Ade Armando mengajak umat Kristen untuk kompak tidak memilih Anies Baswedan di Pilpres 2024. Dengan derasnya sentimen negatif terhadap politik identitas, Ade dapat menjadi benalu bagi Ganjar Pranowo. Lantas, mungkinkah Ade Armando tengah melakukan sabotase terhadap Ganjar?
Banyak pengamat menilai politik identitas masih akan kental di Pilpres 2024. Namun, jika membaca gestur politik nasional, dapat dikatakan penggunaan politik identitas tidak akan semasif pada Pilpres 2019. Terdapat tiga alasan untuk menyimpulkan hal tersebut.
Pertama, tidak terdapat pemberitaan yang masif soal isu identitas capres-cawapres. Seperti dijelaskan Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam buku Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media, politisi (penguasa) selalu menggunakan media untuk melakukan fabrikasi persetujuan (fabrication of consent).
Melalui pemberitaan media, politisi melakukan doktrinasi, propaganda, dan menyebarkan ide yang bertujuan untuk menciptakan persetujuan di tengah masyarakat.
Pada Pilpres 2019, derasnya pemberitaan media soal isu identitas, khususnya Islam, membuat masyarakat benar-benar yakin terdapat demarkasi keislaman antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.
Namun, seperti yang terlihat, Prabowo justru bergabung dengan kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Itu menunjukkan, keyakinan adanya demarkasi keislaman hanya merupakan persepsi yang difabrikasi.
Dengan tidak terlihatnya pemberitaan masif soal politik identitas di media, khususnya media mainstream, dapat dikatakan fabrikasi persetujuan politik identitas tidak dilakukan. Membandingkan dengan Pilpres 2019, jika upaya itu dilakukan, pemberitaan masif di media pasti sudah terlihat pada tahun ini.
Kedua, gestur para elite politik tidak menunjukkan mereka tidak ingin mengulangi politik berbasis penajaman identitas seperti di Pilpres 2019. Indikasi awal atas ini tentu adalah masuknya Prabowo ke kabinet Jokowi.
Mengutip penelitian Greg Fealy, Sally White, dan Burhanuddin Muhtadi yang berjudul Counter-polarisation and political expediency, terjadi tren penurunan polarisasi setelah Prabowo bergabung ke koalisi pemerintah.
Ketiga, sosok dan kelompok masyarakat yang menjadi magnet politik identitas pada Pilpres 2019 tidak lagi didekati elite politik dan mendapat pemberitaan luas. Berita-berita seputar Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Persaudaraan Alumni (PA) 212 tidak lagi sehangat sebelumnya. Bahkan pemberitaannya seperti angin lalu.
Berdasarkan tiga alasan itu, kita dapat mengatakan tengah terjadi pergeseran isu politik nasional. Melihat situasi saat ini, isu politik identitas telah bergeser ke isu ekonomi. Pemberitaan media berputar soal resesi ekonomi, pemulihan ekonomi pasca pandemi, hingga dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ekonomi global.
Ade Armando adalah Benalu?
Bertolak pada perpindahan isu nasional, menjadi pertanyaan tersendiri kenapa Ade Armando masih memainkan isu tersebut dalam narasi-narasi politiknya. Baru-baru ini, secara lugas, Ade bahkan meminta umat Kristen untuk kompak tidak memilih Anies Baswedan di Pilpres 2024.
“Jika sekarang umat Kristen mendukung Anies, mereka akan membayar mahal kerelaannya untuk menukar iman hanya untuk kepentingan sesaat,” ungkap Ade di kanal YouTube Cokro TV.
Partai politik yang selama ini kerap sejalan dengan Ade, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), bahkan turut memberikan kritik terbuka.
“Saya sangat menyayangkan narasi pecah belah ini. Sebagai seorang nasionalis dan seorang Kristen, saya merasa apa yang disampaikan Ade Armando berpotensi menyulut perpecahan antar umat beragama,” ungkap Ketua DPW PSI DKI Jakarta Michael Victor Sianipar pada 4 November 2022.
