Banyak pihak mulai mengaitkan kudeta militer di Myanmar dengan adanya tangan asing. Mungkinkah hal itu benar adanya?
Hari-hari sudah berlalu sejak kudeta militer terjadi di Myanmar. Sejauh ini, protes masih terus terjadi untuk menentang sikap angkatan bersenjata tersebut. Di tengah protes, muncul sebuah sentimen baru yaitu sentimen anti-Tiongkok.
Diberitakan Reuters, jalur gas dari Myanmar ke Tiongkok telah menjadi sasaran amarah dari para demonstran antikudeta. Selain itu, Kedutaan Besar Tiongkok juga telah menjadi lokasi tujuan para penolak. Kondisi-kondisi ini berakar dari anggapan bahwa kudeta militer yang terjadi didukung oleh pemerintahan Beijing.
Tentu, hal ini belum bisa dikonfirmasi penuh keabsahannya. Secara khusus, dikutip dari Reuters, Duta Besar Tiongkok untuk Myanmar Chen Hai mengatakan bahwa situasi yang terjadi di Myanmar saat ini bukanlah sesuatu yang ingin Tiongkok lihat. Ia juga mengatakan kalau Tiongkok masih berhubungan baik dengan pihak militer eks pemerintahan sipil.
Meski memiliki pernyataan seperti itu, sejauh ini Beijing belum memiliki pernyataan eksplisit yang benar-benar mengutuk munculnya junta militer. Hal ini berbeda dengan banyak negara lain.
Baca Juga: Nasdem Lebih Cocok Dengan Ridwan Kamil
Salah satu kubu yang mengutuk keras adalah negara-negara dari G7 yang terdiri dari Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, Kanada, Italia, dan Kanada.
Lebih jauh dari sekadar mengutuk, AS telah menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam kudeta. Tak hanya itu, negeri Paman Sam juga bisa membekukan aset-aset yang dianggap menguntungkan rezim militer.
Terlihat bahwa ada dua sikap yang berbeda dalam menyikapi kudeta di Myanmar. Ada yang mengutuk keras seperti AS, ada pula yang memilih pernyataan noneksplisit seperti Tiongkok. Terkait dengan itu, mungkin saja ada yang akan mengaitkan dengan perang pengaruh antara kedua sikap tersebut. Apalagi, Myanmar sendiri punya kekayaan yang cukup menarik untuk diperebutkan. Benarkah memang ada tangan-tangan asing di konflik ini?
Saling Beradu
Selama bertahun-tahun, Myanmar memang dikenal sebagai negara yang dipimpin oleh junta militer. Negara yang sempat berada di bawah kendali Inggris ini sempat dikuasai oleh militer pada tahun 1962 sampai dengan 2011.
Selama periode junta militer tersebut, Myanmar mengalami isolasi yang cukup ketat dari negara-negara lain terutama negara-negara Barat. Pada tahun 1980-an, negara-negara Barat memang menjatuhkan sanksi dagang dan ekonomi kepada Myanmar.
Pada periode tersebut, investasi asing ke Myanmar menjadi amat terbatas. Salah satu negara yang menjadi sumber investasi asing di masa itu adalah Tiongkok. Sejak saat itu, Myanmar memiliki hubungan ekonomi dan diplomatik yang cukup mesra dengan Tiongkok.
Baca Juga: Balasan Jokowi pada Uni Eropa
Kondisi tersebut mengalami sedikit perubahan ketika terjadi reformasi signifikan di Myanmar pada tahun 2010. Kala itu, terjadi perubahan ekonomi dan politik di Myanmar dengan harapan demokrasi dapat tercipta setelah lama dipimpin junta. Tanda utama dari hal ini adalah pembebasan Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah setelah 15 tahun.
Perubahan itu kemudian mengubah sedikit peta hubungan asing di Myanmar. Negara yang semula terisolasi menjadi lebih terbuka. Selain Tiongkok, investasi dari Asia Tenggara, Tiongkok, dan Korea Selatan mulai masuk ke sana.
Perlahan-lahan, investasi asing dari negara lain mulai bersaing dengan Tiongkok. Apalagi, hubungan bilateral antara Myanmar dan Tiongkok sempat terkendala semenjak banyak proyek bendungan besar tertunda.
Proyek ini sendiri ditandatangani Tiongkok pada tahun 2013 bersama rezim Myanmar sebelumnya. Dikabarkan kalau 90 persen listrik dari proyek tersebut akan dikirim ke Tiongkok dan Thailand sehingga memancing kontroversi.
Pada akhirnya, dominasi Tiongkok sebagai investor utama di Myanmar bisa disalip. Pada tahun 2019, Singapura menggantikan Tiongkok dengan investasi di ragam sektor termasuk bank, konstruksi, real-estate, dan persenjataan.
Isu Energi
Secara spesifik, adu pengaruh di Myanmar boleh jadi akan terjadi di sektor yang sangat signifkan yaitu energi. Dalam konteks ini, minyak dan gas dapat menjadi sektor yang cukup krusial untuk diperebutkan di Myanmar.
