Yusril menyatakan PBB tidak akan abstain pada Pilpres 2019. Tetapi belum tentu dukung Prabowo. Mungkinkah akan merapat ke Jokowi?
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]emasuki tahun politik, partai-partai peserta pemilu sudah mulai menentukan arah koalisi mereka. Pasukan petahana sudah mengantongi beberapa nama partai dalam Koalisi Indonesia Kerja. Begitupun dengan penantangnya, Prabowo Subianto, sedikitnya telah didukung oleh lima partai, yaitu Gerindra, PKS, PAN, Demokrat dan Berkarya.
Di tengah dinamika tersebut, terdapat dua nama partai politik yang belum menentukan arah koalisi. Kedua partai itu adalah Partai Garuda dan Partai Bulan Bintang (PBB). Partai Garuda secara resmi memutuskan untuk abstain pada pagelaran Pilpres 2019 dan ingin fokus pada pileg.
Sementara itu, PBB mengatakan tidak akan abstain pada Pilpres 2019. Namun, sampai detik ini PBB belum menentukan pasangan calon mana yang akan didukung oleh partai di bawah asuhan Yusril Ihza Mahendra tersebut.
Yusril menegaskan PBB tidak akan netral dalam Pilpres 2019 dan menunggu waktu yang tepat kemana dukungan PBB akan berlabuh Share on XYusril menegaskan PBB tidak akan netral dalam Pilpres 2019 dan menunggu waktu yang tepat kemana dukungan PBB akan berlabuh, apakah ke pasangan Prabowo-Sandiaga atau Jokowi-Ma’ruf. Menariknya, Yusril menyatakan ia dan PBB tidak akan sembarangan mendukung Prabowo karena hal itu hanya akan menguntungkan Gerindra pada pileg. Lantas kemanakah suara PBB akan berlabuh?
Satu Kampung dengan Ahok
Yusril Ihza Mahendra berasal dari keluarga menengah ke bawah di Belitung Timur. Kisah hidup Yusril pernah digambarkan dalam sebuah buku berjudul Kenang-kenangan di Masa Kecil Yusril Ihza karya Rian Payak. Tertulis bahwa Yusril lahir dalam keluarga sederhana, ayahnya berprofesi sebagai PNS dengan gaji tidak seberapa dan pernah sampai harus menjual ayam untuk keperluan sekolah.
Kini, pria dari Belitung tersebut sudah berubah menjadi tokoh besar yang sangat dikenal di tingkat nasional. Yusril dikenal sebagai pakar hukum tata negara dan tercatat pernah menjadi Menteri Hukum dan Perundang-undangan pada masa Abdurrahman Wahid, Menteri Hukum dan HAM pada masa Megawati Soekarnoputri, hingga menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara pada masa Susilo Bambang Yudhoyono.
Sama seperti Yusril, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) merupakan putra kelahiran Belitung Timur. Akan tetapi, walaupun “satu kampung” Yusril dan Ahok sering kali dikabarkan memiliki pandangan dan pilihan politik berbeda.
Walaupun “satu kampung” Yusril dan Ahok sering kali dikabarkan memiliki pandangan dan pilihan politik berbeda. Share on XYusril merupakan tokoh Islam dan pendiri partai Islam PBB. Berbeda dengan Ahok, Ahok adalah seorang Kristen dan keturunan Tionghoa. Yusril sendiri tercatat pernah mempermasalahkan kewarganegaraan Ahok, ia menyebut riwayat ayah Ahok yang pernah menjadi warga Tiongkok akan menghambat impian Ahok untuk menjadi presiden Indonesia.
Selain itu, arah politik Yusril dan Ahok sama sekali berbeda. Ahok merupakan pendukung Jokowi, sedangkan Yusril adalah pihak yang cukup sering mengkritik Jokowi. Beberapa kali Yusril berlawanan dengan Jokowi seperti pada kasus pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dimana Yusril mengatakan keputusan Jokowi untuk membubarkan HTI tidaklah tepat.
