HomeNalar PolitikAdu Tagar, Rebutan Ruang

Adu Tagar, Rebutan Ruang

Massa pendukung #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja bertemu di CFD Jakarta. Aksi saling sindir pun tak terhindarkan, terutama di dunia maya.


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]emandangan yang ada di Car Free Day (CFD) Jakarta  setiap pekannya memang mengesankan. Masyarakat tumpah ruah di jalanan untuk melakukan aktivitas olah raga, berdagang, atau sekadar jalan-jalan. Rasa terkesan ini pernah diungkapkan oleh Mantan Wali Kota London Boris Johnson.

Maraknya masyarakat yang memeriahkan suasana CFD tentu memukau banyak orang. Oleh karena itu, tidak jarang, gelaran tersebut seringkali menjadi sarana promosi berbagai hal, tidak terkecuali dalam politik. Memang, ada peraturan yang sempat melarang penggunaan arena tersebut untuk kepentingan politik, tetapi hal itu nampaknya tidak berhasil mencegah masyarakat untuk mengekspresikan pilihan politik mereka.

Kondisi semacam itu terjadi beberapa waktu lalu. Masyarakat yang tengah beraktivitas di arena CFD tersita perhatiannya karena ada sekelompok orang yang mengggunakan kaos dengan tagar #2019GantiPresiden. Tak disangka, gerakan tersebut bukan satu-satunya ekspresi politik yang hadir di CFD saat itu. Dari sisi berlawanan, hadir massa berkaus putih dengan tagar #DiaSibukKerja.

Terlihat bahwa di pagi itu, ada perebutan ruang CFD di antara kedua kelompok. Sebuah video viral bahkan menggambarkan bahwa ada intimidasi dari kubu #2019GantiPresiden kepada #DiaSibukKerja. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa CFD sebagai ruang terlihat sangat penting sehingga terjadi kompetisi di sana.

Bertemunya Dua Massa

Di atas kertas, penggunaan area CFD untuk kegiatan berbau politik adalah hal yang haram. Hal ini terjadi karena adanya Pergub yang melarang hal tersebut. Akan tetapi, Pergub tersebut tidak mampu mencegah keinginan orang-orang yang ingin menarik perhatian massa.

Hal ini ditunjukkan oleh kelompok massa #2019GantiPresiden yang ingin meramaikan jalanan Thamrin saat itu. Mereka mengaku spontan ingin menunjukkan kepada masyarakat, tagar yang tengah gencar mereka promosikan.

Ternyata pagi itu, ada massa lain yang menghadiri CFD Jakarta. Ada sekelompok orang berkaus putih menawarkan wacana tandingan: #DiaSibukKerja. Massa ini umumnya terdiri dari perempuan dan tidak jarang ditemui anak-anak.

Adu Tagar, Rebutan Ruang

Kedua kelompok ini terlihat seperti sedang berebut arena CFD untuk menggemakan wacana yang mereka usung masing-masing. Keduanya bahkan tampak saling bersaing untuk menunjukkan kekuatan dan merebut simpati masyarakat.

Pertemuan kedua kelompok ini, pada akhirnya juga menimbulkan sedikit percikan. Dalam sebuah video yang viral, terlihat kalau kelompok #2019GantiPresiden melakukan intimidasi terhadap kelompok #DiaSibukKerja.

Warga pendukung #2019GantiPresiden menuding kalau kelompok #DiaSibukKerja adalah massa bayaran. Mereka kemudian mengekspresikan tudingan tersebut dengan melakukan sindiran dan pengejaran terhadap massa berkaus putih tersebut.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Sayang, ekspresi mereka sepertinya dapat dianggap berlebihan. Sindiran tersebut terlihat seperti perundungan (bullying), apalagi ada anak-anak yang menjadi korban.

Peristiwa itu menjadi bahan obrolan Netizen sepanjang hari. Kebanyakan Warganet menunjukkan sikap kesal terhadap sikap yang ditunjukkan oleh kelompok #2019GantiPresiden. Sepintas, opini yang mengemuka adalah bahwa kelompok #2019GantiPresiden adalah kelompok yang intimidatif.

Saling Berebut Ruang

Banyak orang yang mengaitkan munculnya gerakan-gerakan politik di arena CFD karena tidak adanya ruang publik bagi masyarakat untuk mengekspresikan  kecenderungan politik mereka. Banyak orang menilai kalau masyarakat harus mencari ruang baru untuk menjadi medium ekspresi mereka. CFD dianggap sebagai ruang kosong yang ideal untuk diisi oleh ekspresi-ekspresi semacam itu.

Menurut Henri Lefebvre, ruang terikat pada realita sosial secara fundamental. Ruang menurutnya, adalah sesuatu yang diproduksi secara sosial. Hal ini membuat ruang tidak pernah lepas dari realitas sosial di sekitarnya dan tidak pernah benar-benar bisa dikatakan kosong atau netral.

