Dua klub bola voli binaan Badan Intelijen Negara (BIN), yakni Jakarta Sekolah Tinggi Intelijen (STIN) BIN dan Surabaya BIN Samator tampil apik di ajang Proliga 2023. Tak hanya di ajang bola voli, BIN juga telah meluncurkan tujuh lembaga olahraga lain, mulai dari renang hingga esports. Lalu, mengapa lembaga telik sandi itu seolah “bergerak” di luar khittahnya?
Badan Intelijen Negara (BIN) tak hanya aktif dalam perannya secara terbuka dalam penanganan Pandemi Covid-19. Belakangan, lembaga telik sandi juga merambah dunia olahraga bola voli.
Tak tanggung-tanggung, dua klub bola voli yang dinaungi Persatuan Olahraga BIN (PORBIN), yakni Jakarta Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) BIN dan Surabaya BIN Samator kini tengah bertarung dengan klub lainnya di kompetisi nasional Proliga 2023.
Menariknya, dua klub itu tampil cukup baik. Bahkan, Jakarta STIN BIN belum terkalahkan dalam dua pertandingan putaran pertama.
Eksistensi dua klub bola voli intel sendiri berawal dari gagasan Kepala BIN Budi Gunawan (BG).
Pada Oktober 2022 lalu, BG meluncurkaan PORBIN sebagai wadah khusus kepada personel dan taruna yang memiliki talenta di bidang olahraga.
Meskipun terkesan tak lazim bagi intel maupun calon intel untuk tampil terbuka, BG menilai kehadiran PORBIN merupakan salah satu bentuk kontribusi atlet yang juga merupakan “intel BIN” agar bisa meneruskan prestasi ke level nasional.
Di bawah PORBIN, terdapat delapan cabang olahraga atau klub yang dibina, di antaranya BIN Running Club, BIN Volleyball Club, BIN Weightlifting Club, Waskita Swimming Club, BIN Tennis Club, Velox et Exactus Shooting Club, dan Satlasus Tarung Derajat STIN, dan esports.
Sebuah ruang interpretasi terbuka ketika “go public” BIN bukan kali pertama dilakukan di bawah kepemimpinan BG.
Dalam penanganan Pandemi Covid-19 lalu, misalnya, BIN turut aktif membantu pemerintah dalam melakukan prediksi plus analisis sebaran virus, tracing, tracking, mendukung program vaksinasi, hingga ikut memberikan bantuan sosial (bansos) di berbagai daerah.
Kembali, keterlibatan aktif terbaru BIN di bidang olahraga plus dalam penanganan pandemi sesungguhnya menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mulai dari mengapa lembaga dengan hakikat kerja dan personel rahasia yang harus melibatkan diri, hingga bukankah terdapat instansi maupun lembaga negara lain yang bisa lebih pas untuk itu?
Intel Kearifan Lokal?
Indonesia memiliki sejarah panjang mengenai sepak terjang dan bentuk manuver lembaga telik sandi negara dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk aspek sosiokultural dan sosiopolitik sejak era kemerdekaan.
Kesuksesan sebuah lembaga intelijen dalam mencapai tujuan yang dikehendaki hingga dalam menopang stabilitas negara memang tak lepas dari pendekatan yang sesuai dengan konteks dan situasi.
Itu sebagaimana disiratkan dalam sebuah jurnal yang berjudul Socio-Cultural Intelligence and National Security yang ditulis oleh Robert R. Tomes.
Dia menjelaskan mengapa penyesuaian pendekatan aktivitas intelijen oleh lembaga telik sandi berdasarkan kondisi sosial, budaya, dan politik “target” begitu krusial.
Tomes mencontohkan Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang memiliki sejarah panjang dalam mengumpulkan dan menggunakan informasi terkait demografi, budaya, dan identitas untuk mendukung kebijakan keamanan nasional.
Dalam temuannya, saat ini ketidakstabilan lokal dan regional terkait dengan kontraksi ekonomi global, perubahan iklim, kekurangan air dan pangan, urbanisasi, serta masalah sosial-ekonomi lainnya melampaui ancaman tradisional.
Sebagian besar negara berkembang tampaknya ditakdirkan untuk menghadapi gelombang ketidakstabilan baru, yakni persoalan menjaga kestabilan domestik.
Pendekatan yang disebut sebagai socio-cultural intelligence disebut Tomes begitu penting untuk dicapai demi mencapai kestabilan itu.
Meskipun konteks yang dibicarakan adalah menjaga kestabilan domestik negara lain yang berpotensi menjadikan AS sebagai ancaman dan mengusik keamanan nasional negeri Paman Sam. Relevansi pendekatan intelijen berbasis kondisi sosial tampaknya memang jadi satu hal penting untuk dicermati.
