Ahok kini mendekati isu Islam dengan cara lain. Selaku Komisaris Utama Pertamina, Ia merencanakan beberapa kerja sama dengan Nahdlatul Ulama (NU). Apakah ini akan membuka duka lama atau Ahok sudah mengetahui cara ini adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki hubungannya dengan Islam?
Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali menyebut ajaran Islam dalam pidatonya. Hal ini terjadi ketika Ahok berbicara dalam acara Milad ke-9 Pesantren Motivasi Indonesia (PMI) yang digelar secara virtual, Minggu (28/2).
“Ini mohon jangan jadi masalah ya. Saya berpikir Nabi Muhammad dulu bukan cuma dakwah ya, tapi juga dagang. Jadi ini jangan dipersoalkan nanti, ini nanti salah menafsirkan dan ribut lagi. Ini saya mohon-mohon maaf ini. Saya bikin disclaimer dulu ini,” ucap Ahok.
Ahok menyebutkan sosok Nabi Muhammad sebagai pedagang untuk menyampaikan kekhawatirannya agar pesantren tidak hanya tergantung kepada orang, melainkan harus punya penghasilan yang tetap, yang mampu membiayai keperluannya.
Pengasuh Pesantren Motivasi Indonesia (PMI), KH. Ahmad Nurul Huda menyebut Ahok sudah jadi “nabi” karena memiliki gagasan luar biasa dan Ahok meresponsnya dengan menyebut candaannya diajarkan Gus Dur, namun dia tidak ingin berlebihan.
Kenapa Ahok setenang ini sekarang, bahkan menggunakan candaan yang membawa nama Nabi Muhammad? Bukankah mantan Gubernur DKI Jakarta ini memiliki pengalaman kurang menyenangkan dengan kelompok Islam. Apakah ini pertanda kalangan Kiai mulai menerimanya secara lapang dada?
Membaca Sikap Para Kiai Sekarang
Jeremy Menchik dalam artikelnya Moderate Muslims and Democratic Breakdown in Indonesia menyebutkan bahwa Kiai Said Aqil Siradj mengundang Ahok ke berbagai acara dan mengkritik Ahok atas ucapannya mengenai Qur’an. Namun uniknya, Kiai Said bersama Nahdlatul Ulama (NU) tidak ikut-ikutan dalam demonstrasi di Monas.
Menchik menggaris bawahi sikap tersebut sebenarnya berkaitan dengan patronase. Contoh sikap NU tersebut mencerminkan sulitnya NU untuk menyelisihi pendapat Kiai Ma’ruf Amin yang saat itu menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memerangi penistaan agama dan menindak Ahok. Namun itu semua sudah berlalu.
Baca Juga: Ma’ruf Jadi Wapres, MUI Menguat?
Pada Muhasabah NU 2017, Kiai Said menyampaikan, “Sesuai dengan hukum, Ahok sudah dihukum, sudah, sudah itu, siapa lagi yang menghina agama, al-Qur’an, harus dihukum, tidak pandang bulu, harus kita dukung.” Kiai Said juga menegaskan kembali sikapnya yang tidak setuju dengan mereka yang “tidurnya di Istiqlal, salatnya di Monas”.
Pada Februari 2017, saat menjamu Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan dan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Kiai Ma’ruf Amin juga menyatakan sudah memaafkan Ahok dan Ahok juga menulis permohonan maafnya karena telah menyudutkan sang Kiai. Kiai Ma’ruf juga mengajak masyarakat untuk menjaga kondusifitas.
Lalu, ada pula guyonan dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Helmy Faishal Zaini pada Ahok soal dirinya yang tak pernah kerja turun ke masyarakat, tapi justru selalu masuk dalam survei bursa calon presiden (capres) pada pemilu 2024.
Apakah pernyataan trio Kiai tersebut mewakili sikap organisasi NU pada Ahok?
Pertamina, Kendaraan Baru Ahok?
Menariknya, kini Ahok cukup menghindari topik politik dan kosa kata politik. Saat dicolek soal survei oleh Kiai Helmy, Ahok menanggapi bahwa dirinya tidak mau lagi berkecimpung ke dalam dunia politik. Lalu, apakah Ahok sedang menyampaikan bahwa dirinya sudah tidak main politik karena ingin fokus “berdagang”?
Mungkin itu benar. Ahok sendiri pernah menegaskan karier politiknya sudah berakhir. Akan tetapi, dengan posisinya sebagai Komut Pertamina saat ini, mungkinkah Ahok dapat memanfaatkan posisinya untuk memulihkan hubungannya dengan Islam?
Katalankah itu benar, lantas bagaimana caranya? Mungkinkah dengan “memanfaatkan” isu radikalisme?
Meskipun Pertamina tidak pernah disebut dalam isu radikalisme di tubuh BUMN, namun penawaran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kepada Pertamina sepertinya adalah kuncinya. BNPT pernah menyampaikan bahwa lembaganya siap membantu Pertamina untuk mengidentifikasi profil pegawai yang terpapar paham radikalisme.
