Nominal stimulus ekonomi jilid ketiga penanganan Covid-19 Indonesia telah diumumkan oleh Presiden Jokowi. Namun seiring eskalasi pandemi, belum diketahui sejauh mana perekonomian Indonesia bisa bertahan di tengah keterpurukan serta pihak mana yang akhirnya benar-benar bisa menjadi “juru selamat” perekonomian republik ini.
PinterPolitik.com
Gelontoran dana sebesar Rp 405,1 triliun telah dianggarkan pemerintahan Jokowi sebagai respon semakin memburuknya sektor perekonomian Indonesia di tengah terpaan Covid-19. Namun, peruntukkan stimulus yang cukup membebani APBN tersebut kali ini lagi-lagi dinilai belum akan membawa dampak signifikan selama tren Covid-19 terus meningkat seiring waktu.
Satu nama yang selama ini sangat berpengaruh dalam kebijakan di sektor perekonomian, terutama fiskal Indonesia ialah Sri Mulyani Indrawati. Ia telah dua kali dipercaya menjabat Menteri Keuangan (Menkeu) di dua kepemimpinan berbeda hingga saat ini karena dianggap menjadi orang yang sangat paham seluk beluk kekuatan dan kelemahan finansial negara.
Saat ini, sebagai Menkeu, ia merupakan referensi utama Presiden Jokowi untuk mengatasi dan merumuskan kebijakan terbaik yang dapat ditempuh selama pandemi Covid-19 meluluhlantahkan perekonomian Indonesia. Namun, ia dihadapkan pada problematika yang bahkan belum pernah dihadapi sebelumnya ketika sektor ekonomi Indonesia diprediksi akan mengalami mimpi terburuk sejak krisis 1998 lalu.
Dalam pernyataannya belum lama ini, ia mengatakan bahwa skenario terburuk dampak Covid-19 bagi Indonesia ialah Rupiah yang dapat berada di kisaran Rp 20 ribu per dolar AS. Selain itu, kondisi perekonomian nasional pada kalkulasi terburuk diperkirakan tumbuh minus 0,4%.
Pada perspektif lain, World Economic Forum menyatakan dalam keterangan tertulisnya bahwa kondisi saat ini tidak dapat direfleksikan dengan krisis ekonomi di tahun 2008. Problematika perekonomian akibat Covid-19 saat ini dinilai berada di ambang keterpurukan lebih dikarenakan sektor riil yang berhenti beroperasi secara masif di hampir seluruh negara, yang kemudian berdampak signifikan pada pendapatan dan tingkat konsumsi secara otomatis.
Namun demikian, dengan skala pandemi yang semakin mengglobal serta jangka waktu yang belum diketahui, Covid-19 dinilai akan dan telah berdampak negatif secara langsung pada perekonomian di 203 negara dengan kemampuan bertahan dalam krisis di bidang perekonomian yang berbeda-beda. Oleh karena itu, potensi efek domino keterpurukan ekonomi suatu negara yang signifikan harus tetap diantisipasi.
Dalam hal ini, peran seorang Sri Mulyani akan sangat vital pada momentum dan potensi keterpurukan yang telah diproyesikan agar, paling tidak, bertahan di angka terbaik yang bisa dicapai. Dengan pengalamannya pada beberapa jabatan prestis di bidang fiskal, baik di level nasional maupun internasional, serta pernah pula menjabat Menkeu saat krisis pada tahun 2008, ia dinilai dapat menjadi sosok kunci ketahanan ekonomi Indonesia menghadapi Covid-19 jika murni dieksekusi tanpa ada campur tangan kepentingan politik pihak lain di setiap kebijakan.
Strategi Sang Teknokrat Ulung
Robert S. Milne dalam tulisannya berjudul “Technocrat and Politics in the ASEAN Countries” menyatakan bahwa peran teknokrat cukup penting di negara-negara Asia Tenggara sejak deklarasikan kemerdekaan masing-masing sebagai “arsitek” fundamental di sektor-sektor vital negara, bahkan hingga saat ini. Teknokrat mengambil peran strategis mulai dari pimpinan lembaga pemerintahan, menteri, hingga kepala negara.
Peran serupa dimainkan Sri Mulyani di Indonesia. Keahliannya dalam keuangan dan perekonomian negara membuatnya menjadi seorang profesional di bidang tersebut. Malang melintang di ranah akademis, takdir mengantarkannya ke lingkaran pemerintahan dan menjelma sebagai teknokrat ulung. Jabatan strategis yang pernah diembannya antara lain sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kabinet Indonesia Bersatu, Menkeu di kabinet yang sama, hingga kemudian dipercaya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia pada Juni 2010 sebelum kembali menjadi Menkeu kepercayaan di dua periode Jokowi. Dalam setiap jabatannya, ia dianggap berhasil menjaga stabilitas dan membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik.
Di ambang keterpurukan ekonomi Indonesia akibat pandemi Covid-19 ini, sebagai teknokrat dan profesional sejati, Sri Mulyani menjadi sosok sentral yang dipercaya menyiapkan strategi keuangan Indonesia dari keruntuhan melalui berbagai rekomendasi kebijakan fiskal, termasuk pemberian stimulus ekonomi.
Namun sayangnya, dalam tiga stimulus ekonomi Covid-19 yang telah dikeluarkan pemerintah sampai sejauh ini, belum ada yang dianggap benar-benar signifikan menopang perekonomian secara komprehensif. Bahkan, justru kebijakan yang diambil sangat bertolak belakang dengan citra pemerintahan Jokowi yang gemar mengeluarkan kebijakan populis.
