Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah kembali turun gunung ke kancah politik setelah pernyataannya tampak menjurus pada bakal calon presiden (capres) 2024 Anies Baswedan. Dengan karakteristiknya, Ahok agaknya menjadi salah satu kartu sakti PDIP yang mampu menjegal Anies jelang Pilpres 2024. Mengapa demikian?
Balas dendam politik. Begitu salah satu analisis yang mengemuka saat merespons kemunculan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan mengungkit intrik Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 lalu.
Dalam sebuah acara yang diselenggarakan para relawannya di kontestasi elektoral lima tahun silam di Mal Cilandak Town Square pada 6 November, Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina (Persero) itu seolah memberikan sindiran kepada Anies Baswedan yang digadang akan maju sebagai calon presiden (capres) 2024.
Ihwal yang memantik “keributan” adalah perkataan Ahok bahwa ada sosok yang pintar ngomong justru dipercaya memimpin selama lima tahun. Jamak tafsir yang kemudian mengarahkan subjek sindiran itu ke sosok Anies.
Sindiran pun tak hanya dilontarkannya sekali. Sesaat kemudian, Ahok seolah mengaitkan “orang pinter ngomong” itu dan bahaya politik di 2024 mendatang.
Tak cukup sampai disitu, politikus PDIP itu juga mengatakan tak lagi duduk di kursi DKI-1 karena dipenjara sembari sekali lagi menyebut ada orang yang “pinter ngomong” dianggap orang hebat.
Bingkai balas dendam sendiri dikemukakan oleh aktivis Kolaborasi Warga Jakarta Andi Sinulingga yang mengaitkan kemunculan plus sindiran Ahok sebagai reaksi terpendam atas kekalahannya di 2017.
Tidak hanya Andi, Partai NasDem selaku entitas politik yang menjadi inisiator pencapresan Anies pun turut memberikan reaksi atas tutur kata Ahok.
Adalah Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai NasDem Ahmad Ali yang membalas smash politik tersirat Ahok kepada Anies dengan mengatakan lebih berbahaya orang asal bicara daripada orang yang pintar ngomong.
Menurutnya, orang “pinter ngomong” lebih menjaga dan mengutamakan etika, menjaga perasaan orang lain, menjaga hubungan, dan tidak menyinggung orang lain. Dari perspektif Ali, penekanan bahaya justru dikembalikan kepada Ahok dan orang yang asal bicara.
Di luar intrik itu, pertanyaan menarik kemudian mengemuka, yakni mengapa Ahok kembali turun gunung sekaligus menghunuskan pedang kritik dan menancapkannya secara langsung ke Anies? Dan adakah korelasinya dengan misi PDIP terhadap Anies di 2024?
Memang Hakikat Ahok?
Untuk membedah alasan comeback sekaligus intensi sindiran Ahok, perspektif dan signifikansi apa yang dia katakan agaknya dapat dijadikan titik tolak pertama.
Dalam konteks politik, Ahok masih merupakan politikus PDIP, parpol yang selama ini dikenal “berseberangan” dengan Anies. Riwayat dan reside perseteruan di Pilgub 2017 juga tampaknya tak bisa begitu saja mereda. Terlebih, dengan logika dibutuhkannya eksistensi rival demi sebuah legitimasi dalam sebuah ekosistem politik.
Selain itu, Ahok menyampaikan ekspresinya dalam forum yang mana sebenarnya dia berhak untuk itu.
Ketika berbicara strategi komunikasi publik, isi sambutan atau pidato tak jarang disesuaikan dengan konteks kepada siapa sang pembicara berbicara – tergantung pendengarnya.
Tom Ricci dalam tulisannya di The American Society of Mechanical Engineers mengatakan bahwa untuk dapat menarik perhatian, pembicara harus menyusun pidato berdasarkan topik yang dianggap penting bagi audiens.
Selain itu, penting juga untuk mengetahui tingkat pengetahuan yang mereka miliki tentang topik, sehingga para pembicara dapat menyajikan informasi dengan tepat.
Lebih khusus lagi ketika karakteristik audiens adalah mereka yang memiliki simpati dan menaruh kepercayaan kepada sang pembicara. Dalam case sindiran kepada Anies, akan dapat dimaklumi kiranya segala yang telah disampaikan Ahok. Sekali lagi, dalam dimensi politik.
Audiens yang merupakan relawannya di Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu jamak diketahui telah “berdarah-darah” agar kepentingan Ahok terwujud. Meski tak menemui hasil positif, sejumlah relawan diketahui tetap konsisten membela Ahok, bahkan saat dirinya terjerat kasus penistaan agama dan mendekam di penjara.
Jika membingkainya secara utuh, apa yang disampaikan Ahok bahkan kiranya juga bersifat meredam dendam yang selama ini eksis.