Di Indonesia, pendekatan itu sendiri telah dilakukan lembaga intelijen dalam bentuk yang memang sesuai dengan “kearifan lokal”. Jika menariknya ke peran beberapa lembaga intelijen sebelum melebur ke BIN di era Orde Baru (Orba), menjaga kestabilan domestik – terutama politik – berdasarkan kondisi sosial kemasyarakatan dapat ditelusuri.
Namun, output citra yang dimunculkan terhadap lembaga telik sandi untuk menjaga kestabilan sosial kala itu adalah “menyeramkan”. Pendekatan dengan tendensi represif dan tak menolerir segala aktivitas sosiokultural yang bertentangan dengan pemerintah berkontribusi besar terhadap citra tersebut.
Impresi intel kemudian seolah meredup pasca Orba tumbang. BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang berganti nama menjadi BIN di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tampak kehilangan panggung dan ruhnya.
Selain karena minim faktor publisitas, pendekatan sosiokultural dan sosiopolitik BIN pada dekade pertama pasca Reformasi bergulir agaknya lebih ditekankan kepada mencari titik keseimbangan ke arah mana kekuasaan akan berjalan.
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan BG, citra dan panggung BIN kemudian tampak mengalami rekonstruksi. Selain panggung belakang layar yang menjadi hakikat lembaga intelijen, pendekatan sebagaimana dijelaskan Tomes diaktualisasikan BIN dengan lebih terbuka.
Selain aktif dan go public dalam membantu penanganan pandemi yang memiliki justifikasi jika dianalisis dari perspektif medical intelligence, menyasar minat masyarakat seperti aktif di sejumlah cabang olahraga bukan tidak mungkin juga dilakukan demi sebuah “kerja intelijen”.
Kendati demikian, praktik intelijen dengan kearifan lokal ini meninggalkan sejumlah tanya. Termasuk seperti yang dianalisis Tangguh Chairil dalam tulisannya Indonesia’s Intelligence Service is Coming Out to Counter COVID-19 di mana dalam peran penanganan pandemi, dia menilai ada nuansa perluasan peran BIN.
Perluasan peran ke ranah lain seperti olahraga pun kemudian meninggalkan pertanyaan lain, yakni mungkinkan ada kepentingan tertentu di balik keterbukaan BIN?
Legacy Baru Politik Intelijen?
Khusus dalam aspek keterlibatan di olahraga profesional, lembaga negara memang tak jarang turut terlibat. Di Asia Tenggara, misalnya, keikutsertaan klub binaan lembaga negara dengan “power khusus” seperti tentara atau kepolisian dalam kompetisi olahraga profesional merupakan hal yang jamak terjadi.
Akan tetapi, sekali lagi, tidak dengan keterlibatan lembaga intelijen. Ihwal yang menjadikan keterlibatan dan keterbukaan BIN belakangan ini dalam berbagai urusan tampak menjadi sebuah anomali.
Meski memiliki justifikasi untuk turut berkontribusi memberikan prestasi bagi negara melalui olahraga, citra lembaga intelijen yang semestinya bekerja di balik layar tetap dipertanyakan.
Pertanyaan itu selaras seperti apa yang dikemukakan Tangguh mengingat BIN sebelumya “tidak mencari kredit untuk pekerjaannya”.
Satu yang dapat diinterpretasi mengenai penyebab kiranya terkait dengan legacy politik intelijen.
Pengamat keamanan nasional ISESS yang juga anggota tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik Khairul Fahmi menilai gerak-gerik BIN yang belakangan ini terbuka dan seolah ingin “mencari panggung”, tampaknya berkaitan dengan alasan politik.
Sebagaimana yang banyak dipahami, “relasi politik” saling memperkuat satu sama lain di antara Presiden Jokowi dan BG, plus Megawati Soekarnoputri telah terjalin selama ini.
Citra BIN yang lebih terbuka dan “ramah” boleh jadi tak hanya terkait strategi intelijen, tetapi merupakan bagian dari konstruksi dan memperkuat relasi itu serta meninggalkan impresi baru dari sebuah lembaga intelijen.
Tetapi, andai benar demikian, fenomena BIN yang “keluar dari kegelapan” kiranya perlu ditelisik ulang melalui tulisan Chris Mooney yang berjudul Science Confirms: Politics Wrecks Your Ability to Do Math.
Mengutip studi dari Yale Law School, Mooney menyebut gairah politik dapat merusak keterampilan penalaran yang sangat mendasar. Sebagaimana diketahui, penalaran merupakan bagian penting dari sebuah proses dan kerja intelijen.
Dengan kata lain, adanya kepentingan politik bukan tidak mungkin telah dana akan membuat BIN melupakan protokol kerja yang paling mendasar, yakni bergerak secara senyap.
Kendati begitu, penjelasan di atas masih merupakan penafsiran berdasarkan variabel-variabel yang muncul di permukaan. Justifikasi dan urgensi “rahasia” lain yang menjadi motivasi BIN untuk go public bisa saja eksis dan memiliki tujuan konkret bagi kinerja intelijen demi kepentingan negara. (J61)