Setelah reformasi, mulai bermunculan sosok dari kalangan suku Tionghoa yang memilih untuk berkiprah di dunia politik. Sebut saja Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Hary Tanoesoedibdjo (Hary Tanoe). Kira-kira apa yang membuat kedua sosok ini memilih untuk terjun ke dunia politik?
PinterPolitik.com
Tanggung jawab pertama seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas. Yang terakhir adalah mengucapkan terima kasih. Dan di antara kedua hal itu, pemimpin adalah seorang pelayan dan seorang yang berutang.
(Max De Pree)
[dropcap size=big]R[/dropcap]angkaian adagium Max De Pree ini menjadi gambaran tentang sosok pemimpin yang bertanggungjawab dan berintegritas demi kemajuan negara dan bangsa. Pemimpin yang baik harus mengutamakan urusan umum dan mampu memenuhi janji-janjinya kepada masyarakat. Melihat situasi Indonesia pasca reformasi tidak jauh lebih baik saat orde baru. Malah lebih buruk karena justru membuka peluang bagi para pemimpin untuk mengeruk hasil bumi dan uang rakyat. Akan tetapi, pada sisi lain kebebasan beraspirasi di masa ini, justru menjadi era ‘renaissance’ (pencerahan) bagi kaum-kaum minoritas seperti etnis Tionghoa. Hal ini ditandai dengan kemunculan sosok-sosok dari kalangan Tionghoa untuk terlibat dalam alam politik Indonesia, seperti Ahok dan Hary Tanoe. Apakah karena berasal dari etnis yang sama, lantas mereka memiliki visi dan misi untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik?
Dari Bangka Belitung Menuju Surabaya
Ahok dan Hary Tanoe merupakan dua sosok fenomenal dari kalangan suku Tionghoa. Mereka lahir dan tumbuh dalam kultur yang berbeda. Ahok merupakan pria kelahiran Belitung Timur. Keluarganya adalah keturunan Tionghoa Indonesia dari suku Hakka (Kejia), sedangkan Hary Tanoe merupakan putera seorang pegusaha Tionghoa di Surabaya, Jawa Timur.
Ahok kemudian hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya. Di Jakarta, Ahok berhasil meraih gelar Insinyur Geologi di Universitas Trisakti pada tahun 1989 dan kemudian meraih gelar Magister Manajemen (MM) di Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya Jakarta pada tahun 1994. Sementara, Hary Tanoe Seusai menamatkan pendidikan menengahnya di SMA Katolik St. Louis 1 Surabaya, ia meneruskan pendidikannya untuk mencapai gelar Bachelor of Commerce (Honours) dari Carleton University, Ottawa, Kanada pada tahun 1988; serta Master of Business Administration dari Ottawa University, Ottawa, Kanada pada tahun 1989.
Antara Membangun Daerah atau Memperkaya Diri
Nampaknya latar belakang pendidikan Ahok dan Hary Tanoe turut mempengaruhi karier bisnisnya masing-masing. Setelah meraih gelar sarjana teknik Geologi lulusan Universitas Trisakti (1989) dan Magister Manajemen (MM) dari Universitas Prasetiya Mulya Jakarta (1994), Ahok memilih pulang kampung untuk membangun daerahnya. Ia mendirikan perusahaan tambang kuarsa dan timah di Belitung, namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Perusahaannya ditutup karena ia dinilai terlalu banyak mengkritisi sikap para pejabat daerah yang korup. Dari pengalaman tersebut, Ahok tergerak untuk terjun ke dunia politik demi misi memberantas budaya korupsi.
Berbeda dengan Ahok, Hary Tanoe lebih tertarik untuk mengembangkan usaha di bidang multimedia. Kiprah bisnis Hary Tanoe memang melaju pesat pasca reformasi. Hal ini diduga karena disokong oleh sosok Gusdur yang sejak dahulu memiliki hubungan dekat dengan ayahnya. Gusdur juga diduga yang menyarankan agar Hary Tanoe terjun ke dunia politik.
Selain itu, beredar pula info bahwa Hary Tanoe memiliki hubungan persahabatan dengan George Soros – miliarder Yahudi berkebangsaan Amerika – yang pernah menyebabkan Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997-1998 silam. Salah satu indikasi persahabatan itu, Soros punya 15 persen saham di PT Bhakti Investama, milik Hary Tanoe.
