HomeNalar PolitikAdu Sakti Golkar-PKB Buru MPR

Adu Sakti Golkar-PKB Buru MPR

Jabatan Ketua MPR kini jadi rebutan. Dua partai penghuni koalisi Jokowi, PKB dan Golkar sama-sama mengincar posisi ini. Siapa yang akhirnya bisa jadi pucuk pimpinan di lembaga tersebut?


Pinterpolitik.com

Pemilu 2019 kini sudah semakin memasuki tahapan akhir. Pembicaraan tentang gelaran ini perlahan mulai bergeser tidak lagi tentang siapa yang akan menang, tetapi sudah tentang pengisian pos-pos penting di era berikutnya. Salah satu yang mengemuka adalah tentang pengisian kursi Ketua MPR.

PKB tampaknya tancap gas untuk mengisi posisi tersebut. Ketua umum pertain tersebut, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, menyatakan bahwa dirinya siap menjadi Ketua MPR, seiring dengan kencangnya isu Puan Maharani akan menjadi Ketua DPR.

Cak Imin bisa saja merasa percaya diri. Meski demikian, ternyata ada partai lain yang mengincar posisi tersebut, yaitu Partai Golkar. Sebagai partai dengan perolehan suara terbesar kedua di koalisi Jokowi, Golkar merasa mereka cukup punya hak untuk diberikan hadiah kursi Ketua MPR. Mereka mengaku akan menyiapkan lobi khusus untuk meloloskan paket pimpinan MPR dengan Golkar sebagai Ketua.

Perebutan antara dua partai ini sebenarnya cukup menarik. Keduanya ada di koalisi yang sama, yaitu di koalisi pendukung Jokowi. Merujuk pada kondisi tersebut, ada kemungkinan bahwa ada persaingan khusus di internal koalisi ini.

Di luar itu, menarik pula untuk dilihat jabatan Ketua MPR yang kini jadi rebutan tersebut. Seberapa pentingkah posisi ini sehingga harus diperebutkan oleh partai-partai tersebut?

Kekuatan Simbolis

Perlu diakui bahwa posisi MPR pasca reformasi memang tak benar-benar memiliki kekuatan yang maksimal. Dalam banyak kasus, lembaga ini lebih dianggap sebagai posisi simbolis saja karena minimnya kekuasaan yang dimiliki, termasuk juga peran jabatan ketuanya.

Terlepas dari jabatannya yang kini bersifat simbolis, secara historis jabatan Ketua MPR adalah posisi yang amat bergengsi. Dahulu, jabatan ini dapat membuat tokoh dapat mendapatkan sorotan cukup banyak. Dapat dikatakan bahwa faktor historis jabatan ini membuatnya menjadi cukup prestisius.

MPR dulu merupakan lembaga tertinggi negara dengan wewenang dan kekuasaan yang cukup luas, terutama untuk memilih presiden. Oleh karena itu, sosok ketua MPR menjadi jabatan yang cukup bergengsi di masa itu.

Kini, meski MPR tak lagi sering mendapatkan sorotan pemberitaan, bayangan tentang bergengsinya jabatan pimpinan lembaga ini boleh jadi masih ada.

Merujuk pada kondisi tersebut, dalam kadar tertentu, jabatan ini bisa saja menjadi salah satu faktor jika tokoh-tokoh politik ingin mengejar posisi tertentu yang lebih besar. Jabatan ini misalnya saja menjadi batu loncatan jika tokoh yang mendapatkannya ingin melaju  di gelaran sekelas Pilpres 2024. Dalam kadar tertentu, jabatan Ketua MPR dapat menjadi salah satu cara bagi tokoh tertentu untuk menempa elektabilitas mereka sebelum melaju ke kontestasi politik yang lebih besar.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Meski pekerjaan MPR lebih banyak bersifat simbolis, ada anggaran cukup besar untuk lembaga ini. Memang, jika dibandingkan dengan DPR, anggaran lembaga ini kalah jauh. Meski demikian, untuk lembaga yang dianggap bekerja simbolis, ada ruang anggaran yang masih cukup untuk dieksploitasi.

Pada APBN 2019 misalnya, MPR memang hanya memiliki anggaran sebesar Rp 958 miliar, kalah jauh dari DPR yang mencapai Rp 5,7 triliun. Meski begitu, dengan kerja yang relatif tak sebanyak DPR, total anggaran ini tetap dapat dianggap memiliki celah yang cukup untuk bisa dimanfaatkan.

Kondisi-kondisi tersebut dapat menjadi gambaran bahwa meski tak lagi sebesar MPR era Orba, jabatan Ketua MPR tetap menjadi sesuatu yang masih layak diperebutkan. Oleh karena itu, wajar jika Golkar dan PKB mau beradu demi posisi tersebut.

Paket Koalisi

Selama beberapa periode terakhir, jabatan Ketua MPR kerap kali menjadi semacam kompromi antara koalisi partai politik yang ada. Melalui sistem paket, pimpinan dan terutama ketua yang terpilih kerap kali menggambarkan simpul-simpul politik tertentu.

