dimensi sosio-politik.
Selain itu, Menhan juga tampak ideal karena AHY dapat memanfaatkan koneksi dengan perwira yang sempat berada dalam jaringan SBY dan dirinya sendiri semasa menjabat dahulu.
Sebagai perwira militer berprestasi saat menjabat, AHY juga tampak memiliki kapasitas dan jejaring mancanegara berbekal riwayat pendidikannya di Harvard University, Webster University, hingga US Army Command and General Staff College.
Apalagi jika ada pihak yang menegasikan pangkatnya yang hanya Mayor, preseden posisi Menhan di Amerika Serikat (AS) agaknya dapat menjadi kontra-justifikasi yang bisa menangkalnya.
Dalam tiga administrasi ke belakang, misalnya, AS sempat memiliki Secretary of Defense dengan pengalaman militer yang serupa dengan AHY atau tak sampai menjadi jenderal.
Sebut saja nama Mark Esper yang berpangkat Letnan Kolonel dan mengampu posisi Menhan di era Presiden Donald Trump. Lalu, ada Menhan era George W. Bush, yakni Donald Rumsfeld yang purna tugas dengan pangkat Kapten. Tak ketinggalan pula nama Chuck Hagel yang “hanya” bertitel pangkat Sersan kala era Presiden Barack Obama.
Atas serangkaian faktor pendukung di atas, nama AHY sekilas cukup kompeten untuk menjadi suksesor Prabowo Subianto di Medan Merdeka Barat 13-14.
Tiga alasan tersebut boleh jadi juga cukup untuk menjadi rujukan bahwa AHY dan Partai Demokrat “diam-diam” mengincar posisi Menhan di 2024, selain konteks legislatif dan kepala daerah.
Lalu, apakah skenario itu akan berjalan mulus bagi AHY jika benar-benar menjadi targetnya?
Tidak Semudah itu, Ferguso AHY?
Meski memiliki sejumlah faktor pendukung, rujukan terakhir mengenai posisi Menhan di AS yang dapat diampu sosok dengan latar belakang militer non-jenderal, agaknya sukar menjadi kenyataan di Indonesia. Mengapa demikian?
Pertama, AHY dan Partai Demokrat belum tentu berada dalam koalisi pemenang di 2024, meski bisa saja berubah haluan.
Kendatipun beralih ke poros pemenang seperti Partai Gerindra di 2019, tak dapat dipastikan pula AHY akan diberikan jatah Menhan. Terlebih, ada nama sosok dengan latar belakang purnawirawan militer mumpuni lain di 2024, salah satunya Jenderal Andika Perkasa.
Kedua, AHY tampak tidak memiliki solid military credential atau kemampuan militer solid yang diakui sebagaimana itu menjadi syarat utama dalam analisis Jefferson Ng dalam artikelnya yang berjudul How Indonesia’s Defense Ministry Has Changed Under Prabowo Subianto.
Jika mengacu pada telaah Ng dalam tulisannya di The Diplomat itu, sosok Menhan berlatar belakang militer di Indonesia wajib memiliki reputasi yang solid dan punya rekognisi luas.
Paling tidak, sejak era Reformasi, Menhan selalu diampu oleh purnawirawan yang minimal punya tiga bintang di pundaknya. Pun dari kalangan sipil, yang di periode serupa selalu diisi tokoh dengan predikat profesor.
Apalagi, kultur kemiliteran dan senioritas di Indonesia masih cukup kental. Tendensi ini, membuat proyeksi wibawa AHY sebagai Menhan dalam memimpin sederet jenderal di bawahnya masih dipertanyakan.
Ketiga, tak hanya berbicara wibawa, skill manajemen sektor pertahanan juga menjadi variabel yang tampak masih belum dimiliki AHY.
Terlebih, dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Politik Alutsista Musuh Terbesar Prabowo? telah dijelaskan bahwa pengelolaan sektor pertahanan sangatlah rumit. Tak hanya itu, seorang Menhan juga dinilai akan selalu dibayangi tarik menarik vested interest atau aktor eksternal dengan kepentingan tertentu dalam perumusan kebijakan pertahanan.
Oleh karena itu, skenario dan urgensi AHY sebagai Menhan masih merupakan jalan yang terjal bagi kepentingan legitimasinya secara personal, sekaligus bagi Partai Demokrat.
Jika gagal mengampu jabatan di pemerintahan pada 2024, bukan tidak mungkin Partai Demokrat semakin memperpanjang torehan menurun di tiga edisi pemilu secara beruntun.
Khusus bagi AHY, kegagalan itu boleh jadi juga akan membuat kepemimpinannya di Partai Demokrat dipertanyakan dan memantik turbulensi internal.
Akan tetapi, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi semata. Yang jelas, skenario “nasib” para aktor politik prominen pasca hasil pertarungan 2024 masih akan cukup menarik untuk diamati. (J61)