Jika narasi semacam itu terus digaungkan Ade, setidaknya ada dua dampak politik yang dapat terjadi. Pertama, ada kemungkinan Ade Armando akan “diparkir” alias kehilangan panggung nasional.
Contoh kasus ini dapat dilihat pada Abu Janda. Karena isu nasional sudah tidak lagi berkutat pada politik identitas, pamor Abu Janda tidak sebesar sebelumnya. Kita tidak lagi menemukan pemberitaan masif tentangnya. Seperti diketahui, Abu Janda memang dikenal luas dengan narasi-narasi politik identitasnya.
Kedua, narasi politik Ade Armando justru memberikan persepsi buruk bagi Ganjar Pranowo. Kenapa Ganjar? Karena Ade secara luas dan terbuka menunjukkan dirinya sebagai pendukung Gubernur Jawa Tengah (Jateng) itu.
Menggunakan semiotika pragmatis Charles Sanders Peirce, kita dapat mendeduksi akan tercipta tiga level persepsi. Pada level pertama, derasnya sentimen negatif terhadap politik identitas akan membuat Ade mendapatkan banyak kritik, antipati, hingga hujatan.
Pada level kedua, karena Ade mendukung Ganjar di Pilpres 2024, akan terbentuk persepsi bahwa Gubernur Jateng itu didukung oleh mereka yang memainkan narasi politik identitas.
Kemudian pada level ketiga, citra Ganjar sebagai sosok nasionalis dan pluralis dapat tercoreng karena membiarkan pendukungnya, yakni Ade, memainkan narasi politik identitas.
Dampak politik kedua ini tentu menjadi perhatian serius. Dengan terus menunjukkan diri sebagai pendukung Ganjar yang memainkan politik identitas, alih-alih memberikan sumbangan positif, Ade justru menjadi benalu bagi Ganjar.
Upaya Sabotase Ganjar?
Kesimpulan bahwa Ade Armando dapat menjadi benalu bagi Ganjar membuat kita menarik satu pertanyaan serius. Sebagai seorang akademisi, bukankah seharusnya Ade sadar atas dampak dari narasinya?
Dengan adanya perpindahan isu nasional, kenapa Ade tetap memilih narasi politik identitas? Mungkinkah Ade tengah melakukan sabotase terhadap Ganjar?
Sun Tzu dalam bukunya yang terkenal, The Art of War menjelaskan ada lima jenis sabotase. Pertama adalah Yin Jian – memakai kepala desa di desa musuh menjadi mata-mata. Kedua adalah Nei Jian – memanfaatkan pejabat menteri di negara musuh menjadi mata-mata.
Ketiga adalah Fan Jian – memakai spionase musuh menjadi mata-mata (agen ganda). Keempat adalah Si Jian – menugaskan petugas spionase menyebarkan informasi palsu ke negara musuh. Kelima adalah Shen Jian – meminta laporan dari petugas spionase kita yang tertangkap, tetapi berhasil melarikan diri.
Pada kasus Ade Armando, bukan tidak mungkin dia adalah Si Jian. Terdapat pihak yang menugasi Ade untuk menyebar informasi palsu, mungkin tepatnya citra palsu terhadap Ganjar. Dengan menguatnya citra Ade sebagai pemain politik identitas, tengah dibentuk narasi bahwa Ganjar membiarkan isu semacam itu.
Jika melakukan komparasi, kita dapat melihat kasus Ratna Sarumpaet pada Pilpres 2019. Saat itu, kebohongan Ratna soal “digebuki” ditafsirkan sebagai upaya sabotase oleh beberapa pihak. Ada dugaan Ratna sengaja dimasukkan ke kubu Prabowo untuk menghancurkan citranya.
Terlepas dari dugaan itu benar atau tidak, yang jelas, kasus Ratna saat itu persis seperti operasi Si Jian yang disebutkan Sun Tzu.
Sebagai penutup, tentu harus digarisbawahi bahwa tulisan ini hanyalah interpretasi semata. Namun, yang jelas, apa pun motif politik Ade Armando, memainkan narasi politik identitas justru kontraproduktif dengan upayanya mendukung Ganjar Pranowo di Pilpres 2024. (R53)