Sebut saja stimulus Covid-19 tahap satu yang memberikan insentif diskon tiket pesawat untuk mengangkat sektor pariwisata yang banyak dinilai sangat tidak relevan dan cenderung aneh di tengah wabah. Kemudian stimulus tahap dua yang menyasar pajak penghasilan pekerja manufaktur yang dianggap juga tidak relevan dan tidak tepat sasaran. Hingga stimulus tahap tiga dengan nominal yang cukup besar namun terlalu banyak “persyaratan” bagi rakyat untuk merasakan manfaat stimulus tersebut.
Padahal, kita ketahui kebijakan tersebut hampir dipastikan dikeluarkan pemerintahan Jokowi atas rekomendasi Menteri Keuangan, dalam hal ini Sri Mulyani. Menjadi pertanyaan tersendiri ketika sebagai teknokrat yang memahami konteks permasalahan serta telah hafal karakteristik populis kebijakan pemerintah selama ini, justru memberikan rekomendasi kebijakan stimulus ekonomi yang mudah untuk dinilai tidak populer tersebut.
Masih mengacu pada tulisan Milne sebelumnya, teknokrat dipilih untuk menjabat dalam pemerintahan untuk meningkatkan legitimasi pemerintah itu sendiri. Namun dalam perannya, teknokrat acapkali hanya dianggap sebagai pelengkap karena tidak memiliki imunitas dalam atmosfer lingkaran kekuasaan eksekutif yang kental akan kepentingan politik.
Berangkat dari hal tersebut, mengemuka intrpretasi bahwa Sri Mulyani disinyalir masih memiliki obligasi atas tempat ia berada di puncak karir tertinggi sebelumnya yakni sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Hal ini dikarenakan jika dibandingkan dengan posisi Menkeu, posisinya di Bank Dunia jauh lebih memberikannya previlege dan pengaruh yang prestisius termasuk imunitas serta kesempatan manuver yang lebih leluasa.
Akhir tahun 2019 lalu bahkan ia “curhat” bahwa pekerjaannya di Bank Dunia lebih mudah dikarenakan institusi internasional tersebut memberikan kesempatan lebih untuk berkembang dan mengedepankan kesetaraan gender.
Lantas, apakah dengan jamaknya kebijakan tidak populis pemerintah dan bahkan cenderung regresif di bidang keuangan dalam merespon pandemi Covid-19 mengindikasikan bahwa ada suatu agenda besar Menkeu Sri Mulyani – yang berdasarkan latar belakangnya – dinilai pro terhadap IMF-Bank Dunia sebagai kreditur negara-negara ketika terjadi krisis?
Sebuah Posibilitas Skenario
Konsep memperlamat penyebaran Covid-19 dengan meratakan kurva atau flatten the curve saat ini tengah gencar dilakukan negara-negara di dunia. Ini bertujuan untuk menekan jumlah angka terinfeksi, namun konsekuensinya pandemi akan berlangsung lebih lama.
Namun demikian, langkah ini adalah yang paling tidak beresiko bagi banyak aspek, seperti menekan tingkat kematian akibat Covid-19, hingga memberikan relaksasi beban bagi medis yang sudah terlalu berat, hingga meringankan efek kejut krisis perekonomian. Oleh karena itu, saat ini konsep tersebut juga mulai diupayakan di Indonesia.
Di sisi lain, progres tengah dilakukan beberapa perusahaan dan lembaga riset untuk menciptakan vaksin Covid-19. Produsen tersebut antara lain Moderna Inc., Johnson & Johnson serta Vaxart Inc. dari Amerika Serikat, BioNTech SE dari Jerman yang menggandeng Shanghai Fosun Pharmaceutical Group, hingga CanSino Biolgics dari Tiongkok.
Namun menurut Direktur National Institute of Allergy and Infectious Disease NIH, Anthony S. Fauci, vaksin tersebut mustahil tersedia di pasar dalam kurun waktu 12 sampai 18 bulan ke depan. Hal ini seperti berbanding lurus dengan upaya meratakan kurva negara-negara di dunia saat ini. Selain itu, apabila vaksin sudah tersedia pun, dengan memburuknya kondisi ekonomi berbagai negara, kemampuan suatu negara tersebut untuk dapat menyediakan vaksin tersebut menjadi tanda tanya tersendiri.
Jika kita telah sampai pada titik ini, dapat dilihat bahwa ada kecenderungan pandemi ini masih akan berlangsung lama. Dan di saat yang sama, perekonomi negara-negara di dunia, besar kemungkinan semakin “kehausan” dan membutuhkan pemecahan masalah yang hampir serupa, yaitu kebutuhan akan “kucuran” pendanaan. Ketika kondisi tersebut terjadi, IMF-Bank Dunia dapat dipastikan menjadi salah satu lembaga internasional yang paling diandalkan dan akan mendapatkan klien serta aliran dana yang masif.
Dengan analisa sebelumnya mengenai sosok Sri Mulyani, yang kemudian dikaitkan dengan estimasi logis periode pandemi serta eksistensi vaksin Covid-19, bukan sebuah kebetulan ketika rekomendasi kebijakan di bidang keuangan Indonesia yang tidak populis namun tetap dikeluarkan selama Covid-19 ini disinyalir mengerucut pada semakin berkurangnya kemampuan perekonomian negara untuk bertahan. Dan pada akhirnya, kesegaran instan berupa paket pendanaan IMF bukan lagi menjadi pilihan, namun sebuah keniscayaan. Bagaimanapun, hanya waktu yang dapat menjawabnya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.