Selain dugaan keterlibataan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan pihak asing, kini pemerintah menyelidiki keterlibatan jaringan teroris di balik kerusuhan di Papua. Namun, klaim pemerintah mengenai adanya jaringan teroris di Papua diragukan oleh beberapa pihak. Lalu, mungkinkah Papua sudah disusupi teroris? Atau ada maksud lain di balik munculnya narasi “teroris” di Papua?
PinterPolitik.com
Dugaan keterlibatan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dalam kerusuhan di Papua beberapa minggu ke belakang disampaikan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu.
Menurutnya ISIS terlibat melalui kelompok lokal yang menyerukan “jihad di tanah Papua”.
Pernyataan Menhan ini diragukan oleh berbagai pihak.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas misalnya, meragukan dan meminta bukti atas pernyataan Menhan.
Hal senada juga diungkapkan pengamat terorisme Zaki Mubarak yang berpendapat bahwa jika tidak disertai bukti, maka pernyataan Menhan akan memberikan stigma negatif terhadap aksi masyarakat Papua.
Pertanyaan juga datang dari Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, yang meminta Polri untuk membuktikan adanya kelompok di Papua yang terafiliasi dengan ISIS.
Terorisme di Bumi Cendrawasih?
Polri mengklaim bahwa sejak dua tahun ke belakang, kelompok teroris Jamaah Ansarut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS memang sudah beroperasi di Papua.
Menurut Polri JAD telah aktif di beberapa wilayah di Papua seperti Jayapura, Wamena, Fakfak, Manokwari, dan Merauke. Polri bahkan mengklaim bahwa tahun lalu, Densus 88 sudah menggagalkan rencana JAD untuk melakukan pengeboman di Polres Manokwari.
Namun, untuk keterlibatan kelompok ini dalam kerusuhan di Papua, Polri mengatakan masih mendalaminya.
Ini bukan pertama kalinya pemerintah mencurigai adanya jaringan teroris di Papua.
Pada Mei 2019 lalu, Polda Papua pernah mencurigai adanya lokasi latihan JAD di Kabupaten Keerom dan Merauke.
Ketika itu Suryadi Diaz, juru biacara Polda Papua, mengatakan bahwa dua kabupaten ini memang ideal jika dijadikan lokasi latihan teroris karena harga tanahnya yang murah, luas, dan lokasinya yang jauh dari perkotaan.
Di sisi lain, isu adanya lokasi latihan ini dibantah dan diklaim sebagai hoaks oleh Kantor Wilayah Kementerian Kementerian Agama (Kemenag) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Keroom.
Mereka tidak menemukan adanya indikasi aktivitas JAD meskipun sudah mendatangi langsung lokasi tersebut, berbicara dengan masyarakat, dan berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk kepolisian.
Sejak awal, klaim adanya kelompok teroris yang terlibat dalam kerusuhan di Papua beberapa minggu ke belakang memang sulit dibuktikan.
Faktor utama munculnya keraguan ini berkaitan dengan demografi masyarakat di Papua yang mayoritas beragama Kristen, sementara kelompok seperti ISIS atau JAD memiliki pandangan Islam radikal.
Adanya perbedaan agama ataupun ideologi ini memperlihatkan ketidakcocokan jika JAD beroperasi di Papua karena aktivitasnya akan ditolak oleh masyarakat setempat.
Bahkan JAD cabang Papua dapat menemui musuh baru selain TNI-Polri, yaitu OPM karena bentrokan ideologi dan tujuan.
OPM ingin memerdekakan Papua dan menjaga nilai-nilai ke-Papua-an, sementara JAD ingin mendirikan Negara Islam yang tentunya hanya menganut nilai-nilai Islam.
Selain itu, menurut pengamat terorisme dari Comunity of Ideological Islamic Analyst, Harits Abu Ulya, kelompok teroris seperti JAD cenderung lebih memilih beroperasi di wilayah dengan mayoritas muslim seperti Jawa dan Lampung.
Pemilihan lokasi ini bertujuan agar JAD mudah dalam mencari orang-orang muslim untuk direkrut ataupun mendapat dukungan dari masyarakat setempat karena kesamaan agama atau ideologi.
Dengan munculnya keraguan-keraguan yang ada terhadap aktivitas JAD di Papua, lalu mengapa Menhan dan Polri mengeluarkan pernyataan yang masih dipertanyakan kebenarannya?
Atau jangan-jangan ada tujuan lain di balik narasi atau label “teroris” yang dimunculkan di Papua?
Strategi Pemerintah?