Pada MPR periode 2009-2014 misalnya, ada nama kader PDIP, almarhum Taufiq Kiemas di pucuk pimpinan lembaga tersebut. Kemunculan nama Taufiq kala itu dapat dikatakan tidak lazim, mengingat PDIP adalah partai oposisi bagi pemerintahan dan DPR yang didominasi oleh Partai Demokrat dan koalisinya.

Kala itu, Taufiq terpilih setelah menjadi satu-satunya calon ketua dalam paket pimpinan yang terdiri dari banyak partai. Di antara komposisi partai tersebut, ada Partai Demokrat yang kebagian posisi Wakil Ketua yang diwakili oleh Melani Leimena Suharli. Melalui paket pimpinan ini, terlihat bahwa ada ikatan politik khusus yang bisa meloloskan seseorang menjadi ketua MPR.

golkar pkb mpr

Sementara itu, pada periode 2014-2019, kursi pimpinan MPR menjadi gambaran koalisi partai terbesar di parlemen saat itu. Komposisi pimpinan dan ketua saat itu diisi oleh Koalisi Merah Putih dengan pucuk pimpinannya diambil oleh Zulkifli Hasan yang berasal dari PAN.

Mulusnya Zulkifli terpilih sebagai Ketua MPR saat itu menggambarkan bagaimana kuatnya Koalisi Merah Putih saat itu. Dengan komposisi partai yang dominan di DPR, paket pimpinan yang mereka ajukan dapat dengan mudah menang.

Berdasarkan kondisi tersebut, pembagian jatah Ketua MPR erat kaitannya dengan proses power sharing di antara partai-partai yang ada. Hal ini menggambarkan bahwa ada koalisi khusus yang sifatnya office-seeking seperti yang diungkapkan oleh Kaare Strom dalam konteks pemilihan Ketua MPR ini.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Memang, dalam kasus Taufiq tak ada  koalisi yang sifatnya permanen layaknya  Koalisi Merah Putih. Meski begitu, adanya paket pimpinan yang terdiri dari PDIP-Demokrat dapat menjadi gambaran bagaimana ada aliansi khusus yang ditujukan untuk mengejar jabatan tersebut.

Adu Daya Tawar

Lalu siapa yang bisa mengisi posisi ketua MPR? Sejauh ini, tampaknya jawaban ini masih tampak mencair seiring masih berjalannya dinamika antar partai yang ada. Perang bargaining position atau posisi tawar tampaknya akan menjadi hal yang menentukan. Unsur bargaining dalam pembentukan koalisi ini diungkapkan misalnya oleh Gary Goodpaster.

Di atas kertas, jika perolehan suara yang jadi acuannya, Golkar memiliki kans terbaik jika dibandingkan partai-partai lain yang ada di dalam koalisi Jokowi. Partai ini berada di posisi kedua dalam perolehan suara di lingkaran koalisi pendukung Jokowi.  Jika hitungannya kursi parlemen, Golkar jelas memiliki daya tawar yang lebih tinggi jika dibandingkan PKB.

Meski begitu, PKB juga bukannya tak punya daya tawar sama sekali dalam perebutan posisi ini. Bagaimanapun juga, partai tersebut memiliki cukup jasa untuk membentengi Jokowi dari isu-isu identitas agama. Mereka dapat dianggap memiliki andil untuk menarik suara kaum Nahdlatul Ulama untuk menjaga basis suara Jokowi di kalangan umat Islam.

PerePKB dan Golkar saat ini sama-sama mengincar kursi Ketua MPR. Perang daya tawar di antara keduanya akan jadi penentu. Share on X

Merujuk pada kondisi-kondisi tersebut, baik Golkar maupun PKB sebenarnya sama-sama memiliki posisi tawar yang tinggi untuk diberikan jatah Ketua MPR dalam paket pimpinan dari koalisi Jokowi.

Yang juga tidak boleh dilepaskan adalah ada kemungkinan posisi ini akan diisi oleh partai di luar pemerintah seperti dalam kasus Taufiq Kiemas di tahun 2009. Bisa saja ada paket koalisi lain yang bersifat office-seeking untuk mengakomodasi partai lain yang ingin masuk ke lingkaran koalisi Jokowi.

Hal ini berlaku misalnya untuk PAN yang dikabarkan juga mengincar posisi ini. Apalagi, Ketua Umum PAN saat ini yang juga Ketua MPR, Zulkifli Hasan, belakangan kerap tertangkap kamera bertemu dengan Jokowi.

PAN sendiri punya daya tawar khusus karena jika ia bisa merapat ke kubu Jokowi dengan iming-iming kursi Ketua MPR, mereka bisa melemahkan koalisi oposisi di dalam parlemen.

Pada akhirnya, dengan kondisi saat ini, Golkar dan PKB perlu memiliki daya tawar ekstra agar bisa menduduki Ketua MPR. Apalagi, dengan potensi merapatnya PAN, jabatan Ketua MPR menjadi salah satu komoditas panas untuk diperebutkan. Dengan prestise jabatan ini, patut ditunggu seperti apa hasil dari adu daya tawar partai-partai ini. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...