Nah, di sini titik Pertamina dapat memudahkan jalan Ahok. Bisa saja nantinya Ahok mengajak BNPT dan NU untuk melakukan penyisiran tersebut. Terlebih lagi, NU memang dikenal “memerangi” paham radikalisme.
Baca Juga: Komut Pertamina, Batu Loncatan Ahok?
Lalu, pada 2017, Pertamina dan Nahdlatul Ulama menandatangani memorandum of understanding (MoU) untuk membangun perekonomian umat dalam bidang pemanfaatan energi dan pengabdian masyarakat.
Kerja sama ini bukan hanya menguntungkan organisasi Islam, melainkan juga Pertamina sendiri. Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) meminta Pertamina dan PT AKR Corporindo Tbk untuk bekerja sama dengan Muhammadiyah dan NU untuk membangun lembaga penyalur BBM Satu Harga di berbagai daerah.
Terkhusus mengenai pesantren, Pertamina memiliki berbagai rencana kerja sama. Mulai dari pelatihan dan peluang untuk pemberdayaan ekonomi dan wirausaha yang ada di pesantren-pesantren NU, hingga bekerja sama lewat koperasi dan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) berbadan hukum yang terafiliasi dengan pesantren.
Mulus kan jalan Ahok? Tapi masalah baru sepertinya muncul, yakni tepatkah kondisi pesantren seperti yang digambarkan Ahok? Apakah benar pesantren tidak mampu mandiri secara ekonomi?
Watak Semangat Kapitalisme Islam
Emin Baki Adas dalam artikelnya The Making of Entrepreneurial Islam and the Islamic Spirit of Capitalism menjelaskan bahwa lahirnya organisasi Musiad di Turki pada 1990 menentukan wacana entrepreneur dalam Islam di Turki.
Emin menjelaskan nilai-nilai keislaman menjadikan jaringan dan solidaritas di antara perusahaan-perusahaan Islam lebih berkembang daripada yang lain. Perusahaan ini melibatkan investasi bersama, meminjam uang dari satu sama lain, serta pembelian bersama mesin, bahan baku untuk mengurangi biaya dan bertahan dalam ekonomi global yang sangat kompetitif.
Selain soal jaringan, kapitalisme Islam memiliki ideal manusia yang disebut Homo Islamicus. Sosok ini adalah manusia yang kompetitif, produktif dan inovatif, bukan pencari rente dan spekulatif. Sosok tersebut berpikir bahwa sukses secara ekonomi adalah tugas setiap Muslim, karena Islam mengutuk kemalasan, dan mendorong kerja keras dan berpikir rasional.
Solidaritas dan Homo Islamicus adalah tulang punggung kapitalisme Islam telah terlihat dalam berbagai praktik di pesantren, tidak seperti yang Ahok klaim.
Pertama, kepemimpinan Kiai dalam bisnis. Contohnya, dalam artikel Nur Khusniyah Indrawatia yang berjudul Management by Inspiration: Implementation of Transformational Leadership on Business at Pondok Pesantren Sunan Drajat menyebutkan Kiai yang membentuk komunitas siswa yang bergerak di bidang agrikultur dan mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah daerah.
Kedua, diversifikasi bisnis di lingkungan pesantren. Ini yang dijelaskan Yudi Ahmad Faisal dalam artikel Analisis Faktor Keberhasilan Pengembangan Ekonomi Pesantren: Studi Kasus Pesantren MBS Prambanan dan Al-Irsyidiyyah Nurul Iman.
Pesantren Modern Muhammadiyah Boarding School Prambanan Sleman memiliki 12 unit usaha yang terdiri dari homestay, catering, kolam ikan, pengelasan, laundry, produksi roti, koperasi, toko, restaurant, pengolahan air minum galon dan AMDK, serta kantin.
Baca Juga: Ahok Akan Dibela Anies dan PKS?
Ketiga, jaringan alumni sebagai sumber pendanaan. Abdul Jalil dalam artikelnya Alumni Networks and Economic Reinforcement in Pesantren Ummussabri, mencontohkan Pesantren Ummussabri yang membuat kerja sama dengan jaringan alumni dalam hal sewa ruko. Profit yang dihasilkan digunakan 80 persen untuk pembangunan infrastruktur pesantren dan 20 persen untuk guru honorer.
Nah, bukankah artikel-artikel itu menunjukkan pesantren mampu mandiri secara ekonomi? Mungkin dapat disimpulkan Ahok tampaknya belum banyak mengenal watak bisnis pesantren dan hanya membayangkan pesantren hanyalah urusan akhirat.
Namun, kendatipun tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni terkait ekonomi pesantren, langkah Ahok dalam menggandeng NU dan pesantren untuk membuat kerja sama ekonomi dengan Pertamina patut untuk diapresiasi. Lagipula, kerja sama NU dengan Pertama sebenarnya sudah terjalin sejak 2017 lalu, sehingga kerja sama ini bukan semata-mata karena faktor Ahok semata. (F65)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.