Silahturahmi AHY kepada Anies di balai kota dilaksanakan dalam rangka rindu dengan lawan politiknya pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Kedatangan AHY di tengah mulai hangatnya isu Pilpres 2024 menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan. Apakah kunjungan tersebut membahas AHY dan Anies sebagai pasangan kandidat Pilpres 2024?
Kamis lalu, Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengunjungi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota DKI Jakarta. AHY sendiri mengaku rindu dan ingin bersilaturahmi dengan lawan politiknya pada Pilkada 2017 lalu. AHY juga mengajak sejumlah petinggi partai Demokrat pada kunjungannya tersebut.
Dari pertemuan itu, keduanya saling mengapresiasi kinerja satu sama lain. AHY memuji Anies atas penanganannya terhadap pandemi Covid-19. Anies juga memuji AHY karena telah melewati tantangan Kongres Luar Biasa (KLB) ilegal Demokrat dan berharap para anggotanya tetap solid. AHY mengatakan keduanya saling bertukar pikiran perihal Jakarta dan Indonesia.
Pertemuan tersebut tentu menarik untuk diamati. Banyak yang berspekulasi bahwa keduanya berembuk untuk membahas Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Walaupun begitu, AHY awalnya enggan untuk berkomentar ketika ditanya perihal pilpres. Namun, AHY menegaskan bahwa pertemuannya dengan Anies tidak menyangkut Pilpres 2024.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Ujang Komarudin mengatakan pertemuan tersebut merupakan silaturahmi politik sebagai penjajakan awal untuk mencari kecocokan satu sama lain. Ujang meyakini bahwa keduanya saling berbicara tentang skenario dan banyak kemungkinan untuk pilpres.
Baca Juga: Pasangan Anies-AHY Cocok di 2024
Jika keduanya memutuskan untuk berduet, maka perjalanan AHY dan Anies akan mengalami berbagai tantangan. Ujang mengatakan Anies membutuhkan dukungan dan sokongan partai politik. Selain itu, Demokrat membutuhkan 13 persen untuk menembus ambang batas presidensial atau presidential threshold sebesar 20 persen.
Berangkat dari spekulasi terkait pilpres, apakah benar AHY mengunjungi Anies untuk membahas Pilpres 2024?
Kapital Anies-AHY
Tentunya dibutuhkan modal kapital yang cukup agar kandidat siap untuk berpartisipasi pada kontestasi politik Pilpres 2024. Jika nantinya AHY berpasangan dengan Anies, ada beberapa modal kapital yang perlu diperhatikan pasangan tersebut.
Tulisan Hyun Jung Yun yang berjudul Polls and Elections Beyond Political Capital: Do Social and Economic Capital Matter? menjelaskan tentang modal kapital pada kandidat presiden. Yun menjelaskan bahwa ada tiga kapital yang dibutuhkan, kapital sosial, kapital ekonomi, dan kapital politik.
Kapital politik dapat dilihat dari dukungan politisi, partai politik dan reputasi politik kandidat tersebut, seperti kredibilitasnya, kebijakan, gaya kepemimpinan dan sebagainya. Kapital sosial dapat diperoleh dari kepercayaan, interaksi dan hubungan kandidat dengan komunitas atau masyarakat. Sedangkan untuk kapital ekonomi, dibutuhkan pendanaan untuk melancarkan manuver kandidat dalam pilpres.
Berangkat dari tulisan Yun, pasangan Anies-AHY memiliki modal kapital yang cukup kuat jika ingin maju di Pilpres 2024. Dilihat dari kapital sosial, AHY dan Anies memiliki elektabilitas yang tinggi. Berdasarkan survei Litbang Kompas, Anies berada di posisi kedua yang dinilai layak menjadi presiden dengan nilai 10 persen.
Pasca hasil KLB ilegal, AHY melakukan safari politik yang berimbas pada peningkatan elektabilitas Partai Demokrat. Survei Lembaga Pendidikan, Penelitian, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang dirilis pada Rabu lalu menyebutkan Partai Demokrat berada pada posisi kedua dengan angka 11,2 persen, setelah PDIP. AHY juga berada di posisi kelima yang membuatnya sebagai satu-satunya tokoh non-pejabat publik yang masuk dalam lima besar tokoh nasional dengan elektabilitas tertinggi.
Dari segi ekonomi kapital, ada beberapa pihak yang dapat menyokong kandidat tersebut, seperti Jusuf Kalla (JK). Hal ini sejalan dengan pernyataan pengamat politik Ujang bahwa JK memang memiliki kedekatan dengan Anies. JK bisa menopang Anies dari segi finansial dan pemikiran.
Berdasarkan kapital politik, pasangan AHY–Anies mendapatkan dukungan politik dari aktor politik dan partai politik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kedekatan JK dengan AHY bukanlah rahasia. JK juga secara blak-blakan memberikan dukungan kepada Anies menjadi Calon Gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017. JK juga mengaku melobi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang saat itu Sohibul Iman, untuk mengusung Anies di Pilkada DKI Jakarta.
