Video klarifikasi yang disampaikan BTP alias Ahok di akun Instagramnya menarik perhatian banyak pihak. Bukan hanya terkait klarifikasi yang ia sampaikan atas berbagai isu yang beredar, tetapi juga tentang citra politik pria kelahiran Belitung Timur itu. Pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan umumnya terkait masihkah Ahok diperhitungkan sebagai tokoh politik nasional. Pasalnya kehidupan personal dianggap sebagai tolok ukur seorang pejabat publik atau politisi dinilai oleh kebanyakan masyarakat di Indonesia.
PinterPolitik.com
“Rebrand is not just about buzzing brand words; it’s about repurposing your lives”.
:: Bernard Kelvin Clive, penulis ::
[dropcap]K[/dropcap]amu lebih percaya Ahok atau percaya Bu Vero? Itulah penggalan pertanyaan yang diajukan salah satu teman yang dahulunya Ahoker ketika melihat berbagai pemberitaan terkait Basuki Tjahaja Purnama (BTP) – yang tidak mau lagi dipanggil Ahok – beberapa waktu terakhir.
Memang, tidak dapat dipungkiri berbagai sorotan media kepada sosok Ahok – masih cukup sulit untuk tidak memanggilnya demikian – pasca keluar dari penjara, lebih banyak berkutat pada persoalan pribadinya.
Rencananya untuk menikah lagi dengan Puput Nastiti Dewi pasca bercerai dari Veronica Tan menjadi sorotan utama, mengalahkan pembicaraan terkait “dinginnya” Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin menanggapi keinginan mantan Gubernur DKI Jakarta itu untuk berkampanye bersama memenangkan petahana di Pilpres 2019 ini, atau perihal keputusannya masuk menjadi bagian dari PDIP.
Jika ia ingin tetap menjadi figur publik dan ingin kembali ke dunia politik, maka ia harus siap-siap berhadapan dengan “penghakiman” publik atas dirinya. Share on XDengan ramainya pembahasan persoalan personal tersebut, sedikit demi sedikit memang membuat citra politik Ahok memudar. Perceraiannya dan rencana pernikahannya dengan Puput yang terpaut usia hingga 30 tahun membuat banyak masyarakat – bahkan para Ahokers alias pendukungnya – mulai mempertanyakan layak atau tidaknya Ahok kembali menjadi pejabat publik.
Ia tidak lagi dipandang sebagai sosok pemimpin ideal – sekalipun kiprahnya selama menduduki jabatan publik dianggap baik – karena konteks berbagai isu yang beredar di masyarakat tersebut.
Hal inilah yang mungkin kemudian membuat Ahok melakukan klarifikasi lewat video di akun media sosialnya tersebut. Secara personal, berbagai spekulasi yang hadir menjadi hal yang tidak mengenakkan. Namun, ini juga menjadi gambaran bahwa ia tidak lagi dinilai murni karena kiprah politiknya, tetapi lebih kepada persoalan personalnya.
Faktanya, sekalipun menjalankan demokrasi dan pemilihan pemimpin yang melibatkan gagasan dan program kerja, publik di negara ini masih menggunakan ukuran personalitas – baik buruknya seseorang secara moral dan etika – sebagai ukuran untuk memilih pemimpin. Fenomena ini ternyata juga telah terjadi sejak era Tony Blair memenangkan kontestasi politik di Inggris pada dekade 1990-an.
Jika demikian, apakah ini berarti kiprah politik Ahok telah tamat?
Karier Politik Ahok Tamat?
Sebetulnya, Ahok masih dianggap sebagai salah satu magnet pemberitaan politik. Pada akhir 2018 lalu, beredar isu – yang kemudian dibantah dan dianggap sebagai hoaks – bahwa ia akan menggantikan Ma’ruf Amin kalau Jokowi memenangkan Pilpres 2019.
Isu tersebut berhembus cukup kencang dan dijadikan kampanye hitam oleh pihak-pihak tertentu, utamanya untuk menggerus suara politik di kalangan pemilih Islam dari kubu yang linear dengan Ahok – dalam hal ini Jokowi. Isu kampanye ini dianggap masih sangat efektif, mengingat citra Ahok sudah terlanjur identik dengan “penista agama” alias musuh umat Islam.
Namun, konteks isu-isu tersebut kini dianggap tidak lagi signifikan karena masifnya pemberitaan Ahok dari sisi personal – aspek yang sering kali dianggap tidak penting, namun justru menentukan karier politik seseorang, termasuk dalam konteks politik elektoral.
Terkait hal tersebut, pada September 2007 lalu, kolumnis The Guardian dan penulis senior, Sir Simon David Jenkins menulis bahwa beberapa politisi terkenal seperti Tony Blair dan Bill Clinton memenangkan kursi kekuasaan bukan hanya karena program-program yang mereka tawarkan kepada publik, tetapi karena personalitas mereka – nama terakhir juga jatuh karena persoalan personalitas itu.
Blair dan Clinton disebut Jenkins memperkenalkan apa yang ia sebut sebagai “new politics” yang berpusat pada kepribadian, kepemimpinan dan keyakinan atau kepercayaan diri. Sementara kebijakan-kebijakan dianggap sebagai “old hat” atau topi lama, yang pada titik tertentu sering kali justru tidak begitu menentukan dalam kontestasi elektoral.
