“Saya suka kemewahan!” Begitu ucap Fredrich selaku advokat Setnov. Apakah advokat lainnnya juga demikian?
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]engan gestur yang komikal, bahkan cenderung aktif, Fredrich Yunadi memberi pernyataan kepada Najwa Shihab, jika dirinya bisa menghabiskan uang sampai Rp. 5 miliar untuk berlibur ke luar negeri. Dalam kesempatan yang sama, ia mengeluarkan kalimat pamungkas, yang menjadikannya bulan-bulanan di dunia maya, “Saya suka kemewahan!”
Sosok Fredrich Yunadi memang sempat santer memenuhi pemberitaan media arus utama karena tugasnya sebagai kuasa hukum Setya Novanto. Kliennya yang tak kalah banyak ‘tingkah’ dengan dirinya tersebut, menjadi tersangka dalam kasus mega korupsi KTP elektronik. Sebagai kuasa hukum yang baik, Fredrich berusaha menjelaskan dan membela klien sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya, walau menggunakan alasan paling melantur sekalipun.
Ungkapan yang dianggap melantur tersebut adalah keinginannya untuk membawa perkara kliennya ke pengadilan HAM Internasional. Tak ayal, para praktisi hukum banyak menanggapinya. Pakar hukum acara pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar berkata jika pernyataan asbun (asal bunyi) Fredrich itu, sangat lebay dan hanya akan memperpanjang daftar kekeliruannya.
Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, turut mengomentari pernyataan Fredrich melalui twitter. “Frederick akan melaporkan KPK ke pengadilan HAM Internasional? Hahaha, jangan-jangan Fredrick tak tahu bahwa Pengadilan Internasional hanya mengadili genosida dan kejahatan kemanusiaan. Genosida dan kejahatan kemanusiaan itu punya arti stipulatif, Bung. Tak bisa disuruh ngurusi Setnov,” tulisnya melalui twitter.
Sebelum namanya naik dalam kasus ‘tabrak tiang listrik’, jasa Fredrich pernah pula dipakai Budi Gunawan dalam kasus ‘rekening gendut Polri’ pada 2015 lalu. Saat itu, Hakim Sarpin berkali-kali mengingatkan Fredrich jika pertanyaan yang diberikan kepada Iguh Sipurba, penyelidik KPK, tidaklah relevan alias tak sesuai materi praperadilan.
Salah satu pertanyaan yang dilemparkan Fredrich adalah “Landasan hukum apa saudara diangkat jadi penyelidik?” Pertanyaan Fredrich yang tak nyambung, dibalas mosi keberatan dari Kepala Biro Hukum KPK, Chatarina Muliana Girsang. Sontak Fredrich menyela pembicaraan dengan nada suara tinggi, “Saya bicara dengan saksi, mereka bukan pembela!”
Pernyataan dan keputusan yang diambil Fredrich terhadap kliennya memang dinilai kontroversial. Mulai dari melaporkan pembuat meme Setnov ke polisi, meminta KPK izin terlebih dahulu ke Presiden sebelum memeriksa Setnov, hingga menyarankan Setnov mangkir dari pemeriksaan KPK. Jejak yang bahkan sudah terekam sebelumnya di kasus Budi Gunawan, mau tak mau menghadirkan sebuah pertanyaan tersendiri. Bagaimana proses perekrutan dan bimbingan dalam dunia advokasi?
Sebab, Mahfud MD juga berkata jika dunia advokat haruslah menata diri supaya kuasa hukum atau advokat yang tak paham hukum, bahkan yang oon, tak perlu ada. “Sekarang ini mulai ada kuasa hukum yang hanya pandai cuap-cuap. Proses rekrutmen dan pembinaan etika harus dijaga dari awal jangan sembarangan disumpah,” katanya.
Dunia Advokat dan ‘Kemewahannya’
Menjadi advokat barangkali adalah pekerjaan yang masih diimpikan oleh sebagian besar masyarakat. Pamor yang tercetak dan familiar, serta makin diperkuat oleh pernyataan Fredrich adalah, profesi advokat akan mendatangkan kesejahteraan berupa bayaran jasa atau konsultasi hukum yang nilainya selangit. Di Amerika Serikat, advokat bahkan dianggap sebagai pekerjaan dengan bayaran tertinggi dibandingkan profesi lainnya.
Di Indonesia, untuk menjadi advokat, seorang sarjana hukum harus lulus tes advokasi terlebih dahulu. Setelah itu, mereka menjalani pelatihan selama tiga bulan. Calon advokat, sudah menerima uang saku sebesar US$ 500 tiap bulan, sampai masa pelatihan selesai. Setelah selesai, calon advokat akan dilantik dan dibina oleh Ketua Dewan Pengurus Nasional Peradi.
Setelah dilantik, advokat akan diambil sumpahnya dalam acara Pengambilan Sumpah Jabatan Advokat yang difasilitasi oleh Ketua pengadilan Tinggi setempat. Menurut Arie Arman dari DNC Lawfirm, proses ini memang mengharuskan calon advokat mengeluarkan sejumlah uang terlebih dahulu.
