Demonstrasi mahasiswa pada Senin, 11 April kemarin di area gedung DPR RI menelan korban penganiayaan. Sebagain pihak mennilai penganiayaan Ade Armando merupakan kekerasan yang tidak dimaafkan, bahkan disinyalir sebagai dampak dari polarisasi masyarakat yang tajam. Lantas, mungkinkah Ade Armando satu-satunya martir kekerasan di sana?
Di tengah riuh aksi massa mahasiswa yang menolak masa jabatan presiden tiga periode, penundaan pemilu, dan kenaikan harga-harga, terdapat peristiwa lain yang malah lebih menonjol di pemberitaan, yaitu pengeroyokan kepada dosen Universitas Indonesia (UI) yang juga pegiat media sosial, Ade Armando.
Serasa bulan Ramadhan bukanlah hambatan bagi para pelaku kekerasan, mereka bahkan melakukan tindakan keji seperti mempermalukan Ade Armando dengan melucuti pakaiannya. Aksi yang tidak berprikemanusiaan tersebut dibarengi dengan gelak tawa orang di sekitar.
Andre Rahadian, Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI), mengatakan aksi pengeroyokan yang dialami aktivis Ade Armando sebagai cerminan polarisasi yang makin tajam di masyarakat.
Polarisasi yang dimaksud mungkin berasal dari rasa ketidaksukaan terhadap persona Ade Armando yang kerap bersuara vokal di media sosial dalam upaya mendukung kebijakan pemerintah. Ade Armando sendiri sering dituduh sebagai buzzer pemerintah.
Peristiwa ini seolah mereduksi wacana besar yang sebenarnya, yaitu momentum demonstrasi mahasiswa. Seolah pemberitaan berita tentang aksi para mahasiswa terpinggirkan dengan pemberitaan kekerasan terhadap Ade Armando.
Apakah mungkin, isu-isu kekerasan lebih menarik dibandingkan isu demonstrasi yang sedang digiatkan oleh para mahasiswa. Di sisi lain, reaksi warganet begitu masif memperbincangkan penganiayaan Ade Armando di sosial media, tentunya dengan pro-kontra yang dibuat oleh mereka.
Lantas, ada apa di balik akar kekerasan yang selalu bermunculan?
Dendam Pemicu Kekerasan?
Kebencian yang bertumpuk akan melahirkan rasa dendam yang tak tertahankan. Jika tidak tersalurkan maka dendam tersebut akan pecah menjadi kekerasan. Seperti itulah, kenapa hukum haruslah hadir untuk menetralisir permasalahan dalam masyarakat.
Hal ini mengingatkan kita pada tahun 1792 sebelum masehi ketika Raja Babilonia bernama Hammurabi menaklukkan Mesopotamia. Dia percaya dengan adanya hukum yang keras, akan menghilangkan kekerasan dalam masyarakat.
Silmi Nurul Utami dalam tulisannya Apa Isi Dokumen Hukum Hammurabi?, mengatakan salah satu hukum Hammurabi yang paling terkenal adalah hukum nomor 196, yaitu jika seseorang mencongkel mata orang lain, maka matanya harus dicungkil sebagai hukuman.
Hukuman keras lainnya adalah memotong tangan seorang anak yang memukul ayahnya, mematahkan tulang orang yang mematahkan tulang orang lain, mencabut gigi orang yang merontokkan gigi orang lain, dan memotong telinga seseorang yang melakukan penyerangan.
Hukum yang keras bukan tanpa konsekuensi negatif, akan jadi masalah jika terdapat kelompok masyarakat yang merasa hukum tidak dapat memberikan keadilan bagi mereka. Di sinilah celahnya, di mana kebencian yang mendalam dapat berubah menjadi dendam.
Tindakan balas dendam selalu menyelimuti dinamika perjalanan sebuah masyarakat. Dendam adalah bara api yang ampuh untuk memobilisasi seseorang atau kelompok untuk bertindak atas nama keadilan, meski harus melawan hukum.
Akhmad Muawal Hasan dalam tulisannya Alasan Orang Senang Balas Dendam, mengatakan sejumlah penelitian menunjukkan dendam adalah pemicu 20 persen kasus pembunuhan dan 60 persen dari kasus penembakan.
Hasan mengutip David Chester dan Nathan DeWall, mengatakan balas dendam erat kaitannya dengan agresi, di mana kondisi ini dianggap sebagai “jembatan psikologis” yang hadir antara provokasi hingga agresi benar-benar muncul.
Pada publikasi hasil riset di Jurnal Oxford Academic, Chester dan DeWall menyimpulkan area penanggung jawab rasa sakit di otak secara otomatis akan menyerukan agresi sebagai balasan. Bagian otak yang mengaktifkan perasaan ini dikenal dengan nucleus accumbens.
Pada kondisi seperti itu, orang yang diprovokasi bersikap agresif karena sesungguhnya tahu akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Kondisi psikologis ini diyakini adalah respons yang dibawa manusia sejak purba.
Dalam filsafat manusia, memang betul terdapat pemikiran yang mengandaikan manusia pada dasarnya punya sikap merusak dan punya tendensi melakukan kejahatan. Pemikiran ini diperkenalkan dalam buku Leviathan karya Thomas Hobbes.
