Kabar tentang Basuki Tjahaja Purnama yang akan menikah lagi, mencuri perhatian masyarakat. Mungkinkah nasibnya akan seperti Nelson Mandela?
PinterPolitik.com
“Pemimpin yang baik memimpin masyarakatnya dari atas. Pemimpin yang hebat memimpin masyarakat dari dalam dirinya.” ~ M. D. Arnold Share on X
[dropcap]D[/dropcap]i tengah kabar pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang telah mencapai titik terendah selama 20 tahun terakhir, serta persiapan partai politik menghadapi masa kampanye Pemilihan Presiden 2019, tiba-tiba muncul kabar menggembirakan dari mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Rumornya, Ahok yang harus dibui selama dua tahun setelah dinyatakan bersalah akibat melakukan penodaan agama ini, akan segera menikah setelah bebas di awal tahun depan. Sama seperti berita perceraiannya dengan Veronica Tan beberapa waktu lalu, rencana pernikahan Ahok ini pun langsung menjadi perbincangan hangat di masyarakat.
Dari pemberitaan yang beredar, Ruhut Sitompul dituding sebagai orang pertama yang membocorkan kabar tersebut. Meski begitu, sahabat Ahok yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi ikut membenarkannya. Bahkan jurnalis Asia Times, John McBeth pun ikut mengungkapkan fakta tersebut di tulisannya.
Prasetyo bahkan mengatakan kalau calon istri Ahok, tak lain adalah pengawal pribadi mantan istrinya sendiri. Keinginan Ahok untuk menikah tersebut, juga tak lepas dari dorongan Djarot Syaiful Hidayat. Sebab, Polwan berinisial Bripda P ini rajin membawakan Ahok makanan selama ditahan di Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Terkait kabar ini, pengacara Ahok, Teguh Samudera, tak menyangkal kalau Ahok mengatakan ingin segera menikah setelah dibebaskan nanti. Meski begitu, Teguh mengaku tidak mengenal wanita yang dikabarkan akan diperistri Ahok. Ia hanya tahu kalau Ahok ingin memiliki nasib seperti bapak bangsa Afrika Selatan, Nelson Mandela.
Selain bercerai saat dipenjara dan menikah lagi setelah dibebaskan, menurut Teguh, Ahok juga berharap nasibnya bisa seperti pejuang anti-apartheid yang setelah dipenjara malah terpilih sebagai presiden. Apalagi, lanjut Teguh, Ahok masih berharap bisa kembali berjuang melawan korupsi di birokrasi dan pemerintahan.
Ahok, Sang Pengalih Perhatian
“Agar dapat bernilai di mata orang lain, seseorang harus bernilai bagi orang lain terlebih dahulu.” ~ John Maxwell Share on X
Jutaan umat Islam yang melakukan demo berjilid-jilid, pada akhirnya memang berhasil membuat Ahok kalah dan dijerumuskan ke penjara. Namun ternyata, di dalam sel pun namanya masih berkibar dan tidak begitu saja pudar di ingatan warga DKI Jakarta, terutama di hati para pendukung setianya.
Sepak terjang Ahok sebagai orang nomor satu di Jakarta, memang menciptakan citra dan kebanggaan tersendiri bagi sebagian warga ibukota, terutama masyarakat dari kelompok minoritas. Sikapnya yang keras dan tidak kompromi ini, memang sempat mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang bersih dan anti korupsi.
Di sisi lain, tak sedikit pula warga yang tidak suka dengan gaya kepemimpinannya yang kerap dianggap kurang manusiawi – terutama bagi warga pendatang dan penduduk di bantaran kali. Penggusuran paksa yang dilakukannya, tak hanya dianggap sebagai penindasan, tapi juga keberpihakannya terhadap pengusaha dan investor asing.
Kepemimpinan Ahok yang dirasakan begitu mendalam pada kedua kelompok inilah yang menurut Harold Koontz, menjadikannya sebagai salah satu pemimpin yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Citra yang tertanam dalam ini membuat namanya sulit dilupakan begitu saja oleh masyarakat, terutama warga DKI Jakarta.
“In my country we go to prison first and then become President.” -Nelson Mandela#FreeAhok #Ahok pic.twitter.com/v34ju7flVL
— Lydia Zein (@LydiaZein) May 10, 2017
Pengaruh kuat yang dimiliki Ahok, berdasarkan teori kepemimpinan Koontz, terlihat dari terbentuknya kelompok pendukung setia dirinya yang secara sukarela telah ikut berjuang dalam menghadapi tekanan kelompok organisasi masyarakat Islam. Mereka pula yang pada umumnya akan selalu antusias dengan kabar mengenai Ahok.
