Beberapa waktu lalu, penyanyi Agnez Mo yang kini telah berkarier di Amerika Serikat diundang dalam sebuah wawancara BUILD Series. Ceritanya mengenai identitas dirinya yang berbeda dengan orang Indonesia kebanyakan menjadi perbincangan publik di Indonesia.
PinterPolitik.com
“Try and talk and they ain’t listenin’ but they’ll point it out when you get ignorant” – Dreezy, penyanyi perempuan asal Amerika Serikat
Siapa yang tidak kenal dengan Agnez Mo? Penyanyi dan aktris yang sebelumnya dikenal sebagai Agnes Monica ini telah memulai kariernya sebagai figur publik di Indonesia semenjak masih kecil.
Siapa sangka? Agnes kecil yang pada tahun 1990-an dikenal identik dengan acara televisi Tralala Trilili kini telah bernyanyi dan berkarya bersama musisi-musisi Amerika Serikat (AS), seperti Timbaland, Chris Brown, dan French Montana.
Kiprah Agnez Mo di AS ini mungkin merupakan hasil perwujudan ambisinya untuk go international yang pernah digaungkannya sekitar tahun 2000-an. Namun, kiprah internasionalnya ini kini tampaknya tengah menuai kontroversi.
Dalam wawancara yang dilakukan dalam BUILD Series milik Yahoo!, pernyataan Agnez Mo menjadi buah bibir bagi warganet – dan politisi – di Indonesia. Pasalnya, selain membahas mengenai single barunya yang berjudul “Diamonds” bersama French Montana, Agnez Mo dan Kevan Kenney juga membahas mengenai perjalanan hidupnya sebagai musisi yang berasal dari Indonesia.
“Look at it as an opportunity for you to find yourself.” @agnezmo shares advice for fans going through hard times pic.twitter.com/sEBbceuAGf
— Kevan Kenney (@KevanKenney) November 22, 2019
Ketika ditanyai oleh Kenney mengenai identitas dirinya, Agnez Mo menyebutkan bahwa dirinya kerap merasa berbeda dengan kebanyakan warga Indonesia. Pelantun lagu “Coke Bottle” ini menceritakan latar belakangnya yang tidak berdarah asli Indonesia, melainkan merupakan campuran keturunan Jerman, Jepang, dan Tionghoa.
Pernyataan itu sontak dipermasalahkan oleh sebagian warganet dan politisi. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon misalnya, menyamakan Agnez Mo seperti Malin Kundang yang durhaka karena dianggapnya mengedisasosiasikan dirinya dengan Indonesia.
Banyak pihak menilai bahwa Agnez Mo yang kini tengah sukses di luar negeri ini lupa daratan terhadap tempat kelahirannya. Mereka pun menuntut permintaan maaf dari penyanyi tersebut atas ucapannya.
Terlepas dari benar atau tidaknya interpretasi makna pernyataan itu, apa yang sebenarnya mendasari pernyataan Agnez Mo? Apa yang tercermin dari pernyataan itu?
Kebanggaan Nasional
Pernyataan yang diungkapkan oleh Agnez Mo dalam wawancara dengan BUILD Series sebenarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana identitas sosial yang dimilikinya berbeda dengan sebagian besar masyarakat Indonesia. Terlepas benar atau tidak Agnez Mo memiliki kebanggan akan Indonesia, persoalan identitas ini bisa saja memengaruhi keterikatan diri terhadap identitas nasional.
Andreas Wimmer dari Columbia University dalam tulisannya yang berjudul Power and Pride menjelaskan bahwa diskriminasi yang didasarkan pada identitas – khususnya latar belakang etnis – dapat memengaruhi bangga atau tidaknya seseorang terhadap negaranya. Banyak studi juga mengungkapkan bahwa kelompok minoritas cenderung kurang mengidentifikasikan dirinya dengan identitas nasional.
Wimmer menekankan bahwa kecenderungan ini disebabkan oleh kesenjangan status politik yang terjadi antar-kelompok. Dengan melihat kelompok mana yang menguasai pusat kekuatan politik nasional, Wimmer menyebutkan adanya tendensi distribusi public goods yang menguntungkan kelompok dominan.
Kelompok dominan akan mendapatkan public goods yang lebih banyak dari pejabat-pejabat politik yang berasal dari kelompok yang sama. Bahkan, adanya kekuasaan di tangan kelompok dominan dianggap Wimmer dapat menumbuhkan rasa kepemilikan atas negara.
Oleh sebab itu, kelompok dominan akan lebih merasa bangga terhadap negaranya. Beberapa kelompok semacam ini yang dicontohkan dalam tulisan tersebut adalah kelompok Uzbek di Uzbekistan dan kelompok Kreol di Trinidad dan Tobago.
Di sisi lain, kelompok minoritas akan semakin merasa tidak terwakili dan tidak bangga dengan negaranya. Hal ini terlihat pada kelompok Muslim di Serbia, kelompok Rusia di Latvia, dan kelompok Albania di Makedonia.
Selain kelompok-kelompok tersebut, salah satu perdebatan mengenai perasaan nasionalisme dan patriotisme yang sempat populer di media internasional adalah aktivisme para pemain National Football League (NFL) yang berlutut ketika lagu kebangsaan AS “The Star-Spangled Banner” diperdengarkan.
Colin Kaepernick – atlet NFL yang memulai gerakan berlutut – menjelaskan bahwa dirinya tak ingin merasa bangga atas negaranya yang dianggapnya menindas kelompok Afrika-Amerika dan kelompok minoritas lainnya. Aksi Kaepernick menuai tanggapan negatif dari kelompok konservatif, termasuk Presiden AS Donald Trump.