Selain Anies, JK juga dekat dengan AHY. Hal ini dapat dilihat ketika JK “mendukung” AHY ketika menghadapi KLB ilegal Demokrat dari kubu Moeldoko.
Baca Juga: JK, Juru Selamat AHY?
Walaupun saat ini Anies masih belum memiliki partai, namun ada dua partai yang mungkin menggaet Anies, yakni NasDem dan PKS. Ketua Umum NasDem Surya Paloh telah menyatakan bahwa dirinya siap mengusung Anies pada Pilpres 2024. Dukungan NasDem kemungkinan dilatarbelakangi oleh kedekatan Surya Paloh dengan JK.
Selain NasDem, ada PKS yang mungkin mengusung Anies. Hal ini didasari oleh sikap elite partai serta kebijakannya yang mendukung kebijakan Anies, misalnya ketika PKS pasang badan saat Anies menjual saham bir milik Pemprov DKI Jakarta.
Maka dari itu, pasangan Anies dan AHY sudah memiliki kapital sosial, ekonomi dan politik untuk maju di Pilpres 2024. Selain kapital, dibutuhkan juga strategi politis untuk mendapatkan dukungan politik.
Sebelumnya keberhasilan Anies pada Pilkada DKI Jakarta 2017 didasari oleh penggunaan strategi politik identitas untuk maju menjadi Gubernur DKI. Lantas, apakah Anies akan menggunakan strategi yang sama untuk Pilpres 2024?
Kembali Gunakan Politik Identitas?
Tulisan Dina Lestari yang berjudul Pilkada DKI Jakarta 2017: Dinamika Politik Identitas di Indonesia menjelaskan kebangkitan politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Dina mengatakan bahwa isu kepercayaan merupakan cara termudah yang digunakan untuk menarik hati orang dalam memilih kandidat yang didasari ikatan emosional pemilih pada calon. Politik identitas dianggap telah berhasil digunakan sebagai alat Anies untuk memenangkan Pemilu.
Tulisan Dina sejalan denan penelitian Endang Sari yang berjudul Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur Jakarta. Endang menjabarkan definsi politik identitas dengan menggunakan konsep konstruktivisme dari Pierre Van Den Bergh. Bergh mengatakan bahwa politik identitas merupakan suatu kondisi di mana identitas secara sengaja dikonstruksi oleh elite politik untuk mendapatkan kuasa.
Pada Pilkada 2017, Endang mengatakan bahwa ada upaya untuk membangun harga diri Muslim yang terhina sehingga sesama Muslim harus memiliki mereka yang seagama. Endang menambahkan bahwa hal ini memunculkan narasi “Saya Muslim Saya Anies-Sandi” yang merupakan hasil dari konstruksi identitas.
Kata “terhina” pada penjelasan Endang merujuk pada kasus yang dilatarbelakangi oleh kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Kasus tersebut berimplikasi pada kekalahan Ahok yang dianggap anti-Islam dan Pilkada 2017 yang diwarnai isu SARA.
Baca Juga: AHY Sengaja Biarkan Moeldoko Buat KLB?
Strategi politik identitas digunakan oleh Anies untuk memperoleh dukungan dari massa Islam. Kala itu, Anies mendapatkan dukungan dari Habib Rizieq Shihab (HRS) dan PKS.
HRS meminta, atau bahkan mewajibkan, para habib untuk mendukung Anies agar terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. PKS juga secara terbuka menyatakan komitmennya untuk memenangkan Anies di Pilkada DKI Jakarta 2017. Basis massa masyarakat Islam menjadi wilayah HRS dan PKS.
Disebutkan bahwa PKS dan HRS sangat terbuka untuk memberikan dukungan kepada Anies untuk maju di Pilpres 2024. Kedekatan Anies dengan JK juga memungkinkan JK kembali mendukung Anies. Selain itu JK juga dapat mengumpulkan massa Islam dengan jabatannya saat ini sebagai Ketua Dewan Masjid (DMI).
Melihat modal politik yang ada, identitas politik dapat digunakan kembali oleh Anies-AHY pada Pilpres 2024. JK juga merupakan sosok yang dapat mewujudkan pasangan AHY-Anies, melihat kontribusinya dalam memberikan dukungan melalui PKS dan NasDem untuk mengusung Anies.
Namun, perlu diketahui juga bahwa dinamika politik Indonesia sangat dinamis sehingga semua bergantung pada kondisi politik di masa yang akan mendatang. Lalu, ada pula gestur dari berbagai parpol, seperti PKS dan Demokrat yang tidak ingin polarisasi ekstrem di Pilpres 2019 terulang kembali. Menarik untuk ditunggu perkembangannya. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.