Kala masih menjabat sebagai presiden Indonesia, Soeharto disebut memiliki hubungan karib dan persahabatan dengan sejumlah pemimpin negara tetangga – seperti Mahathir Mohamad (Malaysia) dan Lee Kuan Yew (Singapura). Bagaimana Soeharto bisa menjalin persahabatan tersebut? Apa yang bisa dipelajari oleh pemerintah Indonesia di masa kini?
“Sahabat sejatiku, hilangkah dari ingatanmu di hari kita saling berbagi?” – Sheila On 7, “Sahabat Sejati” (2000)
Persahabatan merupakan sebuah hubungan yang memiliki arti yang mendalam – setidaknya bagi mereka yang memiliki sahabat. Pada umumnya, seorang sahabat adalah individu di mana kita membagikan kisah akan beratnya hari-hari yang kita jalani.
Meski begitu, tidak hanya persoalan-persoalan berat yang dibagikan dalam sebuah hubungan persahabatan. Tidak jarang, kebahagiaan pun menjadi keindahan tersendiri – entah itu sahabat kecil atau sahabat di masa sekarang.
Mungkin, itulah hubungan yang saling mendukung dalam persahabatan. Perasaan mutual seperti ini membuat apa yang disebut persahabatan menjadi unik.
Boleh jadi, perasaan unik ala persahabatan ini juga hadir dalam dunia politik – bahkan di panggung politik internasional. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa Presiden Soeharto dulu menjalin persahabatan dengan pemimpin-pemimpin dari negara-negara tetangga.
Beberapa di antaranya adalah Mahathir Mohamad yang kala itu menjabat Perdana Menteri (PM) Malaysia pada tahun 1981-2003 dan Lee Kuan Yew (LKY) yang menjabat sebagai PM Singapura pada tahun 1959-1990. Dalam beberapa kesempatan, para pemimpin ini secara terbuka mengekspresikan rasa hormatnya pada satu sama lain.
Uniknya lagi, hubungan persahabatan antara tiga pemimpin ini tidak hanya diekspresikan dalam kata-kata. Kesamaan pemikiran di antara ketiganya dinilai juga tertuang pada arah kebijakan di negara mereka masing-masing, yakni pembangunan dengan modernisasi ekonomi yang dikenal juga dengan istilah developmentalism.
Persahabatan tiga pemimpin negara Asia Tenggara ini bisa dibilang cukup mengejutkan. Pasalnya, di masa-masa sebelumnya, tiga negara ini memiliki hubungan perseteruan. Saat Federasi Malaysia berdiri, misalnya, Presiden Soekarno langsung melancarkan serangan militer yang disebut sebagai Konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1963.
Baca Juga: Mahathir Ingin Jokowi “Seimbangkan” ASEAN?
Bukan tidak mungkin, hal ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Bagaimana bisa Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang sebelumnya tidak memiliki hubungan baik menghadirkan tiga pemimpin yang saling bersahabat? Lantas, pelajaran apa yang bisa dipetik dari pemerintah Indonesia di masa kini?
Adam Malik: Si Diplomat Ulung
Sebelum memahami bagaimana Soeharto bisa menjalin persahabatan dengan Mahathir dan LKY, perlu ditarik kembali bagaimana pemerintahan Orde Baru bisa berdiri pada tahun 1966. Kala itu, Presiden Soekarno turun dari jabatannya setelah huru-hara politik yang berlangsung secara berkepanjangan.
Tepat pada tanggal 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno memberikan pidato dan mengatakan bahwa dirinya telah dikudeta. “Presiden Soekarno telah ditelikung oleh satu triumvirat yang terdiri dari Jenderal Soeharto, Sultan Hamengkubuwono, Adam Malik,” ucap Presiden Soekarno dalam pidatonya.
Tiga nama tersebut – Soeharto, Sultan Hamengkubuwono IX, dan Adam Malik – memang disebut-sebut menjadi tritunggal yang membidani berdirinya pemerintahan Orde Baru. Soeharto pun akhirnya menjadi presiden dan dua lainnya, Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik, masing-masing menjadi wakil presiden (wapres) pada tahun 1973-1978 dan pada tahun 1978-1983.
Namun, sebelum menjabat sebagai wapres, Adam Malik mengisi salah satu peran penting yang menentukan nasib dan citra Indonesia di mata dunia, yakni sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) pada tahun 1966-1977. Sebagai Menlu, Adam Malik melakukan banyak gebrakan.
Salah satunya adalah dengan mendamaikan Indonesia dan Malaysia yang sempat berkonflik di era pemerintahan Soekarno. Selain itu, pada tahun 1967, Adam Malik turut membidani berdirinya organisasi kawasan Asia Tenggara yang bernama Association of South East Asian Nations (ASEAN).
Upaya-upaya ini dilakukan Adam Malik sebagai bagian dari tujuannya untuk memperbaiki citra Indonesia di negara-negara tetangga – sekaligus ke negara-negara di kawasan lain. Misi Adam Malik ini tampaknya berhasil. Pasalnya, Indonesia pada era Orde Baru dinilai bisa memposisikan diri sebagai “saudara tua” bagi negara-negara anggota ASEAN.
Baca Juga: Sultan Hamengkubuwono IX: Pernah Hendak Dibunuh dan Lawan Soeharto?