Apa yang ditulis oleh Jenkins ini memang menjadi refleksi besar pergeseran yang mulai terjadi di masyarakat saat ini, di mana pilihan pemimpin tidak lagi didasarkan pada murni penilaian rasional atas program yang ditawarkan, tetapi pada hal-hal yang bersifat subjektif.
Hal ini juga ditulis oleh Eyal Winter, profesor ilmu ekonomi dari University of Leicester. Penulis buku Feeling Smart: Why our Emotions are More Rational than We Think itu menyebutkan bahwa kebanyakan orang justru menjadi irasional saat memilih pemimpin. Menurutnya, persoalan emosi akan selalu menang dalam proses politik, termasuk Pemilu.
Dengan demikian, jika Ahok ingin kembali ke gelanggang politik nasional – katakanlah untuk menduduki jabatan publik tertentu – ia akan berhadapan dengan persepsi publik terhadapnya secara personal. Pasalnya, persoalan personalitas ini juga menjadi satu dari 22 kualitas yang dianggap menentukan baik buruknya seorang pemimpin.
Hal ini juga penting karena demokrasi di Indonesia punya karakteristik yang berbeda dengan negara-negara lain, katakanlah seperti Amerika Serikat (AS). Di negeri Paman Sam itu, calon pemimpin akan dinilai terlebih dahulu dari ideologinya, program kerjanya, baru personalitasnya. Hal itu yang membuat sosok eksentrik seperti Donald Trump bisa meraih kursi kekuasaan.
Sementara di Indonesia, calon pemimpin akan dinilai terlebih dahulu dari sisi personalitasnya, kemudian programnya, baru ideologinya – sekalipun beberapa waktu belakangan, kriteria terakhir juga mulai ikut banyak menentukan.
Yang jelas, persoalan seperti citra harmonis tidaknya keluarga, hubungan dengan orang lain, serta pembawaan pribadi misalnya, masih menjadi ukuran seseorang dinilai oleh masyarakat.
Dalam ukuran-ukuran tersebut, tentu saja citra politik Ahok sedikit banyak tidak lagi dianggap positif. Perceraiannya dan rencana pernikahannya dengan berbagai isu di seputarannya telah dianggap sebagai hal yang cenderung negatif. Pertanyaan Ahoker di awal tulisan adalah salah satu contoh nyatanya.
Pentingnya karakteristik citra politik ini juga beralasan jika melihat tokoh-tokoh pemimpin negara ini, seperti Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga Jokowi, yang rata-rata mempunyai persepsi yang baik secara latar belakang keluarga di hadapan publik.
Pensiun dari Politik, Pilihan Terbaik
Dalam klarifikasinya, Ahok juga menyebutkan bahwa ia sudah mempertimbangkan semua keputusan terkait hubungan personalnya selama ini. Ia juga menyinggung ungkapan “lesser evil necessary evil” – hal yang biasa digunakan untuk menyebutkan “kejahatan” atau kesalahan yang harus dilakukan demi mencapai hal yang baik.
Ahok tentu ingin mencari pembenaran berbagai keputusan yang telah ia ambil. Namun, necessary evil tak selalu menjadi hal yang baik. Philip Mazzei, seorang tabib berkebangsaan Italia yang menjadi sahabat Presiden ke-3 AS, Thomas Jefferson dalam korespondensinya di antara keduanya, pernah menyebutkan bahwa necessary evil justru memungkinkan “kejahatan” yang lebih besar terjadi.
Bahkan, jika Ahok menggunakan pendasaran agama, ia justru akan berbenturan dengan banyak ahli yang menganggap necessary evil is evil. Hal itu juga yang pernah disinggung oleh sang adik, Fifi Lety, yang menyebut dirinya telah kehilangan hormat kepada Ahok karena memaksanya membuat gugatan untuk menceraikan Veronica Tan atas alasan yang menurutnya kabur.
Apa pun itu, konteks tersebut memang menjadi persoalan personal Ahok.
Yang jelas, jika ia ingin tetap menjadi figur publik dan ingin kembali ke dunia politik, maka ia harus siap-siap berhadapan dengan “penghakiman” publik atas dirinya.
Untuk beberapa lama saat masih menjabat Gubernur di ibukota, ia juga dianggap kasar dalam bertutur dan keras dalam pembawaannya – hal yang lagi-lagi bersifat personal. Beberapa pihak bahkan menyarankan agar Ahok lebih baik tak lagi berkiprah di dunia politik atau menjadi figur publik.
Apa pun itu, yang jelas dengan berbagai persoalan yang ada di sekitarnya, karier politik Ahok memang sudah ada di penghujung. Memang banyak simpatisan dan pendukungnya yang masih mengidolakan pria berkacamata itu. Hal itu pula yang mungkin menjadi alasan ia me-rebranding citra politiknya – katakanlah dengan tidak mau lagi dipanggil Ahok.
Pada akhirnya, kiprah politik Ahok sangat mungkin sudah mendekati tamat – katakanlah jika ia masih bermimpi menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini. Karena, seperti kata Bernard Kelvin Clive di awal tulisan, rebranding tak hanya cukup dengan mengganti nama saja, tetapi juga mengatur ulang tujuan hidup. (S13)