Dengan perbedaan-perbedaan itulah Yusril dan Ahok sebagai putra Belitung Timur selalu dianggap berseberangan. Akan tetapi, biar bagaimanapun, Yusril pernah berusaha melindungi Ahok ketika mantan Gubernur itu didemo ribuan massa karena kasus penistaan agama.
Yusril menyerukan umat Islam agar menerima permintaan maaf Ahok dan meminta umat Islam untuk mempercayakan kasus tersebut kepada aparat penegak hukum. Hal itu memperlihatkan sebuah sikap berbeda antara Yusril dengan tokoh-tokoh Islam lainnya.
Tokoh Islam Berpengaruh
Yusril tidak bisa dianggap remeh. Popularitas Yusril di kalangan umat Islam patut diperhitungkan. Yusril dikenal sebagai pendiri PBB, sebuah partai berasaskan Islam yang berdiri pasca reformasi dan keterbukaan politik di tahun 1998.
Sebagai tokoh Islam, Yusril sangat mengidolakan tokoh Masyumi Mohammad Natsir. Di beberapa kesempatan, Yusril mengajak seluruh umat Islam untuk memperjuangkan syariat Islam melalui jalur politik. Baginya, hal tersebut sejalan dengan perjuangan Natsir dan partai Masyumi dulu.
Yusril mengatakan Mohammad Natsir adalah seorang ulama tetapi dia terjun ke dunia politik. Ia menambahkan alasan Natsir masuk ke pemerintahan adalah untuk memasukkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gagasan Islam berpolitik ini aktif dikampanyekan oleh Yusril ke pesantren-pesantren hingga ke forum-forum umat Islam. Ketua PBB itu sering kali menyerukan agar umat Islam tidak antipati terhadap politik. Menurut Yusril, umat Islam berisiko tersingkir dan bahkan tertindas jika tidak ada di dalam pemerintahan.
"Apa yang dilakukan HTI melanggar perppu dalam waktu sembilan hari? Hukum tidak boleh berlaku surut," kata Yusril.https://t.co/MerDtNg33f
— Yusril Ihza Mahendra (@Yusrilihza_Mhd) November 24, 2017
Menariknya, Yusril juga berupaya menggandeng kader-kader HTI untuk berjuang dalam jalur politik. Terdapat dugaan bahwa HTI takluk pada ajakan Yusril. Juru bicara HTI Ismail Yusanto membenarkan sudah ada pembicaraan antara kader HTI dengan PBB terkait keikutsertaan di Pileg 2019.
Hal tersebut tentu merupakan bukti bahwa Yusril bukanlah tokoh sembarangan. Yusril mampu merangkul organisasi yang anti terhadap demokrasi, untuk memperjuangkan syariat Islam melalui sistem demokrasi.
Selama ini, Yusril dikenal sebagai sosok yang membela HTI. Dengan pembelaan itu, cukup masuk akal ketika anggota HTI akan memilih PPB pada Pileg mendatang. Dukungan kader-kader HTI terhadap PBB juga bisa membuat partai tersebut diperhitungkan pada Pileg mendatang.
Yusril Akan Dukung Jokowi?
Yusril dengan tegas menyatakan bahwa PBB belum tentu mendukung Prabowo-Sandiaga. Hal ini tentu mengherankan berbagai pihak. Pasalnya, dari penjabaran sebelumnya, cita-cita Yusril dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam justru lebih dekat dengan cita-cita Prabowo-Sandiaga dengan tokoh-tokoh politik Islam di belakang mereka.
Akan tetapi, Yusril pernah mengatakan bahwa partainya tidak akan abstain pada Pilpres 2019. Lantas, mungkinkah Yusril dan PBB akan merapat untuk mendukung Jokowi? Pasalnya, Yusril tercatat beberapa kali menjelaskan alasan mengapa ia dan PBB belum tentu memberikan dukungan pada Prabowo pada Pilpres 2019.