Tidak hanya itu, keberhasilannya sebagai diplomat ulung turut mengantarkan dirinya menjadi pejabat penting di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) – lebih tepatnya sebagai Presiden Majelis Umum (MU) PBB pada tahun 1971-1972. Bukan tidak mungkin, posisi ini turut menunjukkan bagaimana citra Indonesia semakin positif di mata dunia kala itu.
Ada Peran CIA?
Namun, kabar miring soal Adam Malik pun tersebar. Jika diingat-ingat kembali, ASEAN berdiri karena tujuan yang sama, yakni untuk mencegah penyebaran komunisme di Asia Tenggara – khususnya dari Vietnam Utara yang dikuasai oleh kelompok komunis.
Ini pun sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat (AS) yang ingin membendung pengaruh komunis di Asia Tenggara. Pasalnya, pemerintah AS yakin bahwa berlaku Teori Domino – di mana domino komunisme akan terus menular ke dari satu negara ke negara tetangga lainnya.
Uniknya, sebuah pernyataan Clyde McAvoy, seorang mantan perwira Central Intelligence Agency (CIA), dalam buku Tim Weiner yang berjudul Membongkar Kegagalan CIA. McAvoy mengklaim bahwa CIA merekrut Adam Malik pada tahun 1960-an untuk membentuk pemerintah bayangan yang bakal menumbangkan kekuasaan Soekarno.
Terlepas dari benar atau tidaknya apa yang dibilang McAvoy, Adam Malik memang sempat menunjukkan ketidaksukaannya pada Presiden Soekarno. Dalam tulisannya yang terbit pada tahun 1968 berjudul Promise in Indonesia, Adam Malik menyebutkan bagaimana kekacauan tercipta di Indonesia kala penghujung pemerintahan Soekarno.
Tulisan itu pun ditulis dalam Bahasa Inggris. Wajar apabila tulisan yang menjelaskan detail soal apa yang terjadi di Indonesia kala itu tersusun dengan rapi. Adam Malik dahulunya merupakan seorang wartawan dan pendiri kantor berita Antara pada tahun 1937.
Namun, tidak hanya karier dan keahlian menulisnya saja yang berkembang di Antara. Di kantor berita tersebut, Adam Malik akhirnya menemukan kekasih hidupnya, yakni Nelly Adam Malik yang bekerja sebagai karyawan di kantor berita itu. Mereka pun akhirnya menikah pada tahun 1942.
Wujud kecintaan Nelly dan keluarganya kepada Adam Malik pun cukup dalam. Ketika Wapres ke-3 RI itu meninggal dunia pada 1984, Nelly dan keluarganya mendirikan sebuah yayasan dan membangun sebuah museum khusus untuk Adam Malik.
Baca Juga: Jokowi dan Dua “Kubu” ASEAN
Terlepas dari misteri dan cinta yang menyelimuti sosok Adam Malik, tentu saja ada satu dan dua buah pelajaran bagi mereka yang hidup di masa kini. Mengapa warisan Adam Malik bisa jadi penting bagi pemerintah Indonesia di masa kini?
Saatnya Menlu Sekarang Belajar?
Sosok Adam Malik bisa dibilang memiliki jasa yang cukup besar bagi perjalanan kebijakan luar negeri Indonesia. Setelah citra Indonesia dikenal sebagai negara yang konfrontatif terhadap tetangga-tetangganya, Adam Malik menjadi sosok penting yang kembali membangun citra dan nasib kawasan Asia Tenggara.
Bisa dibilang, dengan hadirnya ASEAN, Indonesia kini bisa lebih baik dalam menjaga situasi kawasan agar bisa stabil. Seperti yang dijelaskan oleh John J. Mearsheimer dalam bukunya The Tragedy of Great Power Politics, negara yang dominan di kawasannya akan berusaha untuk menjaga kawasan tersebut layaknya halaman belakangnya sendiri.
Bukan tidak mungkin, upaya untuk mendirikan ASEAN dan menjaga hubungan baik dengan negara-negara tetangga adalah upaya Adam Malik untuk menstabilkan halaman belakang Indonesia sendiri. Karena stabilitas inilah, persahabatan Soeharto dengan pemimpin-pemimpin lainnya bisa terwujud dan menciptakan harmoni pada tingkat tertentu.
Peran Indonesia sebagai pemimpin alami Asia Tenggara ini akhirnya diteruskan oleh menlu-menlu Indonesia selanjutnya. Ali Alatas dan Hassan Wirajuda, misalnya, memainkan peran penting agar prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dapat dijunjung di ASEAN.
Mungkin, inilah pelajaran yang perlu diilhami oleh Retno Marsudi yang kini menjabat sebagai Menlu di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Di tengah ancaman kontestasi geopolitik antara AS dan Tiongkok, pemerintah Indonesia perlu menjamin rasa aman dan nyaman bagi mereka yang berada di halaman belakang Indonesia.
Boleh jadi, pemerintah Indonesia harus menekankan kembali bagaimana prinsip demokrasi perlu dijunjung bagi negara-negara anggota yang kini mengalami krisis politik dan masuk ke dalam jurang otoritarian – seperti Myanmar. Ini saatnya Indonesia kembali “merapikan” halaman belakangnya. (A43)
Baca Juga: Siapkah Jokowi Bila ASEAN Bubar?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.