Pengesahan RUU Ciptaker menjadi UU telah memicu gelombang penolakan hebat dari berbagai pihak. Demonstrasi besar seperti pada September tahun lalu juga diperkirakan akan terjadi meskipun berada di tengah pandemi Covid-19. Bertolak dari derasnya penolakan yang ada, apakah UU tersebut memang jauh dari market justice?
Bahkan sebelum disetujui oleh DPR kemarin, penolakan terhadap Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker) telah dirasakan kuat. Dan kini, setelah disetujui menjadi UU, gelombang penolakan berupa demonstrasi telah terjadi di berbagai tempat. Kendati demonstrasi serentak direncanakan dilakukan pada 8 Oktober di depan Istana, bentrokan massa dengan aparat nyatanya sudah terjadi.
Sama halnya dengan keberatan atas revisi UU KPK dan RKUHP tahun lalu, penolakan besar terhadap UU Ciptaker juga terjadi karena produk hukum tersebut memayungi kepentingan orang banyak. Tidak berlebihan kemudian terdapat asumsi bahwa demonstrasi besar tahun lalu akan terulang kendati situasi pandemi Covid-19 tengah memburuk.
Menariknya, dorongan perlawanan tidak hanya datang dari buruh ataupun mahasiswa, melainkan juga dari berbagai akademisi. Dosen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, misalnya, bahkan dengan tegas menyerukan gerakan penolakan. Senada, Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof. Sigit Riyanto juga memberikan penolakan tegas karena menilai UU Ciptaker membuat pengelolaan ekonomi dan sosial negara diserahkan ke paradigma liberal-kapitalistik yang tidak sesuai dengan roh konstitusi dan spirit pendiri bangsa.
Bagi mereka yang mengikuti diskursus liberalisme pasar, konteks yang disebutkan oleh Prof. Sigit Riyanto merupakan kritik yang begitu tajam. Tentu pertanyaannya, apakah liberalisme memang berkonsekuensi negatif pada pasar atau ekonomi?
Market Justice
Akumulasi kekayaan yang kita nikmati saat ini adalah buah dari kapitalisme, atau spesifiknya pada pasar. Dengan stagnannya akumulasi kekayaan sebelum abad 18, Adam Smith melalui The Wealth of Nations (1776) kemudian hadir memperkenalkan konsep perdagangan bebas sebagai kritik sekaligus jawaban.
Pasalnya, sebelum peradaban manusia mengenal konsep perdagangan bebas, sistem ekonomi kuno sampai abad pertengahan melakukan akumulasi kekayaan dengan disandarkan pada praktik pengumpulan emas dan perak, serta melakukan perbudakan. Dengan kata lain, sebenarnya bukanlah akumulasi kekayaan yang terjadi, melainkan perpindahan atau penumpukan kekayaan di satu tempat.
Alhasil, praktik tersebut hanya bekerja untuk mengisi kantong-kantong golongan kaya, kuat, dan berpengaruh, serta hanya menyisakan kesengsaraan bagi mereka yang lemah dan tidak beruntung. Oleh karenanya, Adam Smith kemudian mempromosikan perdagangan bebas, di mana sistem ini memungkinkan setiap pihak untuk memiliki akses terhadap akumulasi kekayaan, sehingga kemakmuran atau kesejahteraan tidak lagi menjadi mimpi kosong belaka.
Dalam simpulan Smith, jika pasar sempurna yang kerap disebut titik ekuilibrium nantinya dapat terwujud, maka kesejahteraan bersama, bahkan kesejahteraan semua bangsa dapat teraktualisasi.
Sedikit tidaknya, bayangan atas akhir sejarah Smith sama dengan yang dibayangkan dan diharapkan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man (1992). Dengan tegas, dosen senior Universitas Stanford ini menyebutkan bahwa demokrasi liberal bersama dengan kapitalisme akan menjadi pemenang di akhir sejarah.
Menurut Fukuyama, keunggulan demokrasi liberal terletak pada kemampuannya untuk menjanjikan bahwa kehormatan yang setara akan diterima oleh setiap pihak. Ini mirip dengan tujuan Smith yang mempromosikan perdagangan bebas agar akses kekayaan dimiliki oleh setiap pihak.