Pada sub bab “of man”, Hobbes melukiskan manusia memiliki kecenderungan dalam dirinya, yaitu mempertahankan diri. Oleh karenanya, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain, homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain).
Yusnawan Ferdinanta dalam tulisannya Perbandingan Pemikiran Politik Thomas Hobbes dengan Jean-Jacques Rousseau Tentang Manusia, mengatakan konsep keadaan alamiah (natural state) Hobbes bukanlah doktrin tunggal, terdapat doktrin lain keadaan alamiah manusia yang jadi antitesis, yaitu konsep keadaan alamiah manusia menurut Jean-Jacques Rousseau.
Rousseau mengidentifikasi keadaan alamiah manusia pada dasarnya baik, di mana manusia hidup dalam kedamaian dan selalu menghindari kejahatan maupun kekerasan. Manusia mulai mengenal kekerasan karena ia telah mengenal fenomena sosial (social phenomenon).
Artinya, terjadinya perang adalah akibat dari keadaan alami manusia berubah menjadi masyarakat sosial, bukan disebabkan fenomena alam (nature phenomenon). Pada posisi inilah kritik bahwa manusia secara alamiah jahat atau melakukan kekerasan bagaikan serigala dapat ditepis.
Kritik terhadap manusia yang cenderung membuat kekerasan, dipromosikan Mahatma Gandhi, dalam konsep Ahimsa (tanpa kekerasan), dengan mengatakan bahwa, “jika mata dibayar dengan mata, maka seluruh dunia akan buta”.
Kekerasan akan tetap menjadi stigma buruk, sebesar apapun kebencian tidak menjadi legitimasi bagi seseorang untuk melakukannya. Pada konteks Ade Armando, meski sebagian tidak sepakat dengan personanya dalam mendukung pemerintah, tapi tidak membuat kita semena-mena melakukan kekerasan.
Tapi di balik semua fenomena kekerasan, ada satu pertanyaan menarik yang patut diperhatikan, yakni kenapa peristiwa Ade Armando seolah teramplifikasi. Bukankah demonstrasi mahasiswa juga merupakan bagian dari penolakan kekerasan dalam konteks struktural, yaitu “kekerasan kebijakan”.
Lantas, muncul pertanyaan menarik lainnya. Kenapa masyarakat lebih terpikat membincangkan kekerasan yang dialami Ade Armando, dibanding “kekerasan kebijakan” yang diperjuangkan mahasiswa?
Kekerasan Tak Terlihat?
Pendekatan perilaku dalam ilmu ekonomi, memperkenalkan istilah yang disebut dengan bias ketersediaan (availability bias). Fenomena ketika seseorang melebih-lebihkan kemungkinan terjadinya sesuatu karena peristiwa serupa telah terjadi baru-baru ini atau karena merasa sangat emosional sehingga membekas di pikiran.
Konsep bias ketersediaan ini mencoba menjelaskan bahwa isu kekerasan terhadap Ade Armando terasa dominan dibandingkan isu substansi demo para mahasiswa. Dengan kata lain, momentum demo mahasiswa untuk menghasilkan opini dan tekanan lebih luas berupa protes terhadap pemerintah, seolah teralienasi dari pemberitaan.
Karena kekerasan terhadap Ade Armando merupakan kekerasan terlihat, maka seolah hanya itu isu yang tersedia untuk dicerna dalam benak kita. Hal ini disebabkan karena jalan pintas kognitif yang dikenal sebagai heuristik ketersediaan.
Heuristik ketersediaan didefinisikan sebagai ketergantungan pada hal-hal yang segera kita pikirkan, atau spontanitas kita memikirkan sesuatu. Ketergantungan itu membantu kita menghindari pemeriksaan fakta dan analisis yang kompleks.
Seringkali yang kita pikirkan bahwa konflik terjadi apabila sudah terjadi kekerasan secara fisik (direct violence). Namun pada kenyataannya, direct violence hanyalah sebuah implikasi atau dampak dari sebuah masalah yang terjadi sebelumnya.
Jika kita cermati, disamping kekerasan yang terjadi pada Ade Armando, terdapat kekerasan struktural (structural violence) yang saat ini ditolak oleh para mahasiswa. Dampak dari kekerasan struktural ini dapat berakibat masif.
I. Marsana Windhu dalam bukunya Kekuasaan dan kekerasan Menurut Johan Galtung, mengatakan istilah structural violence bermakna setiap kendala pada potensi manusia yang disebabkan oleh struktur ekonomi dan politik.
Akses yang tidak setara terhadap sumber daya, kekuasaan politik, pendidikan, perawatan kesehatan, atau kedudukan hukum, adalah bentuk-bentuk kekerasan struktural. Bentuk kekerasan ini bersifat intangible atau tidak tampak (invisible), terpendam dalam sistem yang sudah mengakar di suatu komunitas.
Seringkali dalam kenyataan, kekerasan seperti ini terjadi dan dilakukan dalam alam bawah sadar sehingga luput dari para aktor yang berperan dan melakukan kekerasan tersebut. Hal ini juga yang berkonsekuensi terhadap pilihan kita yang terbatas.
Sebagai penutup, tentunya kita sepakat untuk menolak semua jenis kekerasan, apakah kekerasan yang terlihat dalam bentuk fisik, maupun kekerasan yang tidak terlihat, yaitu kekerasan struktural yang setiap saat hadir dalam realitas kehidupan kita. (I76)