HomeNalar PolitikAdakah Harapan Pejabat Terhindar Korupsi?

Adakah Harapan Pejabat Terhindar Korupsi?

Bermula dari kritik Megawati terhadap elite-elite yang mendulang keuntungan di tengah pandemi, tentunya terkait potensi praktik korupsi, kemudian memunculkan pertanyaan besarapakah sistem di Indonesia belum mampu menghalau praktik korup yang selama ini dilakukan oleh pejabat publik. Lantas, adakah harapan pejabat publik terhindar dari praktik korupsi?


PinterPolitik.com

Dalam acara puncak HUT Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke-49 pada Senin 10 Januari 2022 lalu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengeluarkan kritik pedas terhadap elite-elite yang mendulang untung di tengah situasi darurat pandemi Covid-19.

Presiden kelima RI itu menyesali terdapat kelompok-kelompok yang sengaja memanfaatkan momentum pandemi untuk berbisnis. Namun tidak menyebutkan siapa nama elite yang diduga berbisnis dalam proses penanganan pandemi Covid-19.

Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDIP, mengatakan bahwa pernyataan tersebut memang ditujukan sebagai otokritik bagi bangsa Indonesia secara umum maupun khususnya kader PDIP. Hasto menjelaskan bahwa sudah secara alamiah bahwa manusia memiliki sisi positif maupun negatif dalam dirinya.

Adi Prayitno, Direktur Parameter Politik Indonesia, mengatakan apa yang disampaikan Megawati merupakan keluh kesah rakyat yang risih dengan kelompok-kelompok yang sengaja mencari keuntungan di saat krisis.

Menurut Adi, kritik Megawati juga tidak menutup kemungkinan mengarah kepada elite yang mencari keuntungan untuk modal pilpres. Hanya saja, dia lebih meyakini setiap keuntungan bisnis yang diraup oleh elite akan diarahkan kepada setiap kepentingan yang sulit untuk diterka orang awam.

Dalam literasi ilmu politik, fenomena elite politik dan pejabat publik yang mengambil kesempatan untuk mendapatkan keuntungan bisnis disebut dengan istilah state capture corruption. Lantas, apa alasan kondisi seperti itu mengakar dalam lingkar elite politik atau pejabat politik?

Baca juga: Tiga Solusi Untuk Selesaikan Korupsi

Memahami State Capture Corruption

Dalam diskursus tentang tema korupsi, kita mengenal istilah state capture corruption. Definisi state capture corruption meliputi korupsi yang tak semata administratif yang melibatkan suap atau uang pelicin, melainkan korupsi melalui akarnya, yakni korupsi melalui peraturan.

Munculnya istilah ini berawal dari temuan survei Business Environment and Enterprise Pervormance Survey (BEEPS) yang merupakan kolaborasi dari Bank Dunia dan European Bank for Reconstruction and Development (EBRD), melihat adanya fakta kooptasi dan pengisapan negara  oleh elite kapital.

Hasil survei BEEPS memformulasikan relasi pihak swasta atau pebisnis dengan negara dalam tiga bentuk. Pertamastate capture atau pemberian suap pada pejabat publik yang kemudian mengambil keputusan untuk mempengaruhi pembuatan undang-undang dan peraturan. 

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Keduainfluence yaitu kemampuan pebisnis atau pihak swasta dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan tanpa harus membayar suap. Hal ini dikarenakan pihak pebisnis adalah tokoh politik atau memiliki interaksi yang sangat dekat dengan pejabat publik.

Ketiga, korupsi administrasi yang ditemukan dalam bentuk sogokan pada pejabat atau penegak hukum, agar mereka tidak melaksanakan aturan sebagaimana mestinya. Tentunya hal ini dilakukan karena menganggap nantinya aturan yang dibentuk akan menyulitkan pihak pebisnis.

Terdapat pula semacam alat ukur untuk mengetahui state capture corruption  yang dilihat dari dampak dan perilaku. Terdapat setidaknya enam komponen yang membentuk indeks tinggi rendahnya state capture: (1) Jual beli keputusan di parlemen untuk keputusan pihak pebisnis; (2) Jual beli keputusan presiden; (3) Korupsi di Bank Sentral; (4) Jual beli keputusan pengadilan dalam kasus kriminal; (5) Jual beli keputusan pengadilan dalam kasus perdagangan; (6) Sumbangan untuk partai dan kampanye politik.

Karena ukuran-ukuran di atas, maka state capture corruption jauh lebih sistematis ketimbang suap biasa. Ia muncul dalam aturan untuk melegalkan sesuatu, sehingga keuntungan seseorang atau salah satu pihak tak bisa diusut secara hukum.