Akan tetapi, dalam buku terbarunya, Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018), Fukuyama justru memperlihatkan nada pesimis karena demokrasi liberal dinilai sulit mewujudkan janji manis tersebut. Pasalnya, dengan akses bebas atas kebebasan berpendapat, kesetaraan yang diharapkan justru bermuara pada kristalisasi politik identitas karena setiap pihak berlomba untuk mendapatkan pengakuan setinggi mungkin.
Masalah ini sama dengan yang menjadi sorotan pada bayangan akhir sejarah Adam Smith. Menurut Smith, ada invisible hand yang memungkinkan self-interest perdagangan bebas akan menciptakan masyarakat yang stabil dan kemakmuran tanpa perlu adanya arahan negara. Akan tetapi, hingga kini praktik perdagangan bebas justru mengulang sejarah sistem ekonomi sebelumnya, di mana akumulasi kekayaan justru tetap berpusat pada golongan kaya dan kuat. Oleh karenanya, ini kemudian menimbulkan kritik bahwa invisible hand yang dibayangkan Smith sejatinya adalah no hand. Artinya, itu hanya akan terwujud di bayang-bayang.
Namun, apabila membaca Smith dengan saksama, sebenarnya terdapat tiga prinsip yang membuat invisible hand atau harmony natural terjadi, di mana ini kerap diabaikan dalam diskursus mengenai pasar.
Pertama adalah freedom atau kebebasan, yakni setiap individu harus memiliki hak untuk memproduksi dan bertukar. Kedua adalah competition atau kompetisi, yakni setiap individu harus memiliki hak yang sama untuk dapat bersaing. Ketiga adalah justice atau keadilan, yakni setiap tindakan individu dalam pasar harus adil dan jujur.
Nah, di sini persoalannya menjadi rumit dan menjadi jawaban mengapa masalah yang dibawa oleh Fukuyama menjadi penting. Pasalnya, keadilan bukanlah ranah yang dibahas dalam ekonomi, melainkan merupakan pembahasan politik.
Untuk menjawab persoalan tersebut, melihat disertasi Guntur Freddy Prisanto yang berjudul Market Justice: Kritik atas Determinasi Pasar Neoklasik akan sangat bijak untuk dilakukan. Menurut Guntur, di tengah situasi ilmu ekonomi saat ini yang bersifat reduksionis, itu membuat ilmu ekonomi kehilangan kemampuannya untuk menangkap normativitas pasar. Ini kemudian membuatnya gagal dalam menerapkan tiga prinsip yang disebutkan oleh Adam Smith, khususnya perihal keadilan.
Oleh karenanya, menurut Guntur, mau tidak mau, pasar harus dibawa pada persoalan politik tentang keadilan. Dengan aktor ekonomi yang memahami pentingnya keadilan, maka Ia akan membawa ilmu ekonomi untuk mewujudkan keadilan, sehingga ilmu ini tidak lagi dipahami “bebas nilai” ataupun bersifat positivistik. Perkawinan pasar dengan keadilan ini kemudian yang disebut Guntur sebagai market justice.
Nah, di sini letak pentingnya pengakuan Fukuyama dalam Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment. Jika demokrasi liberal sulit mewujudkan kesetaraan hak, maka dapat disimpulkan tiga prinsip yang disebutkan Adam Smith akan sulit diwujudkan apabila perdagangan dikawinkan dengan demokrasi liberal seperti yang kerap dilakukan.
Donny Gahral Adian dalam bukunya Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme akan membantu kita mengurai persoalan ini. Menurutnya, masalah demokrasi liberal yang disebutkan Fukuyama sebenarnya berawal ketika demokrasi dijadikan satu paket dengan liberalisme.
Tegasnya, demokrasi yang sebagai demos atau kolektivitas politik justru kehilangan kemampuannya untuk membentuk proyek-proyek kolektif (kesejahteraan umum) karena disibukkan dengan euforia untuk mewujudkan individualisme yang dijunjung oleh liberalisme.
