Komisaris Utama (Komut) Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok akhir-akhir ini kembali berkoar mengenai persoalan-persoalan yang ada di internal Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut. Peran apakah yang sebenarnya tengah dimainkan oleh Ahok?
Britania Raya – atau juga dikenal sebagai Inggris – merupakan sebuah negara di Eropa yang dahulu kala pernah menguasai hampir seluruh dunia. Bagaimana tidak? Wilayah koloninya dulu membentang di hampir setiap benua yang ada.
Namun, kejayaan negara ini terancam pada pertengahan abad ke-20 – yakni ketika Jerman Nazi muncul sebagai negara yang siap menantang hegemoni Britania Raya. Alhasil, perang besar yang melibatkan banyak negara pun meletus pada tahun 1939.
Agar bisa selangkah lebih maju dibandingkan musuh-musuhnya, Jerman Nazi pun menggunakan kode-kode rahasia – bukan kode unik – dalam melakukan komunikasi strategis. Negara yang kala itu dipimpin oleh Adolf Hitler tersebut menggunakan sebuah mesin Enigma untuk menutupi isi komunikasi mereka.
Di sisi lain, Britania Raya dan Blok Sekutu tidak kehabisan akal. Pemerintah Britania Raya kala itu akhirnya menggandeng seorang ilmuwan yang bernama Alan Turing.
Turing bersama timnya akhirnya berusaha memecahkan kode-kode Enigma milik Jerman Nazi. Alhasil, Britania Raya pun memiliki keuntungan lebih ketika menghadapi Jerman Nazi karena bisa mengetahui informasi yang digunakan oleh lawannya itu.
Baca Juga: Ahok “Ingin” Bisa Seperti Luhut?
Mungkin, dari sejarah Turing ini, dapat dimaknai bahwa informasi merupakan hal yang penting dalam suatu konflik – baik dengan menjaganya atau dengan mencari tahu soal informasi itu sendiri. Siapa sangka bahwa informasi menjadi penentu dalam situasi seperti ini?
Pentingnya informasi ini bisa jadi juga berlaku apabila informasi yang seharusnya dirahasiakan dibuka ke hadapan publik. Bagaimana pun juga, isu sensitif bisa saja menjadi senjata yang berbahaya.
Ini mengapa kepanikan timbul ketika Komisaris Utama (Komut) Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok membuka informasi terkait bagaimana banyaknya kontrak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang justru merugikan Pertamina sendiri. Bahkan, Ahok pun menyebutkan bahwa ada intensi (mens rea) jahat di balik kontrak-kontrak itu.
Sontak saja, Menteri BUMN Erick Thohir dan Staf Khusus-nya, Arya Sinulingga, langsung menanggapi pernyataan Ahok. Erick, misalnya, meminta Ahok untuk meninjau kembali kontrak-kontrak tersebut – bila ada.
Bukan tidak mungkin, terdapat konsekuensi strategis di balik ucapan Ahok tersebut. Mungkinkah Ahok ingin bertindak bak Turing yang siap siaga membongkar informasi-informasi yang “tersembunyi”? Lantas, bila kini dinilai “meresahkan”, mengapa justru Ahok yang diangkat menjadi Komut Pertamina?
Mengapa Harus Ahok?
Bila bicara soal Ahok, tentu berbagai kontroversi turut mengikuti. Bagaimana tidak? Sosok mantan Gubernur DKI Jakarta ini dinilai telah menistakan agama tertentu dalam kontestasi politik Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017.
Tidak hanya soal isu penistaan agama, Ahok juga dikenal memiliki gaya “unik” dalam memimpin, yakni kebiasaannya yang suka meluapkan emosi. Bisa dibilang, Ahok memiliki cara memimpin (leadership) yang dinilai agresif.
Baca Juga: Mungkinkah Jokowi Tersandera Ahok?
Gaya ala Ahok inilah yang dibahas oleh Michael Hatherell dan Alistair Welsh dalam tulisan mereka yang berjudul Rebel with a Cause. Dengan menggunakan konsep charismatic leadership (kepemimpinan karismatik) dari ahli sosiologi asal Jerman, Max Weber, Hatherell dan Welsh menjelaskan bahwa Ahok merupakan seorang politikus yang menciptakan keunikan tersendiri (distinction) dengan politikus dan pejabat lainnya.
Distinction ini dapat diamati dari gaya berbahasa dan berkomunikasi Ahok yang dinilai membangun citra yang terbuka, bersih, dan transparan – tidak seperti asumsi soal bagaimana politisi-politisi yang bertutur manis tetapi malah bertindak koruptif. Ahok dinilai memiliki gaya komunikasi dan kepemimpinan yang agresif.