Barulah setelah itu, ia menjadi on job training selama sembilan bulan. Bila lulus, jabatannya akan naik menjadi junior associate dengan bayaran sebesar US$ 800. Dua sampai tiga tahun berikutnya, statusnya meningkat menjadi senior associate dengan gaji sekitar US$ 2000 per bulan. “Tapi soal besaran ini relatif. Kalau pendapatan sedang besar, maka (gaji) bisa lebih besar lagi,” ungkap Arie.
Selain jenjang karir yang mempengaruhi pendapatan seorang advokat, ada pula beberapa elemen penting yang mempengaruhi biaya pemakaian jasa seorang advokat. Elemen tersebut antara lain, permasalahan hukum yang dihadapi, wilayah atau tempat tinggal sang pengacara, kondisi klien, jam terbang, pengalaman, serta nama besar pengacara.
Di Indonesia, nama besar sang pengacara memang mempengaruhi besaran biaya yang dikenakan jika memakai jasanya. Menurut Merdeka.com, lima pengacara termahal sekaligus terkaya di Indonesia adalah Hotman Paris Hutapea, Hotma Sitompul, Alm. Adnan Buyung Nasution, OC. Kaligis, dan Jual Felix Tampubolon.
Membenahi Polemik ‘Ketokohan’
Dunia advokat, seperti halnya dunia profesi lainnya, memiliki polemik dan permasalahannya sendiri. Seperti yang disampaikan oleh Mahfud MD yang mengharap tubuh advokat bisa mengadakan sebuah penataan kembali agar advokat yang asal cuap-cuap dan asbun apalagi oon, tak muncul kembali. Pada kenyataannya Mahfud MD tak salah sama sekali.
Sejak Undang-Undang Advokat (UUA) berdiri di tahun 2003, beberapa pegiat hukum, salah satunya Erman Umar dari Kongres Advokat Indonesia (KAI), berkata bahwa UUA tahun 2013 sudah tidak selaras dengan perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini merujuk pada pemberian kebebasan berorganisasi kepada warga negaranya dan tidak mencerminkan aspirasi sebagian besar advokat yang sulit disatukan dalam sebuah wadah organisasi.
Untuk menyatukan berbagai organisasi advokat di Indonesia dan demi mengusahakan independensi praktisi hukum ini, perlu diadakan musyawarah nasional (Munas) bagi kelompok advokat. Namun sayang, di tahun 2015 Munas tersebut berakhir ricuh dan malah membagi tubuh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang sebelumnya merupakan organisasi advokat terbesar Indonesia, menjadi tiga bagian dengan tiga pengurus yang masing-masing mengklaim legitimasinya.
Otto Hasibuan yang mengklaim dirinya masih menjabat sebagai Ketua Umum Peradi yang sah, kemudian menggunakan keabsahannya tersebut untuk menunda Munas serta membentuk kepengurusan Peradi periode 2015 -2020. Massa yang kecewa dan tak menerima putusan tersebut, akhirnya menunjuk pejabat (sementara) lainnya sebagai pimpinan Peradi, yakni Hasanudin Nasution, Humphrey Djemat, dan Luhut Pangaribuan.
Di saat yang sama, Juniver Girsang, turut mengklaim dirinya sebagai Ketua Umum Peradi setelah didukung 35 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) secara aklamasi. Dirinya menolak mengakui adanya pejabat lain atau sementara dalam Peradi, sebab menurutnya hal tersebut tak diatur dalam AD/ART.
Aksi saling sikut dalam organisasi advokat yang terjadi secara terus menerus, diduga karena gengsi dalam mengelola uang yang begitu besar jumlahnya di Peradi. Fakta ini disampaikan praktisi hukum Erwin C. Sihombing, dalam Suara Pembaruan. Sehingga, menurut Erwin, Peradi sudah tak lagi punya tujuan mengabdi pada masyarakat dan hukum itu sendiri.
Konflik di dalam tubuh advokat ini membuat status hukum advokat yang setara dengan institusi penegak hukum lainnya, menjadi diragukan, bahkan dipandang sebelah mata. Ditambah lagi perebutan kekuasaan dan uang ini, makin menunjukkan kalau banyak advokat yang miskin idealisme dan terkontaminasi politik praktis. Pakar hukum Yesmil Anwar turut menambahkan, jika profesionalitas dan etika kurang mendapat perhatian lagi oleh Peradi.
Dengan demikian, nyinyiran yang datang dari Mahfud MD kepada Fredrich bukan hal yang sepenuhnya salah. Tubuh advokat di Indonesia memang membutuhkan penataan kembali, agar idealisme para advokat dalam mengabdikan diri di hadapan masyarakat dan hukum terjaga. Jika membicarakan profesi advokat sebatas kemewahan dan adu nama besar, tanpa memperhatikan masyarakat kecil yang mencari keadilan, maka tak ada lagi kemuliaan dari profesi tersebut. (Berbagai Sumber/A27)