“Jadi sekali lagi, bagi saya secara pribadi saya mensyukuri kenapa kalah, kenapa ditahan, saya bersyukur atas itu semua, makanya saya lebih sehat, ketika saya bisa menerima semua ini, saya jadi bisa lebih sehat, saya bisa memaafkan saya jadi bisa lebih sehat,” begitu lanjutan pernyataan Ahok menjelaskan hikmah kekalahan dan dijebloskannya ia ke jeruji besi.
Selain itu, Ahok juga beberapa kali mengucapkan “tak berbicara ke arah politik”. Walaupun cukup sulit menafikkan tendensinya, sindiran yang keluar dari lisan Ahok memang merupakan karakteristik personalnya.
Seorang ahli di bidang tata bahasa dan literatur asal Inggris Adrian Beard menggunakan pendekatan kebahasaan dalam menganalisa fenomena dan karakteristik aktor-aktor politik.
Dalam The Language of Politics, Beard mengedepankan majas metafora dan metonimi yang dapat digunakan dalam menerjemahkan dan memahami interaksi para aktor dalam sebuah proses politik yang sedang berlangsung.
Pada interaksi politik, Beard menyebut bahwa metafora memiliki kekuatan yang tertanam dalam cara manusia mendefinisikan dunia di sekitarnya dan cara dunia itu dibangun untuk manusia oleh manusia lainnya, utamanya pada domain konfrontatif
Metafora dalam konteks sport atau olahraga dan warfare atau peperangan dikatakan Beard menjadi yang paling sering digunakan. Khusus dalam konteks warfare, sebuah proses politik dapat diamati setelah narasi, diskursus, maupun kritik pertama “ditembakkan”.
Jika memilahnya dalam kosa kata, Ahok agaknya dapat dikatakan masuk ke dalam “war junkie” atau si ambisius dalam perang pada konteks “peperangan politik” karena kerap memantik kontroversi dan reaksi panas dari para rival politik.
PDIP pun agaknya memiliki “war junkie” lain dalam arena Parlemen melalui sosok Arteria Dahlan sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Arteria Kader “War Junkie” PDIP?
Namun, apa yang dilakukan dan dikemukakan Ahok selaku predikatnya sebagai kader PDIP kiranya tak bisa dikesampingkan dari meja analisis. Momentum yang mendekati pesta demokrasi 2024 dan mengarahkan sindirannya kepada Anies seolah memiliki tujuan tertentu. Apakah itu?
Kartu Sakti PDIP?
Berkaca pada rekam jejak sejak menjabat Gubernur DKI Jakarta hingga deklarasi pencapresan di 2024, Anies kiranya telanjur diberi predikat sebagai antitesis Jokowi, termasuk PDIP.
Oleh karena itu, sebagai sosok yang pernah bertarung langsung secara elektoral dengan Anies, Ahok tampaknya memang cukup ideal untuk diberi mandat khusus demi memberi tekanan politik pada sosok yang boleh dikatakan rival PDIP itu.
Secara momentum dan kepingan variabel politik terkini, kemunculan Ahok agaknya juga cukup tepat untuk secara sporadis membuat PDIP tetap “di udara” secara tidak langsung, serta turut mendegradasi citra Anies dengan sporadis.
Luis Rubio dalam publikasinya yang berjudul Time in Politics mengatakan, dalam dunia politik, timing atau momentum menjadi hal yang cukup esensial untuk menganalisis mengapa sebuah aksi-reaksi para aktor politik dikemukakan.
Dalam analisisnya, Rubio menyebut timing sangat penting dalam komunikasi dan manuver politik. Preferensi timing yang dipilih dapat menentukan perbedaan output yang cukup signifikan dari sebuah interaksi politik.
Sementara itu, dalam Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events, John Gibson menyatakan bahwa momentum tertentu dalam politik dapat digunakan untuk memaksimalkan benefit politik atau meminimalkan risiko dan biaya sang aktor politik.
Jika menggunakan intisari analisis Rubio dan Gibson, sindiran Ahok agaknya memiliki korelasi dengan misi politik PDIP di 2024. Timing sindiran yang dilakukan pasca Anies dideklarasikan sebagai capres dan menuai pro-kontra kiranya juga memiliki makna strategis bagi dua atau tiga langkah PDIP ke depan dalam mengantisipasi calon rival politiknya itu.
Dengan demikian, bisa jadi sindiran Ahok merupakan bagian dari skenario besar PDIP karena mantan Bupati Belitung Timur itu seolah menjadi kartu yang sepadan untuk berhadapan dengan Anies, termasuk melalui massa loyalnya.
Akan tetapi, serangkaian analisis di atas masih sebatas interpretasi semata. Yang jelas, kemunculan Ahok menjadikan aktor yang memiliki kemampuan dan kepentingan untuk menjegal Anies menuju Pilpres 2024 kian bertambah dan akan membuat persaingan politik semakin sengit ke depan. (J61)