Hampir semua kebijakan bisnis Hary Tanoe dipengaruhi oleh Soros, termasuk keterlibatan Hary Tanoe dalam bisnis media cetak dan televisi. Hal ini terbukti benar karena saat ini, Hary Tanoe tidak hanya dikenal sebagai Raja Multimedia Indonesia, namun sudah termasuk dalam jajaran orang terkaya asal Indonesia menurut majalah Forbes.
Dengan demikian, karier bisnis Hary Tanoe memang terbukti melampaui Ahok karena ia memiliki visi bisnis yang sangat mumpuni dan dibacking oleh tokoh-tokoh hebat sekelas Soros dan Gusdur. Apakah kesuksesannya di bidang ekonomi, akan ikut menular ke dunia politik? Akankah ia akan mampu disandingkan dengan sosok Ahok yang berani melawan korupsi di Indonesia?
Antara Ambisi dan Dendam
Upaya Ahok dan Hary Tanoe untuk menyelami dunia politik Indonesia dilatarbelakangi oleh motif yang berbeda dan membutuhkan proses yang lama. Di awal kiprahnya, ia sempat menjadi anggota DPRD dan Bupati Belitung Timur hingga menjadi anggota DPR RI. Rangkaian karier tersebut dinilai sebagai ‘loncatan’ politik Ahok untuk menuju ke DKI Jakarta kelak. Maka, dapat dikatakan bahwa kiprah Ahok di dunia politik sebenarnya dilatarbelakangi oleh ‘dendam politik’ dan juga ambisi untuk meraih kekuasaan dalam arti positif untuk memerangi budaya korupsi di Indonesia. Hal ini terbukti sejak menjabat sebagai Bupati Belitung Timur dan Gubernur DKI Jakarta.
Sementara itu, motif Hary Tanoe untuk merambah dunia politik Indonesia dilatarbelakangi oleh misi untuk memajukan Indonesia. Kiprah Hary Tanoe diawali dengan menjadi pengurus di Partai Nasional Demokrat (Nasdem), lalu bergabung dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan akhirnya mendirikan partai sendiri yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Misi Hary Tanoe ini berpotensi buruk bagi kemaslahatan bangsa di masa depan. Ada dugaan bahwa alasan Hary Tanoe masuk ke dunia politik karena untuk menguatkan eksistensinya di bidang ekonomi. Hal ini cukup beralasan karena mengingat hubungannya dengan George Soros di masa lalu dan Keluarga Donald Trump di masa kini yang dilandasi kepentingan bisnis. Melihat tindak-tanduk dua sosok ini, kita bisa menilai siapa yang nasionalis dan siapa yang oligark? Silahkan menilai sendiri.
Diwarnai Dengan Kontroversi
Perjalanan karier politik Ahok dan Hary Tanoe juga tak berjalan mulus. Dalam kariernya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok yang terkenal dengan gaya bicara yang kasar dan blak-blakan memicu berbagai macam kontroversi. Dari kontroversi lahan Rumah Sakit Sumber Waras hingga kasus “dibohongi pake surah Al-Maidah 51” yang menghantarkannya ke balik jeruji Mako Brimob Kelapa dua, Depok.
Sementara itu, Hary Tanoesoedibjo juga ikut tersandung dalam kasus dugaan ancaman melalui pesan singkat (SMS) yang dikirimkan kepada Jaksa Yulianto. Namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut atas kasus tersebut. Ada dugaan bahwa motif merapatnya Hary Tanoe ke kubu Jokowi merupakan cara ‘aman’ agar bisa lepas dari jeratan kasus tersebut. Amat disayangkan, bila hal ini terbukti benar.
Era Pencerahan Bagi Suku Tionghoa?
Melihat perjalanan karier bisnis maupun politik kedua tokoh berdarah Tionghoa ini memang tak sama. Ahok menapaki karier bisnisnya untuk membangun tanah kelahirannya, berbeda dengan Hary Tanoe yang menjalankan karier bisnisnya untuk kepentingan pribadi. Namun tak dapat dipungkiri, Hary Tanoe memang sosok yang brilliant di sektor bisnis dan investasi karena memiliki koneksi yang luas. Hal ini yang tak dimiliki oleh Ahok. Akan tetapi, karier Ahok justru berkembang pesat saat terjun ke dunia politik. Ia dinilai jauh berpengalaman dari Hary Tanoe karena kinerjanya yang bersih dan pro rakyat. Melihat sepak terjang kedua tokoh tersebut, apakah ini menjadi ‘era kebangkitan’ bagi suku Tionghoa di pasca reformasi? Lantas siapakah sosok yang sudah terbukti sebagai pemimpin yang melayani dan mampu memenuhi janji? Siapakah yang anda pilih? (K-32)