Belum selesai penyelesaian kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel Baswedan, secara mengejutkan penyidik senior KPK itu justru dipolisikan oleh politikus PDIP Dewi Tanjung atas dugaan adanya rekayasa terhadap kasus tersebut. Tidak hanya mengejutkan, pelaporan ini juga semakin menguatkan curiga publik bahwa terdapat “perseteruan” antara KPK dengan PDIP. Sontak saja, PDIP langsung membantah bahwa laporan yang dibuat Dewi merupakan instruksi partai. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
Sedu sedan Novel Baswedan sepertinya tengah bertambah pedih. Bagaimana tidak, sudah lebih dari dua tahun kasus penyiraman air keras yang menimpa dirinya tidak kunjung menemui kejelasan. Bahkan sekarang, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut harus menerima kembali kenyataan pahit setelah Dewi Ambarwati atau Dewi Tanjung melaporkan dirinya ke Polda Metro Jaya atas dugaan rekayasa dalam kasus tersebut.
Sontak saja, laporan mengejutkan tersebut mengundang kecaman dan kekecewaan dari berbagai pihak. Alghiffari Aqsa misalnya, anggota Tim Advokasi Novel Baswedan ini menuturkan bahwa tindakan pelaporan tersebut sudah mengarah pada fitnah dan merupakan tindakan di luar nalar dan rasa kemanusiaan.
Usut punya usut, Dewi ternyata merupakan politikus PDIP dan sempat maju di Pemilu 2019 untuk Dapil V Jawa Barat, meskipun akhirnya gagal karena hanya meraih 7.311 suara. Tidak hanya itu, Dewi juga ternyata telah beberapa kali melakukan laporan atas tuduhan makar yang menyasar berbagai pihak yang “berseberangan” dengan pemerintah.
Ini jelas terlihat ketika Dewi melaporkan tokoh-tokoh sentral pemenangan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno macam Eggy Sudjana, Amien Rais, Habib Rizieq Shihab, hingga Bachtiar Nasir.
Melihat pada latar belakang dan track record-nya, tidak ayal publik menjadi curiga terdapat andil PDIP di balik laporan yang dibuat oleh kadernya.
Peka terhadap sentimen tersebut, Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa partainya tidak memberikan instruksi kepada Dewi, dan menyebut itu adalah tindakan atas nama pribadi.
Namun, jika melihat riak-riak hubungan antara PDIP dengan KPK beberapa tahun ini, sulit bagi publik untuk mempercayai pernyataan Hasto tersebut.
Alghiffari sendiri menyebut laporan ini adalah sebuah penggirangan opini, dan tidak hanya itu, momentum laporan ini, entah disengaja atau tidak, sangat bertepatan dengan narasi adanya upaya pelemahan KPK oleh pemerintah.
Bahkan, telah ramai diberitakan oleh berbagai media bahwa Ketua KPK terpilih, Firli Bahuri memiliki kedekatakan dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri setelah Firli mengakui telah bertemu dengan Mega sebelumnya.
Pertanyaannya, benarkah terdapat kepentingan PDIP di balik dipolisikannya Novel?
Riak Retak PDIP-KPK
Dipolisikannya Novel benar-benar membuat publik terkejut. Pasalnya, setelah dua tahun lebih kasus penyiraman air keras berjalan, mengapa laporan terkait dugaan rekayasa kasus Novel baru sekarang ini dikemukakan.
Keheranan ini juga diungkapkan oleh Delviana, wartawan Net TV yang waktu itu langsung terbang ke Singapura untuk meliput kondisi Novel. Tutur Delviana, mengapa baru sekarang video liputannya kembali diangkat kemudian diselipkan narasi bahwa ini kemungkinan adalah rekayasa.
Dalam keterangannya kepada media, Dewi ternyata juga bertolak dari video yang tengah viral tersebut, yang kemudian disimpulkan terdapat kejanggalan karena tidak terdapat bekas luka siraman air keras di sekitar kelopak mata Novel.
Pertanyaan penting dari kasus ini sebenarnya bukan pada perkara mengapa tidak terdapat bekas luka di sekitar mata Novel, namun mengapa potongan video ataupun pelaporan tersebut baru mencuat sekarang?
Pasalnya, momen viralnya video ataupun pelaporan Dewi sangat bertepatan dengan narasi adanya usaha pelemahan KPK oleh pemerintah setelah adanya revisi UU KPK dan gestur Presiden Jokowi yang terlihat menolak untuk mengeluarkan Perppu KPK.
Pun ini bertepatan dengan momen Jokowi yang telah mewanti-wanti Kapolri Idham Azis untuk mengungkap kasus ini dengan tenggat waktu hingga awal Desember 2019.
Ketepatan momen ini, kemudian terartikulasikan oleh kognitif publik bahwa terdapat manuver politik dari pihak tertentu untuk menyerang komisi anti-rasuah tersebut.
Mau diakui atau tidak, adanya fakta bahwa Dewi merupakan kader PDIP akan membuat publik berpikir mestilah terdapat pertautan antara pelaporan Novel dengan partai berlogo banteng tersebut.
Melihat pada hubungan keduanya yang nampak retak beberapa tahun ini adalah indikasi kuat atas hal tersebut.
