Dua “rival bebuyutan”, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI)-Anies Baswedan serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) lagi-lagi terlibat dalam dua friksi politik berbeda pada saat yang hampir bersamaan. Meski terlihat tak berkorelasi secara kasat mata, dua friksi alot tersebut agaknya menyimbolkan satu konstelasi politik tertentu yang masih terus dan akan berpengaruh dalam dinamika politik dan pemerintahan. Apakah itu?
Frasa “bebuyutan” tampaknya tidak berlebihan untuk menggambarkan rivalitas dan friksi politik yang kiranya masih akan berlangsung panjang antara Partai Solidaritas Indonesia (PSI)-Anies Baswedan serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Kebetulan, friksi keduanya muncul pada saat yang bersamaan saat PSI mengkritik sekaligus menagih janji rem darurat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyusul positivity rate Covid-19 di ibu kota telah menyentuh angka 10 persen.
Selain itu, Ahmad Idris selaku Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta indikator lain seperti tingkat okupansi maksimal rumah sakit (RS) dan ruang isolasi yang semakin mengkhawtirkan. Ditambah implementasi PSBB transisi yang dikatakan Idris tidak efektif, kebijakan darurat tak bisa ditawar lagi saat ini.
Sementara pada spektrum berbeda, PKS menghujamkan kritik keras yang ditujukan langsung pada Ahok menyusul kerugian Pertamina – tempat dirinya menduduki tahta komisaris utama – sebesar Rp 11 triliun.
Tak tanggung-tanggung, meski beberapa kalangan menyebut kerugian tersebut bukan andil Ahok, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS Mulyanto mengusulkan agar Ahok dicopot dari jabatannya dan menyindir pernyataan mantan Gubernur DKI itu yang pernah menyebut bahwa merem saja Pertamina sudah untung.
Meski skala dan domain persoalan di atas secara kasat mata terlihat kontras, impresi politik berbeda justru dinilai eksis ketika dua friksi yang muncul bersamaan dan bukan pertama kalinya terjadi antara keempat aktor itu menyiratkan sebuah proporsi unik dari konstelasi politik di Indonesia.
Publik secara umum pasti menebak bahwa muara dua friksi tersebut tentu saja Pilgub DKI Jakarta tahun 2017. Ya, variabel Pilgub DKI memang merupakan batu loncatan pertanyaan menarik terkait mengapa friksi tersebut masih terus terjadi ketika sebenarnya peta dan kepentingan politik kala itu dianggap sudah berbeda 180 derajat saat ini dan bagaimana pula dampak jangka panjangnya?
Prabowo Biang Keladi?
Layaknya asumsi dasar ilmu eksakta, kausalitas dinilai merupakan benang merah yang menyatukan friksi alot antara PSI dengan Anies serta PKS dengan Ahok. Dan jika benang tersebut dirunut, nama Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto ialah ujungnya.
Hal tersebut tak keliru kiranya ketika Marcus Mietzner dalam publikasinya yang berjudul Rival Populism and the Democratic Crisis in Indonesia: Chauvinist, Islamists, and Technocrats juga menyebut nama Prabowo sebagai sosok yang berandil besar dalam konstruksi konstelasi politik yang ada saat ini, termasuk friksi dua pasang rival bebuyutan di atas.
Mietzner menyebut chauvinist populism atau populisme chauvinis, yang mencerminkan ambisi sekaligus menjadi representasi andalan Prabowo untuk naik ke tampu kekuasaan sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 hingga Pilpres 2019. Retorika ultra-nasionalisme chauvinist populism Prabowo awalnya digunakan untuk menggaet dua kelompok yang jamak kontradiktif, yakni pluralis dan islamis.
Meitzner menyebut bahwa dalam prosesnya, baik secara langsung dan tidak langsung, upaya Prabowo tersebut justru menciptakan polarisasi sosial dan politik serta bermekarannya populisme baru berupa pluralist populism dan islamist populism, di mana realitanya populisme terakhirlah yang lekat dan jadi senjata andalan eks Panglima Kostrad dalam pesta demokrasi terakhir.
Namun puncaknya justru bukan pada Pilpres 2019, melainkan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 ketika Prabowo dengan Gerindranya mengusung Anies Baswedan sebagai kandidat dan harus bersaing dengan petahana yang disokong rival yang berhasil mengalahkan Prabowo pada Pilpres 2014 dan jauh lebih diunggulkan.
Momentum isu penistaan agama jadi titik balik bagi islamists populism yang dicitrakan oleh Anies, bersaing sengit dalam drama yang penuh intrik sosial dan politik dengan pluralist populism yang dicitrakan oleh Ahok.
Dampaknya, setelah Anies merengkuh kemenangan, citra politik PKS yang merupakan salah satu gerbong penyokong Anies – di luar akar kuat ideologi partai –semakin lekat pula dengan islamist populism. Di kubu seberang, PSI yang juga salah satu kubu Ahok kian kental dengan citra politik pluralist populism.
Meski menurut Mietzner chauvinist populism Prabowo berakhir saat kalah di Pilpres 2019 dan memutuskan untuk bergabung dengan pemerintah, polarisasi islamist populism yang diwakili PKS dan pluralist populism yang dicitrakan PSI tak lantas usai.
