Site icon PinterPolitik.com

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

presiden korsel

Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol (Foto: Reuters)

Dengarkan artikel berikut:

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/12/politik-korea-selatan.mp3

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 


PinterPolitik.com 

Politik Korea Selatan (Korsel) terlihat kacau balau, Presiden Yoon Suk Yeol didesak mundur dari jabatannya oleh sejumlah massa yang protes, usai pemerintahan Yoon menetapkan status darurat militer pada Selasa (3/12) malam.   

Beberapa jam setelah diumumkan, parlemen Korea Selatan segera mengadakan rapat darurat untuk menolak pemberlakuan status darurat militer. Penolakan ini memaksa Presiden Yoon mencabut kebijakan tersebut di hari yang sama, memicu gejolak politik yang diketahui tidak pernah terjadi sebelumnya setidaknya dalam 20 tahun terakhir 

Kendati demikian, peristiwa tersebut menyisakan luka yang cukup besar dalam perpolitikan Korsel, Presiden Yoon diprediksi akan semakin memiliki citra politik yang lebih buruk, sesuatu yang menurut Edward Howell, pengamat politik Semenanjung Korea asal Universitas Oxford, bisa berdampak besar pada stabilitas politik di Asia Timur. 

Menariknya, berkaitan dengan kecurigaan tersebut, sejumlah pihak mulai mengaitkan polemik politik di Korsel kemarin dengan potensi masuknya kepentingan politik asing di Negeri Ginseng tersebut, utamanya yang berkaitan dengan negara-negara “berseberangan” Korsel, seperti Korea Utara (Korut) dan Tiongkok. 

Lantas, mungkinkah kekacauan politik di Korsel kemarin merupakan bagian dari operasi intelijen Tiongkok ataupun Korut? 

Tes Ombak Intelijen? 

Ketegangan politik terbaru di Korea Selatan memunculkan spekulasi tentang kemungkinan adanya infiltrasi operasi intelijen asing yang dirancang untuk memperburuk instabilitas politik domestik. Beberapa indikasi kuat mendukung asumsi ini, terutama jika melihat hubungan antara partai oposisi, narasi geopolitik yang berkembang, dan perkiraan kepentingan strategis aktor asing saat ini seperti Korea Utara dan Tiongkok. 

Pertama, Partai Demokrat Korsel (DPK), yang saat ini menjadi oposisi utama, memiliki sejarah mendukung pendekatan dialogis dengan Korea Utara. Pendekatan ini sering kali dilihat sebagai upaya untuk mengurangi ketegangan di Semenanjung Korea, tetapi di satu sisi juga membuka celah bagi Pyongyang untuk memengaruhi politik dalam negeri Seoul. 

Dalam krisis terbaru, partai ini dengan cepat menentang kebijakan Presiden Yoon terkait status martial law, yang di satu sisi bisa jadi kesempatan bagi siapa saja yang ingin melemahkan legitimasi pemerintah konservatif yang bersikap keras terhadap mereka. Taktik seperti ini bisa dispekulasi sejalan dengan strategi intelijen Pyongyang, yaitu menciptakan narasi yang memecah belah elite politik Korea Selatan. 

Kedua, sejumlah sumber internasional, seperti yang juga dibahas media Newsweek, meyinggung tentang adanya narasi yang saat ini mulai beredar bahwa kekacauan politik di Korsel adalah bukti kegagalan demokrasi ala Barat. Jika betul, hal ini bisa menguatkan dugaan keterlibatan negara-negara yang punya sinisme tinggi terhadap AS dan Korsel. Narasi ini pun bisa sejalan dengan strategi propaganda dari negara yang selalu mempromosikan sistem politik yang sentralistik dan otoriter. 

Well, operasi intelijen memang kerap dirancang untuk menguji respons sistem politik dan militer suatu negara terhadap krisis internal. Jika polemik ini dirancang untuk menciptakan ketidakstabilan, maka hasilnya dapat menjadi patokan bagi negara manapun untuk operasi serupa di masa depan. Mereka bisa saja melihat reaksi elemen-elemen politik Korsel, dari parlemen hingga masyarakat umum, untuk menilai kekuatan dan kelemahan dalam merespons krisis. 