Pertimbangan pertama adalah karena Yusril kecewa dengan Prabowo ketika Prabowo tidak memilih wapres hasil keputusan Ijtima Ulama pertama. Yusril mengatakan sebagai partai Islam, PBB manut kepada para ulama dan kader-kader PBB lebih sreg dengan pasangan yang ada ulamanya. Pernyataan ini menjadi menarik karena di pihak Jokowi lah terdapat cawapres dari kalangan ulama.
Kedua, adalah karena Yusril merasa PPB tidak pernah diajak bicara oleh partai koalisi Prabowo. Yusril mengatakan Koalisi Keumatan hanyalah fatamorgana karena PBB tidak pernah terlibat di sana, bahkan PBB mengeluh karena nama partai tersebut dibawa-bawa tanpa pernah diajak bicara.
Ketiga, Yusril merasa Gerindra menghilang ketika PPB sedang terpuruk. Yusril mengatakan bahwa ia sering membantu Gerindra tetapi ketika PBB terpuruk dan hampir tidak lolos ke Pemilu 2019, tidak ada simpati sedikitpun baik dari Gerindra, PKS ataupun PAN. Yusril menyebut justru “partai sekuler” yang bersimpati kepada PBB. Meski tidak merujuk kepada siapa, kemungkinan partai sekuler yang dimaksud adalah rival dari partai-partai dalam Koalisi Keumatan.
Terakhir, Yusril sangat mempertimbangkan target PBB pada Pileg 2019. PBB menargetkan 10% perolehan suara dan berharap bisa kembali mengisi parlemen tahun depan. Pertimbangan ini menjadi alasan Yusril tidak terburu-buru untuk mendukung Prabowo karena bagi Yusril dukungan PBB hanya akan menguntungkan Partai Gerindra pada pileg nanti.
Demi memenuhi target Pileg, Yusril bisa saja merapat ke kubu Jokowi. Berdasarkan kondisi tersebut, PBB mungkin mengharapkan coattail effect (efek ekor jas) dari Jokowi. Menurut Matthew Shugart, pemilih cenderung untuk memilih partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya.
Shugart mengatakan hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan partai yang memenangkan Pilpres akan sama dengan partai yang memenangkan pemilu legislatif. Hingga bulan September 2018, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin masih unggul atas Prabowo di tiga lembaga survei, yaitu Lembaga Survei Indonesia (LSI) 52,2%, Alvara 53,5%, dan Y-Publica 52,7%.
Dengan keunggulan tersebut, Jokowi bisa memberikan coattail effect kepada partai-partai pengusung Jokowi jelang Pemilu 2019. Maka bukan tidak mungkin ketika PBB merapat ke kubu Jokowi, partai di bawah asuhan Yusril itu pun akan mendapatkan limpahan suara karena faktor coattail effect.
Bagi Jokowi sendiri, jika Yusril dan PBB merapat, maka kandidat petahana tersebut bisa mendapatkan tambahan amunisi yang menarik. Ketokohan Yusril yang memiliki pengaruh di kalangan Muslim seperti disebut sebelumnya bisa memberi keuntungan tersendiri bagi Jokowi.
PBB sendiri bukanlah partai Islam yang kaku. Pada bulan Maret 2018, Sekjen PBB Afriansyah Ferry Noer pernah mengatakan kemungkinan Yusril akan dicalonkan menjadi wakil Jokowi pada Pilpres 2019. Hal itu menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan pula PBB akan masuk ke dalam koalisi Jokowi demi meraih target 10% pada Pileg mendatang.
Mungkin saja kekecewaan Yusril kepada Prabowo dan target partai untuk masuk ke parlemen akan membuat ia justru berlabuh kepada Jokowi. Lantas mungkinkah Yusril dan PBB akan mendukung pencalonan Jokowi pada Pilpres mendatang? (D38)