Sebagai gambaran, Myanmar sebenarnya negara yang punya sumber daya alam yang cukup menjanjikan. Pada tahun 2012, punya cadangan gas sebesar 10 triliun kubik feet. Lalu, mereka juga punya cadangan minyak sebesar 50 juta barel pada 2013. Meski begitu, isolasi, sanksi, dan minimnya investasi membuat pengembangannya tergolong belum signifikan.
Terlepas dari itu, sebenarnya ada kooperasi untuk minyak dan gas cukup jelas di Myanmar. Kerja sama yang dimaksud adalah yang terjadi antara Myanmar dan Tiongkok.
Kondisi ini tergambar dalam proyek pipa minyak dan gas yang terjadi pada tahun 2009. Proyek yang mulai beroperasi pada tahun 2013 ini merupakan bagian penting dalam Belt and Road Inititative milik Tiongkok. Sejauh ini, proyek ini telah mengirimkan migas ke Tiongkok melalui Myanmar-China Natural Gas Pipeline dan Myanmar-China Oil Pipeline.
Jalur dari pipa-pipa ini sendiri membentang dari kota Kyaukpyu di Myanmar hingga wilayah Yunnan di Tiongkok. Pada tahun 2018, jalur ini disebut telah mengirim 3,2 miliar kubik meter gas dari Myanmar ke Tiongkok.
Baca Juga: Menguak Manuver Cerdik Ridwan Kamil
Pipa migas ini tentu memberikan manfaat bagi Tiongkok. Tak hanya mampu memenuhi kebutuhan energi, proyek tersebut dapat membantu mereka dalam mengakali rute tempuh.
Posisi Myanmar yang berada di Samudera Hindia membuat mereka memiliki alternatif rute untuk menghindari Selat Malaka. Selat ini sendiri disebut-sebut jalur pelayaran internasional yang didominasi oleh oleh US Navy.
Keberadaan pipa ini membuat mereka punya jalur yang lebih cepat ditempuh dan relatif minim potensi konfrontasi dengan AS.
Meraba Kemungkinan Intervensi
Kekayaan sumber daya alam ini tentu menarik bagi banyak negara di dunia. Sebelum Tiongkok misalnya, India sudah terlebih dahulu melirik kekayaan gas mereka.
Setelah sanksi untuk Myanmar perlahan dicabut pada tahun 2012, banyak perusahaan energi internasional yang melirik mereka. Perusahaan-perusahaan seperti British Gas, Chevron, ConocoPhillips, ENI, Oil India, Ophir, PetroVietnam, Shell, Statoil, Total dan Woodside dilaporkan mulai masuk pasar minyak Myanmar.
Jika dilihat dari trennya, investasi-investasi tersebut baru bermunculan ketika militer Myanmar melonggar sehingga beragam sanksi dicabut. Di lain pihak, Tiongkok sebagai mitra investasi awal Myanmar, justru banyak menikmati relasi bersama militer.
Contoh kasus proyek bendungan seperti disebut di atas dapat menjadi gambaran dari relasi Tiongkok dan militer Myanmar. Hal serupa berlaku untuk proyek pipa gas yang dimulai pada tahun 2009, sebelum berbagai perubahan terjadi.
Disarikan dari Zhao Hong dalam China–Myanmar Energy Cooperation and Its Regional Implications, model bisnis lama dengan diktator militer memang tergolong memudahkan Tiongkok untuk meraup kesuksesan investasi.
Apalagi, belakangan, pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing menyebut akan melanjutkan kembali proyek tenaga air, meski tanpa menyebut proyek mana. Pernyataan ini membuat banyak pihak bertanya-tanya apakah proyek bendungan bersama Tiongkok yang dimaksud.
Jika benar, hal tersebut dapat menjadi sumber diskusi apakah Tiongkok lebih senang berinteraksi dengan diktator militer ketimbang sipil. Sebab, proyek energi dapat lebih mudah mereka dapatkan ketika berurusan dengan tentara.
Di lain pihak, negara-negara lain justru terlihat lebih mudah berinvestasi di Myanmar tatkala mereka mulai melirik pemerintahan sipil.
Dari hal itu, mungkin ada pihak yang bertanya-tanya apakah isu perebutan sumber energi dalam drama kudeta?
Tentu, hal ini masih sulit untuk dibuktikan sekarang. Meski begitu, dalam “Oil above Water”: Economic Interdependence and Third-party Intervention, Vincenzo Bove, Kristian Skrede Gleditsch, dan Petros G. Sekeris mengindikasikan jika ada intervensi asing dalam sebuah konflik, kemungkinan akan terkait dengan urusan energi yang dalam konteks mereka adalah minyak.
Merujuk pada kondisi tersebut, jika benar terjadi, bukan tidak mungkin drama atau konflik serupa bisa terjadi di negara-negara penuh sumber daya. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan limpahan kekayaan alam mungkin saja rentan konflik yang melibatkan tangan asing.
Memang, sejauh ini belum ada tanda-tanda seperti itu di Indonesia. Hal serupa juga belum bisa di dibuktikan penuh di Myanmar. Meski demikian, dengan adanya temuan Bove dan kawan-kawan, mungkin saja negara-negara kaya sumber daya alam harus selalu waspada. (H33)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.