Menurut Mark Lowenthal dalam bukunya Intelligence: From Secrets to Policy, operasi intelijen sering kali bertujuan menciptakan instabilitas di negara target untuk melemahkan pemerintah atau mendukung narasi yang menguntungkan kepentingan asing. Dalam konteks Korsel, reaksi cepat oposisi terhadap kebijakan darurat militer dapat dimanfaatkan oleh mereka yang menyerang sebagai bagian dari active measures atau covert actions.  

Active measures sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Roy Godson dalam Dirty Tricks or Trump Cards, sering kali mencakup penggunaan propaganda dan manipulasi politik untuk menciptakan krisis internal. Akibatnya, kekacauan yang terjadi mungkin awalnya terlihat seperti konflik internal, namun seungguhnya ada bara-bara api yang ikut dihembus oleh mereka yang bisa dapat keuntungan dari kekacauan tersebut. 

Namun, masih ada satu pertanyaan menarik soal kecurigaan ini, yakni, mengapa Amerika Serikat (AS) diam saja?

 

Betul Biden Tidak Tahu? 

Menanggapi pertanyaan soal polemik politik di Korsel, Presiden AS, Joe Biden memberikan jawaban yang menarik. Menurut Jake Sullivan, Penasihat Keamanan Nasional AS, Biden baru mengetahui soal perkara di Korsel melalui siaran televisi. Sebagai seorang pemimpin negara terkuat di dunia, tentu hal ini adalah sesuatu yang cukup lucu.  

Mengingat Korsel adalah salah satu sekutu terdekat AS di Asia Timur dan menjadi bagian penting dari strategi Indo-Pasifik Washington, sikap “acuh” ini menimbulkan berbagai spekulasi, termasuk kemungkinan bahwa situasi ini mungkin sedang di tahap “dipantau” oleh AS untuk alasan strategis. 

Sikap diam AS dapat dianalisis melalui pendekatan teori realpolitik. Salah satu kemungkinan adalah bahwa AS sengaja membiarkan situasi ini berlangsung untuk menguji ketangguhan politik domestik Korea Selatan tanpa harus campur tangan langsung. Jika Korea Selatan dapat menyelesaikan konflik ini secara internal, AS akan melihatnya sebagai tanda stabilitas jangka panjang yang lebih kuat. 

Kemungkinan lain adalah bahwa AS mungkin menggunakan strategi benign neglect untuk melihat bagaimana aliansinya beradaptasi dengan tekanan eksternal, terutama jika operasi intelijen asing benar-benar terlibat.  

Edward Snowden pernah mengungkapkan bahwa pengawasan AS terhadap sekutunya sering kali dilakukan dengan tujuan untuk memprediksi dinamika politik internal dan eksternal. Ini berarti bahwa AS mungkin sudah mengetahui risiko tetapi memilih untuk tidak campur tangan kecuali situasinya mengancam kepentingan langsung mereka. 

Krisis politik seperti ini juga memberikan kesempatan bagi AS untuk memperkuat pengaruhnya jika Korsel semakin tergantung pada bantuan keamanan dari AS. Jika instabilitas politik ini disebabkan oleh operasi intelijen Tiongkok dan Korut, AS dapat menggunakan situasi ini sebagai alasan untuk memperketat pengawasan terhadap kedua negara tersebut, termasuk di Semenanjung Korea. 

Namun, pada akhirnya, perlu diingat bahwa semua hal di atas hanyalah spekulasi belaka. Kenyataannya, jika benar polemik kemarin adalah hasil rekayasa politik, siapa saja bisa menjadi dalangnya, bahkan mungkin negara-negara yang awalnya terlihat sebagai sahabat bagi Korsel sendiri. Yang jelas, untuk saat ini kita hanya bisa menyimak dinamika yang akan terjadi. (D74) 

Exit mobile version