Fenomena Kaepernick di AS ini boleh jadi merupakan cerminan dari penjelasan Wimmer mengenai korelasi diskriminasi terhadap perasaan bangga terhadap negara. Semakin rendah status politik kelompok negara tersebut – dan adanya disparitas distribusi public goods antar-kelompok, semakin sedikit rasa bangga seseorang dari kelompok tersebut terhadap negaranya.
Lantas, bagaimana dengan kelompok minoritas di Indonesia? Apa kaitannya dengan pernyataan Agnez Mo?
Diskriminasi di Indonesia
Pernyataan Agnez Mo sebenarnya turut mencerminkan adanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Bahkan, diskriminasi seperti ini juga dirasakan oleh beberapa individu minoritas yang pernah membawa nama harum Indonesia ke panggung dunia.
Susi Susanti dan Alan Budikusuma misalnya, merupakan pemain-pemain bulutangkis yang berhasil memenangkan beberapa pertandingan di laga internasional, seperti dengan meraih medali emas dalam Olimpiade 1992 di Barcelona, Spanyol. Sosok-sosok ini bahkan hingga kini masih diingat sebagai simbol keunggulan Indonesia di bidang olahraga bulutangkis.
Namun, identitasnya sebagai kelompok minoritas tampaknya sempat menghambat hak keduanya untuk menikah. Sebelum menikah, Susi dan Alan dipersulit dengan persyaratan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Selain Susi dan Alan, terdapat juga Tong Sin Fu (atau Tang Xianhu) – mantan pelatih nasional Perserikatan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) bagi Alan – merupakan mantan atlet Tiongkok kelahiran Indonesia yang akhirnya permohonannya atas status kewarganegaraan Indonesia ditolak pada 1998. Tong akhirnya kembali ke Tiongkok dan melatih pemain-pemain top dunia asal Tiongkok, seperti Lin Dan.
Terdapat juga pemain bulutangkis lain yang mengalami persoalan hampir sama dengan Tong, yakni Hendrawan. Atlet yang pernah meraih Juara Dunia pada tahun 2001 mengalami kesulitan dalam pengurusan status kewarganegaraannya. Akibatnya, presiden harus turun tangan agar status itu dapat diberikan.
Apa yang dialami oleh pemain-pemain bulutangkis berdarah Tionghoa ini sejalan dengan penjelasan Chang Yau Hoon dari Singapore Management University (SMU) dalam tulisannya yang berjudul Assimilation, Multiculturalism, and Hybridity. Hoon menjelaskan bahwa terdapat konsepsi kewarganegaraan yang berbeda terhadap kelompok Tionghoa di Indonesia.
Adanya pembedaan antara warga negara Indonesia (WNI) asli dan WNI asing melambangkan alien-ness kelompok minoritas Tionghoa. Share on XTerdapat pembedaan antara warga negara Indonesia (WNI) asli dan WNI asing. Menurut Hoon, adanya istilah “WNI asing” ini melambangkan alien-ness kelompok minoritas Tionghoa. Bukan tidak mungkin persoalan inilah yang dialami individu-individu minoritas seperti Susi, Alan, Tong, Hendrawan, hingga Agnez Mo.
Kasus-kasus diskriminatif yang terjadi pada sosok-sosok berprestasi di bulutangkis Indonesia ini setidaknya menggambarkan bahwa persoalan identitas yang dialami Agnez Mo – dan kelompok minoritas Indonesia lainnya – bukanlah isapan jempol.
Adanya pembedaan yang berdampak pada perlakuan diskriminatif dari negara ini sejalan dengan penjelasan Wimmer. Dengan adanya diskriminasi ini – seperti permohonan status kewarganegaraan yang dipersulit, bukan tidak mungkin individu-individu minoritas semakin merasa tidak bangga dengan negaranya.
Apalagi, citra Indonesia yang sempat memburuk akibat Tragedi Mei 1998 turut berdampak pada individu-individu Tionghoa yang berpergian ke negara-negara yang beretnis sama. Salah satu sumber PinterPolitik.com menjelaskan bahwa sebuah insiden pernah terjadi padanya ketika dirinya berpergian ke Hong Kong pada tahun 1998.
Hal ini dialaminya ketika menaiki taksi. Pada awalnya, supir taksi mengira dirinya berasal dari Singapura. Namun, setelah mengobrol lama dan ketika supir taksi tersebut mengetahui bahwa penumpangnya berasal dari Indonesia, kendaraan langsung diberhentikan dan penumpang dipaksa turun di tengah-tengah jalan tol Hong Kong.
Emosi anti-Indonesia ini di luar negeri ini bisa saja makin berdampak pada rasa keterikatan kelompok-kelompok minoritas terhadap Indonesia. Bagaimana tidak? Identitasnya sebagai orang Indonesia turut menjadi tantangan bagi mereka, seperti individu-individu minoritas yang harus melarikan diri ke luar negeri pada tahun 1998.
Persoalan inilah yang harus menjadi fokus masyarakat dan negara. Diskriminasi yang menghantui kelompok minoritas di Indonesia perlu diberhentikan bila ingin rasa bangga ini juga membara di hati saudara-saudara minoritas lainnya.
Jangan sampai ada kecenderungan melakukan diskriminasi tetapi menyalahkan individu minoritas yang sukses apabila rasa keterikatannya pada Indonesia menjadi berkurang.
Mungkin, lirik rapper Dreezy di awal tulisan dapat menggambarkan situasi yang dialami kelompok minoritas di Indonesia. Kelompok minoritas tidak didengar ketika ingin berbicara tetapi dibesar-besarkan ketika melakukan sedikit kesalahan. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.