Badan Narkotika Nasional (BNN) mempunyai tugas abadi mengintersepsi pasokan ganja dari Pulau Sumatera yang sudah kadung menyebar di Pulau Jawa.
PinterPolitik.com
Akhir tahun lalu, publik sempat dihebohkan dengan berita pengungkapan distribusi 1,3 ton ganja di Pelabuhan Bakauheni, Lampung, yang akan diseberangkan ke Pelabuhan Merak, Banten. Jumlah yang cukup fantastis dalam sekali angkut itu menunjukkan betapa besarnya demand and supply produk yang bernama latin Cannabis sativa ini.
Menurut kriminolog Universitas Indonesia, Kisnu Widagso, dalam pojok Kata Kota di Harian Kompas, 7 Januari 2018, akhir tahun sampai awal tahun memang merupakan puncak tertinggi pengiriman ganja lintas pulau. Sebabnya, aparat kepolisian teralihkan fokusnya untuk melakukan pengamanan menjelang dan selepas Tahun Baru. Di samping lebih lowongnya pengawasan, permintaan konsumsi ganja itu sendiri memang meningkat di akhir tahun, terutama di Pulau Jawa.
Ini menyebabkan stok ganja kering dari Sumatera kerap dikirim dalam jumlah yang jauh lebih besar. Bila di minggu-minggu biasa, satu kali ekspedisi minimal mengangkut 500 kg ganja, maka di akhir dan awal tahun, satu kali ekspedisi dapat mengangkut hingga 3-4 kali lebih banyak dari jumlah tersebut. Jumlah yang besar itu kemudian ditumpuk atau distok kembali di gudang tersembunyi, yang tersebar di Provinsi Banten.
Penemuan itu membuka lagi kotak pandora distribusi ganja dari Sumatera ke Jawa. Sumatera merupakan daerah produksi dan distribusi terbesar ganja, namun penangkapan distribusi ganja justru lebih sering terjadi di Pulau Jawa.
Menurut Kisnu, ada masalah pelik dari sistem keamanan di Sumatera yang terus melanggengkan praktik ini selama puluhan tahun. Tidak pernah ada sinergi yang baik antara aparat keamanan di enam Kepolisian Daerah (Polda) sepanjang ‘jalur sutra’ Sumatera, dengan aparat TNI, Dinas Perhubungan, dan juga terutama dengan BNN sebagai stakeholder utama pemberantasan narkotika.
Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar terkait komitmen pemerintah dan penegak hukum untuk menurunkan konsumsi narkotika karena tanpa menyelesaikan di akarnya, BNN tidak akan pernah kehabisan pekerjaan. Ganja akan selalu datang dari Sumatera, sementara aparat selalu kalah cepat dengan langkah para pengedar yang menyebar dan membuat basis-basis bisnis baru di tanah Jawa.
Bagaimana peliknya sejarah distribusi ganja di Sumatera? Lantas, bagaimana prospek pemerintah memberantas ganja yang nyatanya adalah produk ilegal ini?
Aceh dan Sejarah Hitam Ganja
Ganja telah banyak dibudidayakan di Sumatera Utara sejak lama. Temuan yang dirangkum dalam Kamus Sejarah Indonesia bahkan menyebut bahwa eksistensi ganja di Sumatera sudah bisa dilacak sejak abad ke-10, lebih tua dibandingkan sejarah ganja di Timur Tengah.
Panjangnya sejarah ganja di Sumatera Utara, khususnya di daerah Aceh menjadikan ganja memiliki pengaruh yang kuat di tengah masyarakat. Ada sejumlah catatan sejarah yang menunjukkan relasi budaya dan agama di Aceh dengan penggunaan ganja. Ganja telah lama dianggap sebagai bagian dari bumbu masak dan bahan untuk pengobatan yang tertera dalam Kitab Mujarobat dan Tajul Muluk.
Kaum kolonial Belanda yang menemukan adanya penggunaan ganja di tengah masyarakat Aceh kemudian melarangnya. Larangan ini kemudian terus berlanjut sampai Aceh merdeka bersama Indonesia.
Peningkatan penggunaan ganja di Tanah Rencong lalu terjadi saat kebangkitan GAM di tahun 1970-an. Ada relasi kebangkitan kelompok GAM dengan banyaknya ganja yang beredar. Tak hanya di Aceh dan sekitar Sumatera Utara, GAM juga menggunakan koneksi bisnis ke Jakarta sebagai pendanaan gerakan mereka.
Menurut laporan dari Transnational Institute, GAM memang menggunakan ganja sebagai komoditas bisnis mereka, selain daripada donor yang mereka terima dari diaspora Aceh di seluruh dunia. Dari penghasilan penjualan ganja, mereka mampu membeli senjata dan logistik-logistik gerakan lainnya. Buntutnya, ABRI yang mencium bisnis ini kemudian melancarkan Operasi Nila I di tahun 1989, dan cukup sukses menumpas target serangan: GAM dan ganja.
Namun, di samping kegarangan aparat memberantas GAM dan ganja, sebenarnya aparat pun melakukan permainan di bawah meja. Transnational Institute juga mencatat sejumlah kasus di mana aparat kepolisian dan tentara kedapatan membawa ganja dalam jumlah besar. Sehingga, sebenarnya tren aparat yang ‘bermain’ di lingkaran ganja sudah terjadi sejak awal ‘perang ganja’ itu sendiri.