Selain itu, state capture corruption melahirkan konflik kepentingan yang sulit dikendalikan, kaburnya keberpihakan negara terhadap kepentingan publik, serta minimnya transparansi dan partisipasi publik. Penegakan hukum kemudian tidak berjalan efektif dan salah sasaran, tidak menyebabkan efek jera, serta tidak memulihkan kerugian negara dan lemahnya perencanaan sebuah kebijakan.

Pada poin ke enam jika kita simak, sebenarnya akar dari state capture corruption adalah biaya pemilu yang mahal. Partai maupun kandidat mesti menyusun tim sukses karena lemahnya partai dalam memelihara basis pemilih akibat tak memiliki visi dan misi yang kuat.

Burhanuddin Muhtadi, dalam tulisannya State Capture dan Korupsi Politik, mengatakan kebutuhan membiayai pemilu ini membuat politisi mendekat kepada para pemilik modal untuk mendapatkan sumbangan untuk partai dan kampanye politik. Utang politik ini mampu melahirkan tukar kepentingan, politisi butuh uang, pebisnis butuh aturan memuluskan bisnis.

Lantas, bagaimana cara menghalau agar state capture corruption tidak berkembang secara meluas?

Baca juga: Meramal #ReformasiDikorupsi Jilid 2

Memutus Jaringan Penguasa dan Pengusaha

Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy, mencoba memperlihatkan perselingkuhan yang disinggung pada tulisan di atas, yaitu seseorang dengan dana yang cukup besar dapat melindungi kekayaan yang dimilikinya (wealth defense industry), mengakibatkan praktik korupsi yang melibatkan pemodal, mafia, dan pengambil kebijakan.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Tentunya penjelasan munculnya korupsi tidak lepas dari perselingkuhan antara pemodal dengan pengambilan kebijakan yang dijembatani oleh mafia. Di indonesia, alasan kenapa praktek seperti ini berkembang biak dengan subur disebabkan dua faktor, yaitu faktor kultural yang merujuk pada budaya feodalisme politik dan faktor akuntabilitas partai politik.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan solusinya, perlu menyimak saran dari Zephyr Teachout dan Kelly Nuxoll dalam tulisannya Three Solutions to the Oligarchy ProblemMenurut mereka, untuk mewujudkan keinginan masyarakat yang ingin menghilangkan pengaruh perselingkuhan pejabat negara dengan pengusaha, setidaknya terdapat beberapa pilihan sebagai berikut.

Pertama, perlu perubahan UU Pemilu, khususnya menyangkut ambang batas parlemen. Hal ini sangat beralasan dikarenakan dengan adanya ambang batas, maka akan memudahkan pihak  swasta berkepentingan untuk bermain. Para pebisnis tidak terlalu gambling jika para petarung yang muncul akan lebih ramping, karena ada saringan ambang batas tersebut. Di lain sisi, partai-partai politik besar akan tetap menjaga posisinya karena diuntungkan oleh ambang batas ini.

Kedua, perlu peninjauan ulang mengenai aturan main pilkada, karena selama  ini menjadi basis munculnya oligarki yang bernafaskan dinasti politik. Pilkada seperti yang kita tahu, seringkali hanya melanggengkan kepemimpinan berdasarkan ikatan kekerabatan, tentunya hal seperti ini tidak etis dalam masyarakat majemuk yang menganut sistem demokrasi.

Ketiga, perlu pengaturan dan penegakan hukum tegas tentang pendanaan partai, calon pejabat yang sejak awal masa pencalonan, dan dana kampanye pemilu partai. Hal ini diperlukan karena oligarki yang basisnya berasal dari para pebisnis, akan berselingkuh dengan calon pejabat publik, mereka menjadikan persoalan pendanaan jadi pintu mereka bertemu dengan calon pejabat yang membutuhkan modal.

Baca juga: SIN Pajak, Pemutus Rantai Korupsi?

Semua langkah di atas bertujuan untuk memutus relasi yang telah terbangun antara pengusaha yang berkepentingan dengan penguasa pengambil kebijakan. Jika ada pertanyaan mungkinkah ada harapan pejabat terhindar korupsi, maka selama pengambil kebijakan yang didorong oleh masyarakat umum punya keinginan memperbaiki aturan yang diurai di atas akan muncul harapan itu.

Sekiranya, dengan penjelasan yang telah diurai, beralasan jika Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengeluarkan kritik pedas terhadap elite-elite mendulang untung di tengah situasi darurat pandemi Covid-19. Ini semacam bukti dari insting sebagai politisi senior agar kita dalam kondisi pandemi yang berat ini, bisa saling mengingatkan satu dengan lainnya. (I76)

Baca juga: Pandemi yang Dikorupsi

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...