Misalnya saja pada tahun 2015, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri disebut tidak terima setelah KPK mengumumkan penetapan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka dalam kasus rekening gendut yang membuat yang bersangkutan gagal menjabat sebagai Kapolri. Kasus ini disebut memicu kemarahan besar putri Soekarno tersebut.
Kemarahan Mega ini sendiri terungkap dalam rekaman Setya Novanto dalam kasus Papa Minta Saham. Kemarahan ini kemungkinan besar ditengarai dari dekatnya hubungan Mega dengan BG semenjak nama terakhir menjabat sebagai ajudannya.
Lalu, terkait Ketua KPK yang baru, Firli Bahuri diduga merupakan nama yang memang sudah dipersiapkan oleh PDIP. Laporan Tempo menyebutkan bahwa sedari awal PDIP telah menekankan pada fraksi-fraksi yang lain di DPR untuk meloloskan nama Firli sebagai Ketua KPK.
Lantas mengapa PDIP mendorong Firli sebagai Ketua KPK? Karena Firli adalah nama yang menunjukkan gelagat mendukung revisi UU KPK. Dengan kata lain, menempatkan Firli sebagai Ketua KPK, PDIP ataupun pihak-pihak lain yang setuju atas produk hukum tersebut memiliki “jaminan” bahwa internal KPK tidak akan menjadi ganjalan atas berjalannya UU yang telah direvisi.
Atas berbagai indikasi tersebut, sekiranya sulit terhindarkan untuk tidak mengartikulasikan bahwa PDIP bisa menjadi aktor di balik pelaporan Dewi terhadap Novel ataupun propaganda bahwa kasus Novel adalah rekayasa.
Indikasi ini makin menguat setelah mengetahui bahwa Dewi juga pernah mempolisikan berbagai tokoh sentral yang berseberangan dengan pemerintah.
Upaya Delegitimasi KPK?
Sekarang pertanyaannya, bukankah revisi UU KPK telah berhasil dilakukan, di mana menurut banyak pihak, ini merupakan preseden untuk melemahkan KPK? Lalu, atas kepentingan apa narasi propaganda rekayasa kasus dan pelaporan Dewi diperlukan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu harus dijawab terkait konsekuensi apa yang sekiranya terjadi jika propaganda dan pelaporan tersebut dikeluarkan.
Konsekuensi dari dua hal tersebut dapat dijelaskan oleh konsep psikologi yang disebut dengan social proof atau pembuktian sosial. Social proof sendiri adalah kecenderungan “alamiah” individu untuk merasa telah melakukan sesuatu yang benar jika terdapat banyak orang atau kelompok yang juga melakukan hal yang sama.
Sebuah eksperimen sederhana dari ahli psikologi Solomon Asch pada tahun 1950-an telah berhasil menunjukkan bahwa tekanan rekan sebaya dapat membelokkan akal sehat. Asch menunjukkan, individu yang menjadi subjek eksperimennya telah mengubah jawabannya agar sesuai dengan rekan-rekannya.
Nah, dalam kasus laporan Dewi, jika propaganda dan pelaporan tersebut berhasil membuat banyak orang untuk setidaknya berpikir ada kemungkinan kasus Novel adalah rekayasa, maka ini dapat melahirkan efek “bola salju”, yang membuat banyak pihak akan menyebut kasus Novel rekayasa.
Sebagaimana diketahui, kasus Novel terus bergulir sampai sekarang karena derasnya dukungan dari masyarakat. Artinya, sebenarnya ini adalah kasus yang dipertahankan karena pihak terkait tidak ingin mendapat backlash dari masyarakat.
Sekarang, jika taktik propaganda tersebut katakanlah berhasil, kira-kira apa yang akan terjadi pada kasus Novel? Besar kemungkinan kasus ini hanya akan mengapung tidak jelas, katakanlah seperti kasus Munir.
Lebih dari itu, jika propaganda ini berhasil untuk meyakinkan masyarakat bahwa kasus Novel benar-benar adalah rekayasa, akan terjadi “delegitimasi” terhadap KPK.
Delegitimasi sendiri adalah proses sosiopsikologis yang merongrong atau memarginalkan suatu entitas ketika nilainya sudah dipandang rendah. Dari delegitimasi psikologis ini, kemudian akan bertransformasi menjadi delegitimasi politik yang akan memarjinalkan KPK.
Pada titik ini, mungkin sudah mulai terjawab mengapa propaganda dan pelaporan Novel tetap dilakukan kendati UU KPK telah berhasil direvisi. Hal ini karena pihak-pihak terkait merasa tidak cukup memarjinalkan KPK secara formal, melainkan juga perlu memarjinalkan KPK secara sosial.
Pada akhirnya, kita dapat memahami bahwa terdapat motif-motif tertentu di balik pelaporan Novel. Kemudian, fakta bahwa Dewi adalah kader PDIP adalah indikasi kuat bahwa PDIP sepertinya menjadi salah satu pihak yang memiliki motif tersebut. Menarik untuk menanti kelanjutan propaganda ini, apakah ini akan menciptakan efek “bola salju” atau tidak. (R53)
https://www.youtube.com/watch?v=cckrPsMbhKU
Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.