Mungkin, inilah mengapa nama Ahok selalu dimunculkan dalam berbagai posisi yang dianggap cocok dengannya. Kala Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyongsong masa pemerintahan keduanya, misalnya, nama Ahok selalu dimunculkan di media dan publik untuk bisa masuk dalam kabinet baru Jokowi.
Tidak hanya soal posisi menteri, nama Ahok pun ramai dibicarakan ketika akhirnya Erick mengangkatnya menjadi Komut Pertamina. Bahkan, Ahok seakan-akan menjadi jawaban utama atas persoalan-persoalan yang ada di Pertamina – seperti mafia minyak dan gas (migas).
Namun, terlepas dari gaya komunikasinya, bukan tidak mungkin ada konsekuensi strategis lain di balik dipilihnya Ahok untuk menjadi Komut Pertamina. Mengapa Ahok yang dinilai memiliki gaya leadership yang agresif ditempatkan di BUMN yang bergerak di bidang migas tersebut?
“Pengawasan” ala Ahok?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pertamina merupakan sebuah BUMN yang sejak lama telah menjadi cash cow (sapi perah) bagi banyak pihak, khususnya partai-partai politik (parpol). Bahkan, pandangan bahwa Pertamina menjadi sapi perah ini pernah diungkit oleh seorang politikus PDIP yang bernama Lasarus.
Baca Juga: Ada Apa dengan Erick-Ahok?
Pandangan umum ini pun bisa dilacak dalam sejarahnya ketika Indonesia masih berada di bawah kekuasaan Presiden Soeharto. Pada era Orde Baru, Francis Pike dalam bukunya yang berjudul Empires at War menjelaskan bahwa Pertamina – dengan meningkatnya produksi minyak dari 174 juta barel pada tahun 1966 menjadi 476 juta barel pada 1975 – juga menjadi sapi perah dan sumber dana bagi sejumlah institusi yang dekat dengan Soeharto, khususnya bagi Angkatan Bersenjata (ABRI).
Bukan tidak mungkin, ini adalah alasan mengapa peran Ahok menjadi penting, karena dengan berada di dalam BUMN tersebut, Ahok bisa saja mengetahui segala informasi soal siapa saja yang berusaha menjadikan Pertamina sebagai sapi perah. Apalagi, Ahok dinilai memiliki kedekatan tertentu dengan Presiden Jokowi yang mana pernah menjadi pasangan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012-2014.
Dari relasi dekat ini, bukan tidak mungkin, presiden dapat melakukan pengawasan lebih mendalam terhadap aktor-aktor politik mana yang berusaha menjadikan BUMN tersebut sebagai sapi perah. Pasalnya, bila mengacu pada penjelasan George C. Edwards III dalam tulisannya yang berjudul Neustadt’s Power Approach to the Presidency, presiden bisa meningkatkan kekuatannya (power) dengan menempatkan relasi-relasinya di kutub-kutub kekuatan lain.
Bila benar begitu, Ahok bisa jadi memainkan peran yang dalam strategi disebut sebagai surveillance atau pengawasan. Tjerk Timan dan rekan-rekannya dalam tulisan mereka yang berjudul Surveillance Theory and Its Implications for Law dengan mengutip Haggerty dan Ericson menjelaskan bahwa pengawasan dapat dipahami sebagai pengumpulan dan analisis informasi atas sebuah populasi untuk mengatur aktivitas mereka.
Boleh jadi, peran inilah yang dilaksanakan oleh Ahok. Dengan gaya kepemimpinannya yang agresif dengan citra yang serba “bersih”, Komut Pertamina ini bisa saja telah mengumpulkan informasi akan aktivitas-aktivitas yang terjadi di BUMN tersebut.
Pada awal tahun 2021 lalu, misalnya, Ahok menyebutkan tengah melakukan audit terhadap sejumlah kontrak terkait perjanjian jual-beli liquefied natural gas (LNG) atau gas alam cair. Selain itu, Ahok sebelumnya juga pernah merasa geregetan untuk melakukan audit atas kilang perusahaan tersebut.
Bila benar Ahok kini menjalankan peran surveillance seperti penjabaran di atas, bukan tidak mungkin kini Ahok menjalankan upaya penggalian informasi bak apa yang Turing lakukan. Lagipula, informasi adalah kunci atas kekuatan di era kontemporer saat ini. Bukan begitu? (A43)
Baca Juga: Saatnya Ganjar-Ahok 2024?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.