Tak heran bila banyak media yang kemudian berusaha ‘menjual’ kabar di balik penjara Ahok, termasuk rencana pernikahannya yang konon sempat ditunda tersebut. Berita yang sifatnya sangat pribadi ini, memang terkesan ringan bagi sebagian orang. Namun, dalam kondisi keuangan tanah air saat ini, efeknya cukup besar.
Gosip ala selebriti mengenai rencana pernikahan Ahok, terbukti mampu mengalihkan perhatian masyarakat dari keresahan anjloknya nilai rupiah. Apalagi berdasarkan penelitian yang dilakukan Yagade dan Dozier dari Gallup Poll, isu abstrak (kurang penting) terkadang memang lebih diminati ketimpang isu yang lebih konkret.
Dengan kata lain, menurut keduanya, isu mengenai siapa calon istri Ahok jauh lebih mampu diterima dan dipahami masyarakat, dibanding permasalahan pelemahan rupiah terhadap dolar. Apalagi, bila pelemahan rupiah tersebut masih belum meresahkan karena tidak mempengaruhi kebutuhan dasar masyarakat, misalnya belum ada kenaikan harga BBM.
Menakar Ahok Dengan Mandela
“Kita akan menjadi orang yang kita inginkan, karena itu berhati-hatilah dengan keinginan tersebut.” ~ Kurt Vonnegut Share on X
Harus diakui, kasus terpenjaranya Ahok tak hanya menuai simpati sebagian masyarakat di tanah air, tapi juga dari dunia internasional. Citra dirinya sebagai pemimpin dari kelompok minoritas yang harus tumbang akibat tekanan dan penolakan keras kelompok mayoritas, menjadikan sosoknya sebagai seorang pejuang yang terzalimi.
Keprihatinan dan penolakan dunia internasional terhadap kasus Ahok ini, bahkan sempat dilontarkan oleh berbagai negara, seperti AS, Uni Eropa, Inggris, bahkan Badan HAM PBB. Di mata dunia, Ahok bahkan digambarkan sebagai simbol yang mewakili perjuangan HAM kelompok minoritas terhadap dominasi mayoritas di tanah air.
Citra pejuang yang terbelenggu dengan ketidakadilan inilah yang mungkin membuat Ahok berpikir, kalau dirinya akan mampu menjadi Nelson Mandela versi Indonesia. Di luar kesamaannya bercerai dan menikah kembali, tersirat juga keinginan Ahok untuk kembali terjun ke dunia politik dan menjadi pemimpin di negara ini.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Ahok memang memiliki citra tersendiri sebagai seorang pemimpin, baik positif maupun negatif. Tipe kepemimpinannya ini, menurut Koontz, dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang mengacu dari sifatnya dalam memimpin atau yang disebut dengan istilah traits theory of leadership.
Teori berdasarkan sifat ini juga terlihat dari karakter kepribadian Ahok yang memiliki sifat blak-blakan, sulit berkompromi, namun mampu mengakomodasi kebutuhan dan keinginan warganya. Berkat sifatnya ini pula, DKI Jakarta mampu menerapkan sistem birokrasi yang lebih transparan dan terbuka dari sebelumnya.
Dampak dari sifat kepemimpinan yang seperti ini, menurut Koontz, umumnya mampu menciptakan pemerintahan berkualitas dan efektif. Keberhasilan ini juga yang sebenarnya dirasakan oleh warga DKI Jakarta. Ini terlihat dari tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Ahok-Djarot yang mencapai 73 persen.
Tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Ahok ini, sebenarnya dapat saja pudar apabila penggantinya, Anies Baswedan, mampu menyamai atau melampaui citra Ahok. Sebab menurut teori ekspektasi Craig C. Pinder, sebenarnya setiap warga memiliki harapan tinggi pada pemimpinnya untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.
Masih belum terlampauinya kepuasan kinerja Ahok ini, pada akhirnya memberikan keuntungan tersendiri bagi pendukung Jokowi tersebut. Selain sosoknya yang masih lekat di memori masyarakat, loyalitas dan militansi pendukungnya, saat ini dunia internasional pun akan ada di belakang dirinya. Jadi setelah bebas dan menikah nanti, apakah Ahok mampu meraih ambisinya sebagai Mandela-nya Indonesia? Kita tunggu saja. (R24)