Dengan mengutip Carl Schmitt, Donny menerangkan bahwa demokrasi liberal merupakan sebuah kontradiksi konseptual. Bagaimana mungkin individualisme berada dalam gelas yang sama dengan kolektivitas?
Konteks masalah kontradiksi ini sebenarnya telah disadari juah-jauh hari oleh Fukuyama dalam The End of History and the Last Man. Dalam pembahasannya mengenai The Last Man atau Manusia Terakhir, Fukuyama menulis, “jika didasarkan pada prinsip-prinsip liberal, konsep kekeluargaan benar-benar tidak berfungsi karena anggotanya tidak didasarkan pada ikatan cinta kasih, melainkan pada kalkulasi untung-rugi (cost-benefit calculus)”.
Dengan kata lain, natural harmony yang dibayangkan oleh Smith, yang mana itu adalah proyek kolektif, hanya akan terjadi apabila tidak dikawinkan oleh liberalisme yang mengedepankan individualisme.
Apa Jawabannya?
Kembali pada pertanyaan Prof. Sigit Riyanto, apakah liberalisme berkonsekuensi negatif pada pasar? Jawabannya adalah iya. Ini karena liberalisme membuat pasar kehilangan kemampuannya untuk menggapai proyek kolektif seperti keadilan.
Lantas, bagaimana dengan UU Ciptaker?
Merujuk pada alasan dibuatnya produk hukum tersebut, yakni memberi angin segar bagi dunia usaha dan investor, kita dapat menyimpulkan UU Ciptaker disandarkan pada perdagangan bebas yang dipromosikan Smith.
Nah, sekarang pertanyaannya, apakah UU ini telah bertolak pada normativitas pasar, yakni keadilan?
Terkait hal ini tentu masih menimbulkan perdebatan. Di sini pelaku usaha, UU Ciptaker memberikan keuntungan karena menyederhanakan izin usaha. Bagi mereka yang mengetahui rumitnya memperoleh izin usaha, khususnya di pemerintah daerah, tentu merespons positif produk hukum tersebut. Dengan kata lain, dalam sudut pandang pelaku usaha, ini memenuhi prinsip keadilan.
Namun, bagaimana dari sisi pekerja atau buruh? Jawaban atas ini agaknya cukup sulit. Pasalnya, saat ini bertebaran berbagai versi draf UU Ciptaker maupun poster-poster yang terlihat bertentangan satu sama lain. Masalahnya menjadi lebih rumit karena publik terlalu cepat bereaksi atas sebaran draf ataupun poster yang menunjukkan sisi gelap UU tersebut.
Tanpa bermaksud mendiskreditkan gerakan aksi, dalam draf UU yang didapatkan PinterPolitik, kritik keras seperti penghapusan pesangon ataupun hak cuti justru tidak ditemukan. Dengan kata lain, justifikasi apakah UU Ciptaker adil bagi pekerja dan buruh tergantung atas draf UU yang sebenarnya.
Oleh karenanya, untuk menjawab persoalan tersebut, DPR dan pemerintah harus membuka seluas-luasnya diskursus mengenai UU Ciptaker agar publik dapat menilai apakah UU ini merugikan atau tidak, khususnya bagi pekerja dan buruh.
Sebagaimana diketahui, kecurigaan dan kegeraman publik memuncak karena proses pengesahan UU Ciptaker benar-benar tidak menunjukkan transparansi dan terlihat begitu tergesa-gesa. Bahkan, terdapat kesan bahwa situasi pandemi Covid-19 telah dimanfaatkan untuk mengesahkan produk hukum tersebut.
Tentunya, bagaimana mungkin suatu aturan ekonomi – UU Ciptaker – disebut memenuhi prinsip keadilan, apabila proses pembuatannya tidak memenuhi prinsip normatif tersebut?
Sekarang, kita hanya bisa menantikan bagaimana langkah DPR dan pemerintah untuk menjernihkan keributan yang mereka buat karena tidak melibatkan publik dalam pembuatan UU Ciptaker. Jangan sampai pengesahan UU yang diklaim mendorong ekonomi ini justru menjadi preseden atas gejolak politik yang mendelegitimasi pemerintahan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)