Hal tersebut dinilai diejawantahkan ketika PKS memutuskan tak ikut mengikuti jejak Prabowo yang merapat dalam kekuasaan dan tinggal sebagai penyeimbang bersama kaum islamis, seperti Presidium Alumni (PA) 212 dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama.
Sementara pada sisi lain, PSI masih konsisten dengan citra pluralis bahkan seolah memiliki panggung untuk “membalas” Anies saat berhasil meraih kursi di DPRD DKI Jakarta pada Pemilu legislatif 2019 lalu.
Rangkaian perseteruan populisme tersebut dikonklusikan Mietzner berakar dari masalah sistem kepartaian di Indonesia itu sendiri akibat rendahnya keterwakilan secara konkret dan secara otomatis membuat eksploitasi populislah yang mengisi kesenjangan tersebut.
Lantas, benarkah ihwal yang menjadi kesimpulan Meitzner tersebut? Atau politik populisme-lah yang justru telah mengakar dan akan terus menjadi bagian dari demokrasi Indonesia?
Populisme, Patologi Demokrasi Yang Dibutuhkan?
Impresi di permukaan agaknya memang menggambarkan bahwa populisme seolah telah menjadi bagian tak terpisahkan pada dinamika politik yang digunakan oleh para aktor di tanah air pada domain tertentu.
Akan tetapi, menurut sejarawan Harvard, Niall Ferguson dalam esainya yang berjudul Populism as a Backlash against Globalization – Historical Perspectives, populisme adalah “minuman beracun” dan “memabukkan”.
Istilah memabukkan agaknya tepat menggambarkan bagaimana PKS dan PSI masih terkena efek dari populisme saat pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Residu yang berhulu dari chauvinist populism Prabowo itu masih mewarnai sentimen dan narasi politik yang dibawa oleh kedua partai politik (parpol).
Terlebih ketika Ahok check out dari hotel rodeo dan menempati kursi empuk komisaris utama Pertamina. Seketika interaksi dan friksi empat aktor politik – PKS dengan Ahok dan PSI dengan Anies – yang saling silang, tampak tak dapat dihindari.
Usulan PKS agar Ahok dicopot dari jabatannya sebagai komisaris utama akibat Pertamina merugi, serta PSI yang mengkritik rem darurat Covid-19 Anies di DKI Jakarta menjadi dua konteks yang mengingatkan publik bahwa konstelasi tersebut dinilai kental dengan pertentangan antara islamist populism dan pluralist populism jika ditelisik lebih dalam.
Namun di sisi lain, populisme juga tak selamanya buruk ketika dua intrik dan friksi PKS-Ahok dan PSI-Anies baru-baru ini dimaknai sebagai kritik konstruktif. Chantal Mouffe dalam In Defense of Lef-Wing Populism secara tersirat memaknai eksistensi populisme justru berpeluang menjadi sebuah hal positif dalam demokrasi karena absennya spektrum penyeimbang yang dapat mengakomodir porsi kolektif tertentu.
Mouffe sendiri berangkat dari publikasinya yang berjudul The Democratic Paradox yang membedakan antara demokrasi dan liberalisme. Demokrasi dimaknai memiliki nilai inheren berupa kedaulatan dan rakyat, dan di sisi lain liberalisme bertopang pada penegakan hukum, pembelaan HAM dan penghormatan pada kebebasan individual.
Tatkala berkaca pada hal tersebut, populisme justru menjadi sangat demokratis di mana dalam istilah Mouffe, “meradikalkan demokrasi” dikarenakan mengejawantahkan kedaulatan rakyat, terlepas dari muatan isu, ideologi, ataupun kepentingan.
Meski lekat dengan citra islamist populism, pada konteks kritik PKS terhadap Ahok dapat dimaknai sebagai pengisi kesenjangan demokrasi kala parpol lain sulit terbayangkan untuk melayangkan manuver serupa ketika faktanya berada di barisan pemerintah.
Hal itu sekaligus mengingatkan dan menyoroti pula preseden minor di mata publik atas polemik bagi-bagi jatah kursi komisaris utama di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk Pertamina.
Pada sisi PSI dan Anies, kritik rem darurat agaknya sangat tepat mengigat kasus Covid-19 di DKI Jakarta yang justru kian memburuk plus terdapat wacana terbaru terkait pembukaan kembali beberapa area publik oleh Anies, seperti bioskop yang dinilai kontraproduktif.
Bagaimanapun friksi dua pasang rival dengan citra populisme bertolakbelakang tersebut agaknya masih terus berlangsung alot ke depannya. Akan tetapi, adagium yang sangat terkenal mengatakan “tidak ada musuh atau kawan abadi di dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi” yang acapkali terbukti tepat, membuat mungkin saja konstelasi PKS, PSI, Anies, dan Ahok akan berubah drastis di kemudian hari.
Lantas, akankanh datang masa di mana Ahok dibela oleh PKS dan dikritik oleh PSI atau Anies yang diusung dalam pesta demokrasi oleh PSI? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.