Tak hanya permainan aparat, jalur distribusi ganja sepanjang Pulau Sumatera pun sudah terjalin sejak lama. Jalur ini pun, kuat diduga, dilindungi oleh aparat—atau oknum-oknumnya—yang menyebabkan distribusi ganja hampir selalu lancar setiap minggunya.
Akibat besarnya distribusi dari Aceh, pada tahun 1980-an semakin banyak perkebunan ganja yang ditemukan di banyak wilayah di Sumatera, seperti Mandailing Natal, Bengkulu, dan Lampung. Kini, perkebunan ganja diduga sudah menyebar di 11 kabupaten di Aceh.
Sampai menjelang masa habisnya GAM, ganja masih dijadikan alat politik penguasa. Tragedi Beutong Ateuh merupakan kasus terbesarnya. Dalam kasus banjir darah ini, TNI mengriminalisasi Tengku Bantaqiah yang dituding memimpin GAM sambil berbisnis ganja. Bantaqiah bersama 100 santri lainnya dibantai oleh TNI, dengan kepemilikan bisnis ganja Bantaqiah yang tak pernah terbukti di pengadilan.
Ya, ganja selalu menjadi komoditas politik di Sumatera. Mulanya dikuasai oleh GAM sebagai pemilik lahan, lalu berhasil dikuasai TNI untuk ‘mengunci’ GAM dengan ancaman kriminalisasi.
Mengapa Jalur Laut Dihindari?
Ada tren yang selalu terulang, bahwa jalur darat selalu dipilih sebagai alur lalu lintas peredaran ganja dibandingkan jalur laut. Padahal, jalur laut memiliki keuntungan tersendiri, misalnya masih banyaknya ‘pelabuhan tikus’ yang tidak terjaga, maupun jaringan narkotika internasional lainnya yang banyak melalui laut. Belum lagi, bila melalui jalur laut, maka pengiriman dapat dilakukan jauh lebih besar dibandingkan jalur darat.
Namun, kita sudah tahu, establishment pengiriman ganja sepanjang ‘jalur sutra’ Sumatera telah dibangun sejak 1970-an, dan terus berkembang seiring dengan tumbuh besarnya GAM. Ini menjadi masuk akal, karena ketimbang menggunakan jalur laut yang tidak pernah dikuasai seluk beluknya, maka jalur darat akan selalu menjadi pilihan. Alasannya, ketimbang menyogok aparat di laut yang belum tau ‘cara bermain’, maka menyogok aparat darat sebagai ‘pemain lama’ jelas menjadi prioritas.
Di jalur darat, strategi penyelundupan dan distribusi dilakukan dalam berbagai bentuk. Kota-kota transit dengan banyak perkebunan ganja, seperti Bengkulu dan Lampung diduga menjadi safe city ekspedisi-ekspedisi ganja mingguan.
Ada pula sistem distribusi ‘estafet anonim’. Sistem ini mengoper ganja dari distributor pertama dan kedua yang keduanya tidak saling mengenal. Tujuannya, agar bila distributor kedua tertangkap ‘aparat jujur’, maka jaringan panjang distributor sampai produsen di belakangnya tidak dapat terlacak. Distributor yang tertangkap tidak mengenali sumber pasokan ganja yang ia bawa.
Semua sistem tersebut disokong oleh suap-menyuap yang diduga dilakukan oleh oknum-oknum aparat sepanjang jalur Sumatera. Kasus suap Ichwan Lubis, Kepala Satuan Narkoba Polisi Resor Belawan, Sumatera Utara sebesar 10 miliar rupiah dari bandar ganja adalah kasus yang terbesar. Sementara, sudah banyak sekali kasus-kasus keterlibatan aparat lainnya, yang terekam dalam sejarah. Berikut beberapa di antaranya.
Indikasi korupsi aparat ini pun menguat dari banyaknya pengakuan warga sekitar perkebunan ganja. Warga di daerah Kutacane, salah satu daerah di Aceh yang paling banyak memproduksi ganja, menilai bahwa polisi tidak pernah serius memonitor bisnis ganja. Adanya penangkapan-penangkapan pun hanya dilakukan seakan tanpa strategi untuk melakukan eradikasi secara menyeluruh.
Fenomena ini pun semakin pelik dengan dugaan ‘pengamanan’ dari preman sepanjang ‘jalur sutra’ Sumatera. Preman-preman di wilayah Bakauheni, simpang dan jembatan Gayam, daerah Lampung Tengah, simpang Meo, jembatan Mesuji, Lahat, Martapura, Jambi sampai Medan adalah yang paling galak memalak setiap mobil yang lewat ‘daerah kekuasaannya’.
Apa yang mungkin mereka dapat dengan memalak ekspedisi ganja? Tentu saja ganja. Ini terbukti dari hampir selalu ditemukannya ganja dalam jumlah banyak, setiap kali dilakukan penggerebekan markas preman oleh pihak kepolisian.
Kalau para preman tak mendapat ganja, namun disogok dengan uang, maka uang tersebut pun sangat mungkin disetor kepada pihak kepolisian juga. Seperti kasus yang sudah-sudah, semua mulut tertutup dengan uang, bukan?
Kalau sudah begitu, mau bagaimana lagi BNN bekerja? Sudah sangat sulit mengurai masalah di enam Polda sepanjang Sumatera, yang sudah kadung tersiram uang ganja dari jaman kemerdekaan.
Maka, benar kata saya di awal, menangkapi pengedar ganja satu per satu adalah tugas abadi BNN. Entah sengaja dipelihara atau tidak.
Yang pasti, grafik konsumsi ganja di tanah Jawa tidak akan pernah turun. (R17)