Menurut Harmonie Toros dalam tulisannya yang mengkaji tentang legitimasi dan kompleksitas konflik terkait terorisme, pemberian label “teroris” kepada suatu kelompok memiliki beberapa tujuan, salah satunya untuk mendelegitimasi kelompok tersebut.
Toros menjelaskan bahwa efek delegitimasi ini memang menjadi tujuan pemerintah ketika memberikan label “teroris” kepada kelompok atau aksi tertentu.
Delegitimasi ini dapat terjadi karena adanya stigma negatif dari masyarakat, domestik maupun internasional, terhadap apapun yang dilakukan oleh kelompok teroris.
Pemberian label “teroris” ini juga dapat dilakukan pemerintah terhadap kelompok separatis yang mencoba memerdekakan diri berdasarkan nasionalisme-etnis (ethno-nationalist) seperti OPM.
Menurut Profesor Elena Pokalova dari National Defense University, pemberian label inilah yang dilakukan oleh Pemerintah Turki terhadap kelompok separatis Kurdi, Rusia terhadap kelompok Chechnya, dan Serbia terhadap Kosovo.
Pokalova juga menjelaskan bahwa pemberian label teroris terhadap kelompok separatis dilakukan karena adanya beberapa keuntungan bagi negara.
Pertama, pemberian label teroris dapat menjustifikasi kebijakan negara dalam mengatasi kelompok tersebut, termasuk dengan cara menggunakan kekuatan militer.
Kedua, pemberian label teroris akan menghilangkan tekanan dunia internasional yang lebih mendukung penyelesaian dengan cara-cara politik atau halus jika yang dihadapi adalah kaum separatis.
Ketiga, pemberian label teroris pada akhirnya dapat mempermudah negara dalam mempertahankan wilayah dan kekuasaan politiknya.
Berdasarkan pandangan Toros dan Pokalova ini, bisa jadi pendapat Zaki Mubarak memang ada benarnya, bahwa pemerintah mengangkat narasi terorisme untuk memberikan citra negatif terhadap aksi masyarakat Papua.
Selain mendelegitimasi gerakan separatis di Papua, penggunaan label teroris juga dapat digunakan sebagai legitimasi pemerintah untuk menggunakan pendekatan keras (hard approach) seperti penggunaan kekuatan TNI-Polri untuk meredam kelompok separatis seperti OPM.
Sedikit catatan bahwa hingga saat ini pemerintah setidaknya sudah mengerahkan 6.000 pasukan gabungan TNI-Polri ke Papua dan hal tersebut menuai berbagai protes dari banyak pihak.
Trauma masa lalu, pemerintah dinilai berlebihan sikapi pihak asing terkait konflik Papua.https://t.co/9TcNpgK1mn pic.twitter.com/nHJ90iSr4g
Sejauh ini nampaknya pemerintah memperlakukan aktor-aktor yang terlibat dalam Konflik Papua dengan cara yang berbeda-beda.
Ada kelompok yang oleh pemerintah diajak untuk berdialog, namun ada juga mereka-mereka yang dituduh sebagai provokator dan terancam dipidanakan.
Beberapa aktor yang hingga kini terus diajak berdialog adalah Majelis Rakyat Papua, Tokoh Agama, dan Tokoh Adat.
OPM yang selama ini mengangkat senjata, menyatakan perang, dan menyerang personil TNI dan Polri juga menjadi salah satu pihak yang diajak berdialog.
Tidak main-main, ajakan dialog terhadap OPM ini langsung datang dari Kapolri dan Panglima TNI
Sementara pihak yang dituduh sebagai provokator dan saat ini sedang dikejar serta diancam akan dipidanakan justru mereka yang berada di luar negeri, atau yang sering disebut “pihak asing” oleh pemerintah, seperti Benny Wenda dan Veronica Koman.
Perbedaan pendekatan yang dilakukan pemerintah ini memperkuat adanya pandangan bahwa pemerintah memiliki trauma terhadap keterlibatan pihak asing dalam penyelesaian konflik dalam negeri.
Harus diakui bahwa belum ada bukti kuat mengenai keterlibatan JAD dalam kerusuhan di Papua. Pun bisa saja narasi teroris di Papua hanya pendapat Menhan atau Polri semata yang tidak mewakili pemerintah secara keseluruhan.
Yang jelas, isu aktivitas, narasi, dan pemberian label teroris di Papua tetap harus diawasi bersama, mengingat sudah ada beberapa pihak termasuk Ketua DPR yang meminta agar OPM ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah bahkan PBB. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.