Ruang, terutama di kota, merupakan pertemuan dari berbagai kepentingan. Kontrol atas kuasa ruang menjadi sebuah kontestasi antara subyek-subyek di antara kepentingan tersebut. Hal ini membuat kerapkali sulit untuk mengendalikan kelompok-kelompok yang ingin mengkooptasi ruang. Ruang mewujudkan kehendak untuk memamerkan diri, karena ruang harus terus dipakai sehingga memiliki nilai.

Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dilihat bahwa CFD sebagai ruang sebenarnya tidak pernah netral. Akan selalu ada realitas sosial yang ingin mengisi ruang tersebut. Hal ini terlihat pada kejadian beberapa waktu lalu.

Pergub soal larangan CFD untuk kegiatan politik, tidak akan pernah ada artinya karena CFD sebagai ruang akan terus dibentuk oleh realitas sosial yang tengah terjadi. Masyarakat kini tengah terbelah, antara mereka yang tidak ingin Jokowi kembali menjabat di 2019 dengan kelompok yang ingin Jokowi melanjutkan masa jabatannya. Kedua realitas sosial tersebut saling berkontestasi untuk menguasai CFD sebagai ruang.

Masing-masing subyek memiliki kepentingan dalam kontrol atas ruang tersebut. Kelompok anti-Jokowi ingin memunculkan wacana soal penggantian presiden di tahun 2019, sedangkan kelompok pendukungnya berkepentingan untuk melanjutkan masa jabatan mantan Wali Kota Solo tersebut.

Kedua kelompok tampak ingin memamerkan kekuatan mereka masing-masing. Hal ini sangat penting untuk menunjukkan wacana siapa yang paling kuat dan bisa membentuk ruang yang dimaksud. Terlihat, jika dari kekuatan massa di lapangan, kelompok #2019GantiPresiden lebih masif dan berhasil menunjukkan kekuatan mereka di dunia nyata. Akan tetapi, pertemuan kedua kelompok di CFD menimbulkan imbas yang lain di ruang yang lain.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Rebutan Ruang Internet

Salah satu fenomena yang muncul pasca kejadian tersebut, adalah munculnya wacana bahwa kelompok #2019GantiPresiden bersikap intimidatif. Wacana ini berkembang di media sosial dan menjadi bahasan utama pasca aksi tersebut. Terlihat bahwa wacana kelompok #2019GantiPresiden berlaku intimidatif, lebih unggul ketimbang gerakan #2019GantiPresiden itu sendiri.

Ada anggapan bahwa kelompok #DiaSibukKerja yang hadir di CFD saat itu adalah massa yang dimobilisasi dan bahkan dibayar. Beberapa melihat ada indikasi dari pernyataan tersebut seperti pakaian yang dipakai terlalu seragam dan juga komposisi massa yang terdiri dari perempuan dan anak-anak. Hal inilah yang menimbulkan sikap intimidatif dari massa #2019GantiPresiden. Akibatnya, kelompok tersebut mendapatkan cap buruk dari masyarakat pengguna media sosial.

Sekilas, wacana tersebut terlihat seperti ekses yang tidak diharapkan dari bertemunya kedua kelompok di CFD. Akan tetapi, bisa saja ini adalah maksud yang sejak awal diharapkan oleh kelompok pendukung Jokowi.

Bisa saja kelompok pendukung Jokowi memang tidak pernah benar-benar berniat untuk melawan kekuatan kelompok pendukung ganti presiden di arena CFD. Ini diindikasikan dengan komposisi massa yang terdiri dari perempuan dan anak-anak serta dengan jumlah yang relatif kecil.

Ada kemungkinan ada wacana lain yang dimunculkan dengan hadirnya massa tersebut. Memang, tidak ada bukti bahwa kehadiran massa tersebut dibayar, akan tetapi kehadiran massa tersebut membuat kelompok anti-Jokowi terlihat buruk.

Terlihat bahwa kelompok #DiaSibukKerja berhasil merebut ruang lain di luar CFD. Mereka berhasil menguasai ruang internet dengan wacana bahwa kelompok #2019GantiPresiden adalah kelompok yang bersikap secara intimidatif. Bisa saja, hal itu adalah tujuan utama dari gerakan #DiaSibukKerja, alih-alih merebut ruang di dunia nyata CFD.

Meski ada kemungkinan seperti itu, tetap saja tindakan kelompok #2019GantiPresiden tidak dapat dibenarkan. Perundungan dan intimidasi adalah hal yang tidak benar dan idealnya dijauhkan dalam berbagai sendi kehidupan termasuk dalam politik.

Kemungkinan bahwa tagar #DiaSibukKerja diniatkan untuk membuat buruk tagar lawannya, memang masih perlu dibuktikan. Akan tetapi, sejauh ini #DiaSibukKerja telah membuat #2019GantiPresiden terlihat buruk di mata pengguna internet. Terlepas dari apapun, perebutan ruang baik di dunia maya atau dunia nyata diprediksi masih akan berlanjut hingga 2019. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...